Sukses

Kawasan Konflik Seperti Gaza dan Sekitarnya Lebih Rentan Terhadap Perubahan Iklim

Para ahli menyatakan bahwa negara-negara yang terlibat dalam konflik sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Salah satunya Gaza.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam keadaan yang sulit, negara-negara yang terlibat dalam konflik seringkali sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Menurut data indeks Notre Dame Global Adaptation Initiative (ND-Gain) tahun 2021, ada 25 negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim. 14 di antaranya tengah mengalami kekerasan bersenjata seperti Yaman, Afghanistan, Sudan, dan Republik Demokratik Kongo.

Meskipun tidak ada hubungan langsung antara perubahan iklim dan konflik, negara-negara yang terlibat dalam pertikaian seringkali kesulitan menghadapi dampak perubahan iklim karena sumber daya mereka terkuras oleh konflik internal atau pertempuran yang terus berlangsung.

Melansir dari France24, Sabtu (28/10/2023), perubahan iklim juga dapat memperburuk ketegangan yang sudah ada terkait akses terhadap sumber daya yang semakin berkurang.

"Yang satu memperburuk yang lain," ujar Yvonne Su, pakar pembangunan internasional dan asisten profesor di York University. "Jika suatu tempat rentan terhadap perubahan iklim, masyarakat bisa saja berebut sumber daya."

Setelah konflik kembali terjadi di Jalur Gaza, para ahli menyatakan bahwa penduduknya sekarang berada dalam situasi yang lebih rentan daripada sebelumnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

Dampak Perpindahan Massal, Konflik, dan Perubahan Iklim Terhadap Keamanan dan Sumber Daya

Perubahan iklim dan konflik bisa menyebabkan banyak orang pindah ke tempat lain, membebani sumber daya dan menambah ketegangan yang sudah ada.

Menurut laporan tahun 2020 dari Komite Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC), dampak konflik dan perubahan iklim dapat menyebabkan kerusakan besar terutama terkait dengan lahan dan sumber daya.

Ibrahima Bah, mantan kepala program keamanan ekonomi dari organisasi ICRC, mengatakan dalam wawancaranya pada Februari 2021 bahwa Republik Afrika Tengah adalah contoh konkret dari betapa besar pengaruh dari perubahan iklim dan konflik bersenjata.

Situasi tidak stabil di wilayah Sahel dan Danau Chad telah mendorong banyak peternak berpindah ke Republik Afrika Tengah untuk mencari padang rumput yang lebih baik. Namun, di negara yang sudah berjuang melawan ketidakstabilan selama lebih dari 60 tahun dan mengalami krisis pangan, hal tersebut menambah lapisan konflik baru.

Para peternak tidak dapat lagi mengikuti rute migrasi tradisional karena konflik di wilayah tersebut. Mereka akhirnya tinggal di dekat desa atau ladang, bersaing dengan penduduk lokal untuk mendapatkan tempat dan sumber daya.

Pihak berwenang yang biasanya membantu menyelesaikan perselisihan telah mundur dari beberapa wilayah karena masalah keamanan, dan itu menyebabkan terjadinya bentrokan.

"Dengan adanya uang yang dapat dihasilkan dari situasi ini, kami semakin melihat kelompok-kelompok bersenjata mempertimbangkan kekerasan sebagai pilihan," ungkap Ibrahima Bah dalam wawancaranya.

3 dari 7 halaman

Konflik, Perubahan Iklim, dan Krisis Kemanusiaan di Somalia

Somalia, salah satu negara paling terpengaruh oleh perubahan iklim di dunia, telah mengalami konflik selama beberapa puluh tahun. Kekerasan yang terjadi dalam periode tersebut telah diperparah oleh serangkaian kekeringan parah, yang menambah beban dalam upaya membangun negara, tetapi juga memaksa semakin banyak orang untuk meninggalkan tempat asal.

Pada Juli 2023, PBB melaporkan bahwa lebih dari 3,8 juta orang telah mengungsi di Somalia karena dampak konflik, kekeringan, dan banjir. Masalah terkait tanah dan perselisihan akibat dari perpindahan besar ini semakin memperburuk ketegangan, sesuai dengan laporan Bank Dunia.

Di wilayah Somalia Selatan-Tengah, kepemilikan tanah adalah salah satu isu yang sering terjadi. Saat kembali, penduduk yang sudah lama mengungsi sering menemukan bahwa tanah mereka telah ditempati oleh orang lain, yang akhirnya berujung pada konflik.

PBB menyatakan bahwa konflik bersenjata dan perubahan iklim adalah dua faktor utama yang menyebabkan kerawanan pangan. Konflik dapat memiliki dampak yang besar, terutama jika negara-negara yang terlibat adalah produsen atau eksportir utama kebutuhan pokok.

4 dari 7 halaman

Ekonomi, Lingkungan, dan Krisis Kemanusiaan di Ukraina dan Gaza

Ukraina, yang merupakan sumber utama gandum bagi Eropa, menyumbang sekitar 15 persen dari produksi gandum global. Kombinasi produksi bunga matahari dari Rusia dan Ukraina mencapai 80 persen dari total produksi global.

Perang menyebabkan kelangkaan dalam keduanya, sehingga turut berkontribusi dalam meningkatkan harga pangan di seluruh dunia.

Konflik bersenjata juga bisa menyebabkan kerusakan pada lingkungan alam suatu negara. Menurut ICRC, lebih dari 80 persen konflik terjadi di wilayah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, tempat di mana setengah dari tanaman dan spesies langka di seluruh dunia hidup.

Kerusakan lingkungan memicu suatu siklus negatif, tidak hanya berkontribusi terhadap perubahan iklim tetapi juga mengurangi kemampuan masyarakat untuk beradaptasi terhadap perubahan tersebut.

Perluasan lokasi industri dan kerusakan terhadap kawasan hijau seperti hutan melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca ke atmosfer dan pada saat yang sama mengurangi kemampuan Bumi untuk menyerapnya kembali.

"Secara umum, tumpang tindihnya perubahan iklim dan konflik sangat berkaitan dengan pengungsian dan perebutan sumber daya," jelas Yvonne Su. "Ini seperti badai yang sempurna, dan Gaza adalah contoh situasi yang sangat miskin sumber daya."

5 dari 7 halaman

Krisis di Jalur Gaza, Tantangan Terhadap Ketersediaan dan Iklim yang Memperburuk Situasi

Sebelum perang antara Israel dan Hamas dimulai pada 7 Oktober, organisasi internasional sudah memperingatkan tentang kondisi infrastruktur dan sanitasi yang buruk di Jalur Gaza. Jalur ini adalah tempat tinggal bagi 2,2 juta orang dengan luas hanya sekitar dua kali Washington DC.

Hal tersebut membuatnya menjadi salah satu wilayah terpadat di dunia. Penduduk secara sistematis menghadapi kekurangan makanan, air, listrik dan layanan kesehatan.

Namun, selain itu, kawasan ini juga mengalami peningkatan suhu, penurunan curah hujan, naiknya permukaan air laut, dan seringnya terjadi cuaca ekstrem. Hal-hal tersebut disebabkan oleh perubahan iklim, menurut laporan dari Institute for National Security Studies pada Juni 2022.

"Pendorong utama kerentanan di Gaza adalah konflik, dan meningkatnya risiko iklim memperburuk kerentanan masyarakat," ujar Catherine-Lune Grayson, kepala kebijakan ICRC, yang memimpin upaya isu iklim.

Pada Januari 2022, banjir besar di Gaza menyebabkan kerusakan pada ratusan bangunan dan mengakibatkan seluruh sistem drainase tidak berfungsi, memaksa banyak orang meninggalkan rumah mereka. Sekarang, jika terjadi cuaca ekstrem lagi di wilayah tersebut, yang mana akses terhadap kebutuhan dasar sangat terbatas, penduduk setempat tidak akan bisa mengatasinya.

"Pendudukan dan blokade yang berlangsung lama membuat masyarakat di Gaza memiliki sarana yang lebih terbatas dibandingkan di lingkungan lain. Salah satu strategi adaptasi adalah dengan berpindah, misalnya, mencari lahan atau perairan yang lebih subur. Itu bukanlah pilihan bagi masyarakat di Gaza," jelas Catherine-Lune Grayson.

Yvonne Su menambahkan bahwa akibat dari kejadian cuaca ekstrem yang diakibatkan oleh perubahan iklim di wilayah tersebut akan terasa langsung dan mengerikan.

