Sukses

Kisah Warga Gaza di Penampungan, Mandi dan Cuci Baju Pakai Air Laut Akibat Tak Ada Air Bersih

Warga di Gaza tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan air laut untuk mencuci pakaian dan mandi.

Liputan6.com, Gaza - Kondisi masyarakat di Gaza semakin hari semakin memprihatinkan. Korban jiwa akibat serangan dari Israel juga dilaporkan terus bertambah, kini sudah mencapai 10 ribu lebih.

Di tengah serangan Israel yang masih terus berlangsung, mereka yang selamat masih tetap harus menyambung hidup.

Kebutuhan pokok sehari-hari menjadi hal mewah bagi warga Palestina di Gaza saat ini. Keterbatasan sanitasi dan air bersih membuat mereka terpaksa mandi dan mencuci pakaian dengan air laut.

Salah satu warga Gaza yang selamat dan dalam kondisi tersebut adalah Andaleeb al-Zaq. Kendati demikian ia masih bersyukur bisa melakukan itu, di tengah musibah hidup akibat perang yang dialaminya saat ini.

"Ini merupakan perubahan pemandangan yang disambut baik dari kekacauan dan kekotoran sekolah tempat kami tinggal," kata pria berusia 48 tahun itu, seperti dilansir Al Jazeera, Sabtu (10/11/2023). 

"Anak-anak menganggap seperti kita sedang dalam perjalanan sekolah."

Namun, bagi Andaleeb, "perjalanan" itu adalah soal bertahan hidup.

Keluarganya, yang berjumlah 16 orang, mengungsi dari rumah mereka di lingkungan Shujaiya, sebelah timur Kota Gaza tak lama setelah Israel mulai membom Jalur Gaza pada 7 Oktober. 

Mereka pergi ke selatan menuju pusat pemerintahan Deir al-Balah, dan melanjutkan perjalanan ke Sekolah Dasar Alif, yang dikelola oleh badan pengungsi PBB

"Semua ruang kelas sudah penuh dengan keluarga lain, sekitar 80 orang per kelas, jadi kami mendirikan tenda di halaman sekolah," kata Andaleeb. "Ada 8.000 orang berlindung di sana."

Lantaran sekolah tersebut dekat dengan Laut Mediterania, dan karena kurangnya air bersih yang mengalir, sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian keluarga dan anak-anak mereka pergi ke sana untuk berenang, mandi dan mencuci pakaian.

Israel memberlakukan pengepungan total di Jalur Gaza lebih dari sebulan yang lalu, setelah serangan Hamas pada 7 Oktober di kota-kota Israel dan pos-pos militer yang menewaskan sedikitnya 1.400 warga Israel. Sejumlah bantuan telah diizinkan masuk ke wilayah kantong tersebut melalui penyeberangan Rafah dengan Mesir dalam beberapa hari terakhir, namun Israel terus melarang masuknya bahan bakar.

Adapun satu-satunya pabrik desalinasi di Gaza tidak berfungsi karena kekurangan bahan bakar.

Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mencatat bahwa antara tanggal 21 Oktober dan 1 November, hanya 26 truk yang membawa pasokan air dan sanitasi penting memasuki Jalur Gaza, dan mencatat bahwa jumlah tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penting bagi kelangsungan hidup 2,3 juta penduduk.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tak Punya Pilihan Lain

Para warga di Gaza menyadari bahwa air laut yang mereka pakai kotor dan tak higienis.

"Anak-anak menderita diare, batuk dan pilek akibat polusi dan berenang di laut," kata seorang ibu berusia 52 tahun yang sudah sebulan mencuci pakaian di laut itu.

"Tetapi apa yang Anda harapkan? Mereka harus menemukan cara untuk melepaskan energinya. Terkurung di sekolah dapat menyebabkan banyak konflik dengan keluarga mereka."

"Kami tidak punya air, tidak ada sanitasi, tidak ada sistem pembuangan limbah," kata Imm Mahmoud, yang tinggal di sekolah yang sama.

"Dengan kurangnya kebersihan dasar, baik orang dewasa maupun anak-anak tidak merasa nyaman," sambung Mahmoud.

3 dari 4 halaman

WHO Waspadai Ancaman Penyebaran Penyakit di Gaza

Badan Kesehatan PBB, WHO, memperingatkan pada Rabu (8/11/2023) mengenai risiko penyakit yang berpotensi merajalela di Gaza, di tengah serangan Israel yang terus berlanjut di wilayah kantong tersebut.

"Ketika kematian dan cedera di Gaza terus meningkat akibat meningkatnya permusuhan, kepadatan penduduk yang berlebihan dan terganggunya sistem kesehatan, air, dan sanitasi menimbulkan bahaya tambahan: penyebaran penyakit menular yang cepat," tulis Organisasi Kesehatan Dunia di X, sebelumnya Twitter.

Saat ini, warga Palestina di Gaza sangat berpotensi mengalami masalah pencernaan termasuk diare, lantaran minimnya kebersihan dan mengonsumsi air yang terkontaminasi.

"Situasi ini sangat memprihatinkan bagi hampir 1,5 juta pengungsi di Gaza, terutama mereka yang tinggal di tempat penampungan yang sangat padat dengan akses yang buruk terhadap fasilitas kebersihan dan air bersih, sehingga meningkatkan risiko penularan penyakit menular," kata WHO. 

4 dari 4 halaman

Catat Temuan Berbagai Penyakit

Badan tersebut mencatat lebih dari 33.000 kasus diare, lebih dari 54.800 kasus infeksi saluran pernapasan atas, dan ribuan kasus penyakit lainnya sejak pertengahan Oktober.

"Terganggunya kegiatan vaksinasi rutin, serta kurangnya obat-obatan untuk mengobati penyakit menular, semakin meningkatkan risiko percepatan penyebaran penyakit," sambung WHO.

Pihaknya juga mengatakan bahwa pencegahan infeksi dasar menjadi tidak mungkin dilakukan di fasilitas kesehatan di tengah pengepungan dan konflik. 

"WHO menyerukan akses bantuan kemanusiaan yang mendesak dan dipercepat – termasuk bahan bakar, air, makanan, dan pasokan medis – ke dalam dan di seluruh Jalur Gaza," kata badan tersebut.

Lebih jauh, WHO juga menyerukan semua pihak yang bertikai untuk "mematuhi kewajiban mereka berdasarkan hukum kemanusiaan internasional untuk melindungi warga sipil dan infrastruktur sipil, termasuk layanan kesehatan."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini