Sukses

Lebih dari 50 Negara Laksanakan Pemilu 2024, termasuk Indonesia

Amerika Serikat, Bangladesh, Taiwan, Indonesia, India, hingga Meksiko termasuk di antara lebih dari 50 negara yang melaksanakan pemilu 2024.

Liputan6.com, Jakarta - Tahun 2024 akan menjadi ujian besar bagi pemerintahan demokratis karena diperkirakan empat miliar orang di lebih dari 50 negara – hampir separuh populasi dunia – akan memberikan suara dalam pemilu nasional. Hasilnya kemungkinan besar akan memengaruhi politik global selama bertahun-tahun atau beberapa dekade mendatang.

Hasil pemilu 2024 Bangladesh menyimpulkan Sheikh Hasina berhasil mengamankan masa jabatan keempat berturut-turut sebagai perdana menteri dalam pemungutan suara yang berlangsung pada Minggu (7/1). Partai-partai oposisi memboikot pemungutan suara Bangladesh, mengklaimnya tidak bebas dan tidak adil.

Pemilu presiden (pilpres) Taiwan berlangsung pada Sabtu (13/1), mencatatkan kemenangan bagi calon presiden dari Partai Progresif Demokratik (DPP) William Lai. DPP mendukung kedaulatan penuh Taiwan sebagai sebuah negara mandiri, bukan bagian dari China.

Pakistan akan menggelar pemilu parlemen pada 8 Februari, di tengah kisruh politik menyusul penahanan mantan perdana menteri sekaligus pemimpin oposisi Imran Khan. Dia dipenjara atas tuduhan membocorkan rahasia negara dan telah membantah melakukan kesalahan.

Pada 14 Februari, giliran Indonesia yang akan melangsungkan pemilu. Tidak hanya pilpres, namun Indonesia dengan jumlah penduduk yang tembus 270 juta jiwa juga akan memberikan suaranya dalam pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah (pilkada), menjadikannya salah satu pemungutan suara terbesar di dunia yang diadakan dalam satu hari. Demikian seperti dilansir VOA, Minggu (14/1).

Rakyat Rusia akan memberikan suaranya dalam pilres pada 15-17 Maret. Sejumlah analis memperkirakan Vladimir Putin akan terus berkuasa.

"Putin tidak akan mempunyai lawan yang sungguh-sungguh," kata Ian Bond dari Pusat Reformasi Eropa. "Dia memiliki kendali atas semua perangkat administratif yang diperlukan untuk memastikan bahwa suara yang mendukung dia tercapai."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Modi hingga Trump

India – negara demokrasi terbesar di dunia – akan mengadakan pemilu parlemen pada April dan Mei. Partai Bharatiya Janata (BJP), di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi, dilaporkan unggul.

Jurnalis politik veteran India, Pushp Saraf, yakin pihak oposisi akan kesulitan mencapai kemajuan.

"Itu semua tergantung seberapa bersatunya mereka," kata Saraf. "Jika tidak, jika mereka tetap terpecah belah, seperti yang sering terjadi, mereka memiliki peluang kecil untuk berhasil melawan BJP, yang secara organisasi sangat kuat dan dengan Narendra Modi, yang sedang mengalami gelombang popularitas yang tinggi, setidaknya di jantung Hindia," kata Saraf kepada AP.

"Ini adalah pemilu yang sangat penting karena jelas ada dua pendapat di negara ini saat ini. Salah satunya adalah BJP mempolarisasi masyarakat berdasarkan garis komunal. Di sisi lain, ada anggapan bahwa BJP lebih fokus pada keamanan nasional."

Pada 2 Juni, Meksiko akan mengadakan pilpres, yang bisa menjadi tonggak sejarah baru bagi negara tersebut.

"Karena kemungkinan, untuk pertama kalinya, seorang perempuan akan memerintah Meksiko," demikian menurut peneliti jajak pendapat Meksiko, Patricio Morelos.

Partai berkuasa di Meksiko memilih Claudia Sheinbaum, mantan wali kota Mexico City, sebagai kandidatnya.

Uni Eropa, yang mewakili lebih dari setengah miliar orang, akan mengadakan pemilu parlemen pada Juni. Jajak pendapat menunjukkan bangkitnya kembali dukungan terhadap partai populis sayap kanan di banyak negara, termasuk Prancis, Jerman, dan Italia.

"Saya pikir, ada kemungkinan nyata bahwa kelompok sayap kanan akan berhasil dalam pemilu Eropa. Bukan untuk menjalankan Parlemen Eropa, tapi mungkin sampai pada titik di mana siapa pun yang ingin menjalankan Parlemen Eropa harus mempertimbangkan apa yang mereka katakan dan lakukan," ungkap profesor politik internasional di Kings College London Anand Menon kepada VOA.

Inggris dijadwalkan mengadakan pemilu sebelum akhir tahun ini dan jajak pendapat menunjukkan bahwa pemimpin oposisi Partai Buruh, Keir Starmer, akan mengakhiri 14 tahun kekuasaan Konservatif yang penuh gejolak, dengan lima perdana menteri berbeda.

"Kita pernah mengalami perang Brexit yang mendominasi segalanya, lalu kita mengalami COVID-19, dan sekarang kita mengalami krisis biaya hidup. Kita mengalami ketidakstabilan pemerintahan … ketidakstabilan itu sendiri telah menjadi isu politik," kata Menon.

Pada 5 November, Amerika Serikat (AS) akan melangsungkan pilpres yang sangat dinanti-nantikan, di mana rakyat AS akan memutuskan apakah akan memberi Joe Biden masa jabatan kedua atau memilih alternatif dari Partai Republik, di mana Donald Trump dinilai menjadi lawannya yang paling memungkinkan.

3 dari 3 halaman

Berdampak Global

Dampak dari banyak pemilu pada tahun 2024, kata Menon, kemungkinan besar akan terasa di seluruh dunia.

"Ya, semua politik bersifat lokal – tetapi ada tren global. (Isu) imigrasi akan berperan besar dalam banyak pemilu di seluruh dunia. Hal ini akan terjadi pada pemilu AS, akan terjadi pada pemilu di Eropa, dan akan terjadi pada pemilu di Inggris," tutur Memon.

"Ketidakamanan akan menjadi faktor utama. Salah satu hal yang dialami saat ini di negara-negara Barat adalah meningkatnya rasa ketidakamanan, baik secara ekonomi — namun juga dalam hal keamanan."

Dia menambahkan, "Jadi, ada faktor-faktor yang sama, tetapi faktor-faktor tersebut dibiaskan melalui prisma lokal dan domestik di setiap negara, sehingga pengaruhnya berbeda-beda."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini