Sukses

Anak 13 Tahun Lulus Universitas Australia dengan IPK Sempurna, Kini Daftar Program PhD

Bocah 13 tahun asal Singapura, Nathanael Koh, lulus dari Australian National University (ANU) dengan nilai sempurna pada usia yang sangat muda. Kini, ia daftar program PhD atau setara S3.

Liputan6.com, Singapura - Sebuah kisah mengagumkan datang dari bocah berusia 13 tahun asal Singapura, Nathanael Koh. Ia baru-baru ini lulus dari Australian National University (ANU) dengan nilai sempurna pada usia yang sangat muda. 

Prestasi Nathanael ini didapatkannya meski ia sempat didiagnosis perlambatan perkembangan saat balita. Namun, orang tuanya segera menyadari jika Nathanael memiliki kemampuan membaca dan belajar jauh melebihi rekan-rekan seusianya ketika mereka memperkenalkannya dengan buku.

Dilansir Strait Times, Jumat (22/12/2023), Nathanael kemudian berhasil meraih gelar kehormatan dalam bidang komposisi musik pada 15 Desember. Tak hanya itu, ia bahkan sempat mendapatkan penghargaan tinggi berkat tesisnya yang membahas mengenai aplikasi konsep ilmu aljabar linier pada harmoni dan mengujinya.

Selain itu, ia mulai bermain piano pada usia tiga tahun, tetapi kemudian beralih ke teori musik sesuai rekomendasi sang guru karena jari-jarinya yang dinilai terlalu lemah.

Setelah itu, bocah Singapura ini memutuskan untuk belajar bermain piano, klarinet, dan saksofon.

Kesuksesan Nathanael juga terlihat ketika usianya menginjak sembilan tahun, ia berhasil menyelesaikan diploma teori musik dari Trinity College London. Saat itu pula, ia menjadi komposer termuda di Kids Philharmonic Orchestra Singapura.

Tak berhenti di situ, komposisi-komposisi asli miliknya bahkan telah dipentaskan oleh musisi profesional di berbagai negara seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan Finlandia.

Keberhasilan Nathanael tidak hanya terbatas pada bidang musik. Anak cerdas ini juga merupakan anggota komunitas Intelligence Quotient (IQ) Mensa yang tinggi di Singapura dan Selandia Baru dengan IQ 132. Bahkan, pada usia 12 tahun, ia mendapat nilai A+ untuk beberapa modul matematika di Universitas Canterbury Selandia Baru.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Nathanael Tak Alami Kesulitan di Kampus dan Lanjutkan Pendidikan PhD

Meskipun berada di lingkungan akademik yang dihuni oleh mahasiswa dengan dua atau tiga kali lipat dari usianya, Nathanael mengaku tidak mengalami kesulitan dalam menghadapi tantangan akademik di ANU maupun penyesuaian diri dengan teman. 

"Saya bisa berpikir pada level yang sama dengan mereka dan kami semua berkomunikasi melalui bahasa musik yang sama," katanya.

Kini, meski ia telah bergelar sarjana, Nathanael tetap melanjutkan pendidikannya dengan mendaftar program PhD atau setara S3 di bidang komposisi musik di ANU.

"Saya suka membaca jurnal penelitian, mempertajam pikiran dan memunculkan ide-ide baru. Saya harap saya bisa menjadi peneliti dan komposer," ucapnya.

Anak laki-laki ini bahkan mengatakan bahwa ia lebih bersemangat mengenai masa depannya daripada khawatir bahwa ia terlalu dini untuk mengejar prestasi akademis tersebut.

"Saya tidak keberatan (belajar) lebih cepat dibandingkan teman-teman saya karena saya menikmati makalah akademis dan jurnal… Saya merasa kita tidak boleh menghakimi orang, apalagi orang seperti saya, karena setiap orang punya jalan yang berbeda dan unik," ungkapnya. 

3 dari 4 halaman

Kondisi Terlambat Perkembangan Umum yang Dialami Nathanael

Namun, perjalanan menuju kesuksesan akademis Nathanael tidaklah mudah. Pada usia satu tahun, ia didiagnosis menderita kondisi yang memengaruhi perkembangan kognitif dan fisiknya. 

Kondisi Nathanael ini tentu saja membuat orang tuanya merasa cemas bahwa ia tidak akan bisa mandiri di masa yang akan datang. Ayahnya, Chris Koh, 45, menceritakan bagaimana kondisi Nathanael saat itu.

"Dia tidak bisa berjalan tanpa bantuan pada usia dua tahun. Sebagai seorang anak, dia tidak pernah berbicara dan jika dia mengeluarkan suara, kata-katanya berantakan sehingga tidak ada yang mengerti," tuturnya.

Ia menambahkan, "Menangis dan merasa kehilangan adalah hal yang terus-menerus terjadi (saya dan istri saya) selama berbulan-bulan."

Kondisi Nathanael ini disebut sebagai keterlambatan perkembangan umum atau global. Hal ini menyebabkan ototnya kurang kuat untuk melakukan pekerjaan sehari-hari.

Ucapan Nathanael pun tidak tertata dengan baik ketika ia berusia empat tahun menurut penjelasan ayahnya. Anak laki-laki ini juga tak dapat menelan makanan padat saat usianya tujuh tahun.

4 dari 4 halaman

Pandangan Orang Lain dan Nathanael yang Kini Menerima Kondisinya

Ayah Nathanael juga menjelaskan bagaimana orang lain memandang kondisi anaknya ini.

"Nathanael suka menatap cahaya terang dan mengeluarkan suara-suara lucu. Kebanyakan orang menghindari kami karena mereka mengira dia mengidap suatu penyakit," kata ayahnya yang merupakan direktur suatu perusahaan sosial.

Dikabarkan bahwa Nathanael baru belajar untuk mandi, menggosok gigi, dan ke toilet secara mandiri ketika ia telah menginjak usia 10 tahun.

Meski demikian, Nathanael mengaku bahwa kini ia telah menerima kondisi yang dialaminya.

"Itu adalah bagian dari diriku dan aku tidak terlalu peduli. Saya bisa berjalan dan berlari seperti anak-anak lainnya. Saya juga melakukan hal-hal yang dilakukan anak usia 13 tahun lainnya," tutur Nathanael.

Bocah ini tetap bermain video game seperti Tetris, membaca komik, dan memecahkan kubus Rubik. Ia bahkan telah merancang taktiknya sendiri untuk menyelesaikan permainan berbentuk kubus dengan ukuran 2x2 tersebut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.