"Tidak ada tempat untuk lari. Ke mana orang akan pergi untuk mencapai tempat yang lebih aman? Di mana mereka akan bisa memulai dari awal setelah bencana?"

Menurut indeks INFORM Risk yang diterbitkan oleh Komisi Eropa, Wilayah Palestina termasuk di antara 25 wilayah yang paling rentan terhadap perubahan iklim.

6 dari 7 halaman

Menyesuaikan Diri dengan Perubahan Iklim di Tengah Konflik

Bahkan dalam situasi terbaik sekalipun, menyesuaikan diri dengan perubahan iklim akan memerlukan perubahan besar-besaran di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal sosial, ekonomi, dan budaya.

Misalnya, mungkin diperlukan restrukturisasi sistem pertanian secara menyeluruh untuk menemukan tanaman yang lebih tahan terhadap kondisi baru, atau untuk mengatasi penyakit yang muncul akibat suhu yang lebih tinggi. Namun, di tengah konflik, pihak berwenang cenderung terlalu fokus pada keamanan sehingga sering kali mengabaikan tantangan-tantangan semacam ini.

"Negara-negara yang berada pada peringkat terbawah bukan hanya merupakan negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim namun juga paling tidak siap untuk beradaptasi. Mereka mungkin kurang terpapar secara langsung terhadap perubahan iklim, namun tidak siap menghadapi segala jenis pemicu stres sehingga mereka menjadi sangat rentan terhadap segala jenis risiko," ujar Catherine-Lune Grayson.

Menurut Catherine-Lune Grayson, dampak dari konflik melampaui hal-hal yang terlihat, seperti kematian dan kerusakan infrastruktur. Hal tersebut berpengaruh pada sendi-sendi masyarakat itu sendiri.

"Layanan-layanan penting seperti akses air, pendidikan, dan fasilitas kesehatan dapat hancur, dan ini akan berdampak pada perekonomian, yang pada gilirannya mempengaruhi kohesi sosial. Ini berarti bahwa masyarakat yang sudah lemah akan semakin sulit dalam menghadapi berbagai tekanan, dan tekanan terkait iklim akan semakin meningkat karena perubahan iklim," jelas Catherine-Lune Grayson.

7 dari 7 halaman

Kesenjangan Pendanaan Iklim, Tantangan Bagi Negara-Negara yang Berkonflik dan Rentan

Menurut ICRC, terdapat ketidakseimbangan dalam pendanaan tindakan terkait iklim antara negara-negara yang stabil dan yang rentan. Meskipun termasuk dalam kategori negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim, banyak di antara mereka terabaikan secara finansial.

"Penyebab sulitnya akses pendanaan iklim ke negara-negara yang tengah konflik adalah karena sifat konflik itu sendiri. Seringkali, lingkungan di negara-negara konflik memiliki institusi yang belum tentu kuat atau mampu menyalurkan dana, bahkan mengajukannya," tutur Catherine-Lune Grayson.

Catherine-Lune Grayson menambahkan, "Negara-negara yang sedang konflik cenderung memusatkan perhatian mereka, dengan alasan yang wajar, pada memulihkan keamanan di wilayah mereka. Dampak jangka panjang dari risiko iklim mungkin tidak selalu menjadi pertimbangan utama bagi negara-negara ini."

Namun ada peringatan penting yang perlu diperhatikan, seperti yang diungkapkan oleh kepala kebijakan ICRC.

"Bahkan negara-negara yang dikenal stabil seperti Perancis atau Swiss saat ini mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan iklim," ujar Catherine-Lune Grayson.

Pada tahun 1977, protokol tambahan ditambahkan dalam Konvensi Jenewa yang bertujuan untuk mengatur aturan perang guna memastikan perlindungan terhadap lingkungan alam. Hukum humaniter internasional melarang serangan terhadap objek-objek yang sangat penting bagi kehidupan warga sipil, seperti lahan pertanian dan sistem air minum.

ICRC saat ini sedang berupaya untuk memperkuat ketahanan Gaza dalam menghadapi tantangan saat ini.

"Kami sedang mempertimbangkan, misalnya, bagaimana memastikan titik air dapat terus berfungsi meskipun ada dampak terhadap produksi listrik," ungkap Catherine-Lune Grayson. "Kita perlu membangun ketahanan terhadap guncangan akibat konflik, dan juga terhadap guncangan akibat perubahan iklim."

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini