Sukses

Panas Ekstrem Diprediksi Picu Kematian 5 Kali Lipat pada 2050

Dalam beberapa dekade ke depan, ada kemungkinan hampir lima kali lebih banyak orang akan meninggal karena panas ekstrem.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa dekade ke depan, ada kemungkinan hampir lima kali lebih banyak orang akan meninggal karena panas ekstrem, peringatan yang disampaikan oleh tim ahli internasional pada Rabu, 15 November 2023.

Mereka menekankan bahwa tanpa tindakan terhadap perubahan iklim, risiko besar akan terjadi terhadap kesehatan manusia.

Berdasarkan penilaian tahunan besar dari para peneliti dan lembaga terkemuka, The Lancet Countdown menyatakan bahwa penggunaan bahan bakar fosil yang terus meningkat di dunia memiliki banyak dampak negatif bagi kesehatan manusia, di antaranya adalah dampak mematikan dari panas serta berbagai risiko lainnya.

Melansir dari CNA, Rabu (6/12/2023), para peneliti memperingatkan bahwa kekeringan yang semakin sering akan mengakibatkan jutaan orang berisiko kelaparan. Selain itu, penyebaran yang lebih luas dari nyamuk dapat membawa penyakit menular, yang kemudian membuat sistem kesehatan akan mengalami kesulitan dalam menangani beban tambahan tersebut.

Penilaian buruk ini terjadi pada tahun yang diprediksi akan menjadi tahun paling panas dalam sejarah umat manusia.

Sebelumnya, peneliti iklim di Eropa menyatakan bahwa pada Oktober, merupakan bulan dengan suhu tertinggi yang pernah tercatat.

Hal tersebut juga terjadi menjelang perundingan iklim COP28 di Dubai, yang untuk pertama kalinya akan menjadi tuan rumah "hari kesehatan" pada tanggal 3 Desember ketika para ahli mencoba menyoroti dampak pemanasan global terhadap kesehatan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tren Mematikan Pemanasan Global dan Ancaman Kesehatan

Meskipun ada seruan untuk tindakan global, laporan Lancet Countdown menunjukkan bahwa emisi karbon terkait energi telah mencapai rekor tertinggi baru pada tahun sebelumnya. Laporan tersebut juga menyoroti besarnya subsidi pemerintah dan investasi dari bank swasta pada bahan bakar fosil yang dapat meningkatkan pemanasan global.

Studi Lancet Countdown menyatakan bahwa pada tahun lalu, rata-rata orang di seluruh dunia mengalami suhu yang membahayakan hidup mereka selama 86 hari. Sekitar 60 hari dari jumlah tersebut diyakini menjadi dua kali lipat lebih mungkin terjadi karena dampak perubahan iklim.

Selain itu, menurut studi tersebut, terjadi peningkatan sebesar 85 persen dalam jumlah kematian orang yang berusia di atas 65 tahun akibat panas dari periode tahun 1991-2000 hingga 2013-2022.

"Namun dampak yang kita lihat saat ini bisa jadi hanya gejala awal dari masa depan yang sangat berbahaya," ujar direktur eksekutif Lancet Countdown, Marina Romanello kepada wartawan.

3 dari 4 halaman

Ancaman Meningkatnya Kematian dan Kerentanan Pangan

Jika suhu dunia meningkat sebesar dua derajat Celcius pada akhir abad ini, dari jalur kenaikan 2,7 derajat Celcius saat ini, jumlah kematian tahunan akibat panas diperkirakan akan melonjak hingga 370 persen pada tahun 2050. Dalam istilah lain, ini berarti peningkatan sebesar 4,7 kali lipat dari angka saat ini.

Proyeksi tersebut juga menyatakan bahwa sekitar 520 juta orang diperkirakan akan mengalami tingkat kerentanan pangan yang sedang atau parah pada pertengahan abad ini.

Penyakit menular yang ditularkan oleh nyamuk akan terus menyebar ke daerah-daerah yang sebelumnya belum terjangkau. Penelitian tersebut menyatakan bahwa kasus penularan demam berdarah dapat meningkat hingga 36 persen apabila terjadi pemanasan sebesar 2 derajat Celcius.

Sementara itu, lebih dari seperempat dari kota-kota yang disurvei oleh para peneliti mengungkapkan kekhawatiran bahwa perubahan iklim dapat mempersulit kemampuan mereka dalam menghadapinya.

"Kita menghadapi krisis di atas krisis," ujar Georgiana Gordon-Strachan dari Lancet Countdown, yang kampung halamannya di Jamaika saat ini sedang dilanda wabah demam berdarah.

"Masyarakat yang tinggal di negara-negara miskin, yang paling tidak bertanggung jawab atas emisi gas rumah kaca, adalah pihak yang paling terkena dampak kesehatannya. Namun mereka paling tidak mampu mengakses pendanaan dan kapasitas teknis untuk beradaptasi terhadap badai mematikan, naiknya permukaan air laut, dan kekeringan yang melemahkan tanaman yang diperburuk oleh pemanasan global," tambahnya.

4 dari 4 halaman

Ancaman Kesehatan dan Kegagalan Komitmen Perubahan Iklim

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menanggapi laporan tersebut dengan mengatakan bahwa "umat manusia sedang menghadapi masa depan yang tidak dapat ditoleransi."

"Kita sudah melihat bencana kemanusiaan yang terjadi dimana kesehatan dan mata pencaharian miliaran orang di seluruh dunia terancam oleh suhu panas yang memecahkan rekor, kekeringan yang menyebabkan gagal panen, meningkatnya kelaparan, meningkatnya wabah penyakit menular, serta badai dan banjir yang mematikan," ujarnya dalam sebuah pernyataan.

Dann Mitchell, ketua bidang bahaya iklim di Bristol University di Inggris, menyesalkan bahwa peringatan serius terkait dampak kesehatan yang merupakan "krisis besar" akibat perubahan iklim tidak mampu menggerakkan pemerintah dunia untuk mengurangi emisi karbon dengan cukup agar dapat mencapai target pertama Perjanjian Paris, yaitu membatasi kenaikan suhu global menjadi 1,5 derajat Celcius.

PBB juga pernah mengingatkan bahwa janji negara-negara saat ini untuk mengurangi emisi karbon global sebesar 2 persen pada tahun 2030 dari tingkat tahun 2019 masih jauh dari target penurunan sebesar 43 persen yang diperlukan untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celsius.

Romanello memperingatkan bahwa jika tidak ada kemajuan yang dicapai dalam hal emisi, maka "penekanan yang semakin besar pada kesehatan dalam negosiasi perubahan iklim berisiko hanya menjadi kata-kata kosong."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini