Sukses

Majelis Umum PBB 2023: Xi Jinping hingga Putin Absen, Invasi Rusia ke Ukraina Kembali Jadi Fokus Utama

Dari 193 negara anggota PBB, 145 negara mengirimkan kepala negara atau pemerintahan mereka untuk menghadiri Majelis Umum PBB. Indonesia dipimpin Menlu Retno Marsudi.

Liputan6.com, Washington - "Setetes demi setetes racun perang menginfeksi dunia kita," ungkap Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres saat membuka Majelis Umum PBB pada Senin (18/9/2023).

Majelis Umum PBB 2023 digelar saat dunia dilanda perang Ukraina, lonjakan harga pangan, suhu yang mencatat rekor baru, bencana iklim, dan krisis migran yang jumlahnya belum pernah terjadi sebelumnya - agenda yang membuat pertemuan terdengar lebih menantang sekaligus mengkhawatirkan.

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dilaporkan akan berbicara dalam Majelis Umum PBB pada Selasa (19/9). Dia menjadi satu-satunya pemimpin anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB yang hadir, selebihnya yakni Inggris, Prancis, Rusia, dan China, absen. Dengan kondisi tersebut, tidak sedikit yang mempertanyakan seberapa besar harapan yang dapat dicapai oleh PBB dengan kondisi yang demikian?

Dari 193 negara anggota PBB, 145 negara mengirimkan kepala negara atau pemerintahan mereka untuk menghadiri Majelis Umum PBB.

"Sementara Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak dan Presiden Prancis Emmanuel Macron punya alasan, yaitu Raja Charles III akan mengunjungi Prancis ... Saya rasa Majelis Umum PBB adalah kesempatan yang baik bagi Biden dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken untuk berupaya memperkuat hubungan AS dengan para pemimpin non-Barat, mengingat Xi Jinping dan Vladimir Putin juga tidak hadir," ujar Direktur International Crisis Group PBB Richard Gowan, seperti dilansir CBS News, Selasa (19/9).

Banyak ahli meyakini bahwa persaingan antara AS dan China untuk mendapatkan sekutu di wilayah yang disebut sebagai "Global Selatan" atau "Global South" telah melemahkan kemampuan PBB untuk menyatukan berbagai pihak demi mencari solusi terhadap persoalan kolektif yang paling mendesak di dunia.

"Saya tidak melihat pekan depan sebagai kompetisi antara negara-negara besar. Tujuan kami adalah untuk mendukung negara-negara kecil – untuk memberi tahu mereka bahwa kami berkomitmen terhadap negara-negara tersebut seperti yang selalu kami lakukan," ujar Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield.

Adapun delegasi Indonesia yang hadir dalam Majelis Umum PBB dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.

"Statement Indonesia akan disampaikan pada 23 September, mengikuti perkembangan," terang juru bicara Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal saat dihubungi Liputan6.com pada Senin.

Lebih lanjut ketika dikonfirmasi, Iqbal menuturkan bahwa Indonesia belum memutuskan kehadiran dan tingkat kehadiran pada KTT Ambisi Iklim yang akan berlangsung pada Rabu (20/9) di sela-sela rangkaian agenda Majelis Umum PBB.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Invasi Rusia ke Ukraina Kembali Jadi Fokus Utama

Perdana Menteri India Narendra Modi pun tidak hadir dalam Majelis Umum PBB.

"Bahkan tanpa Xi Jinping dan Modi di PBB, ada beberapa pemimpin non-Barat yang akan berbicara tegas atas nama negara berkembang," kata Gowan, mengutip Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, yang akan menggunakan pidatonya. untuk memberikan dorongan besar dalam menyeimbangkan kembali sistem global dan Presiden Cyril Ramaphosa dari Afrika Selatan, yang kemungkinan juga akan melakukan hal serupa.

Gowan menilai bahwa para pemimpin dari negara-negara kecil dapat memberikan pengaruh yang sangat besar di Majelis Umum PBB. Contohnya adalah Perdana Menteri Barbados Mia Mottley – yang kemungkinan besar akan menjadi calon sekretaris jenderal berikutnya – yang memanfaatkan penampilannya di PBB baru-baru ini untuk menyerukan reformasi pada IMF dan Bank Dunia.

"Masyarakat mengharapkan pemimpin mereka mencari jalan keluar dari kekacauan ini," ujar Guterres.

Invasi Rusia ke Ukraina dan pengeboman yang terus berlanjut terhadap warga sipil akan menjadi fokus utama acara tahun ini. Untuk itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky disebut akan menjadi pusat perhatian.

Zelensky sendiri memiliki beberapa kesempatan untuk menyampaikan permohonan dukungannya ke seluruh dunia dalam perjalanannya ke AS kali ini, termasuk di Markas Besar PBB di New York City dan di Washington, di mana dia akan bertemu dengan Biden pada Kamis (21/9).

"Jika Ukraina jatuh, apa yang akan terjadi dalam 10 tahun? Coba pikirkan. Jika (Rusia) mencapai Polandia, apa yang terjadi selanjutnya? Perang Dunia III?" ujar Zelensky dalam wawancaranya dengan CBS News.

"Kami membela nilai-nilai seluruh dunia. Dan adalah rakyat Ukraina yang menanggung akibatnya. Kami benar-benar berjuang untuk kebebasan kami, kami sedang sekarat … Kami benar-benar berjuang melawan negara nuklir yang mengancam menghancurkan dunia."

Zelensky menegaskan Ukraina tidak akan mempertimbangkan menyerahkan wilayahnya demi perjanjian damai dengan Rusia.

Gowan mengingatkan Zelensky perlu berhati-hati dengan pernyataannya.

"Bahkan, mereka yang bersimpati kepada Ukraina ingin melihat perundingan damai secepatnya," tutur Gowan.

3 dari 3 halaman

Krisis Migran dan Kerawanan Pangan

Masalah mendesak lainnya yang dihadapi PBB saat ini adalah pemindahan paksa orang-orang di seluruh dunia. Komisaris Tinggi Pengungsi Filippo Grandi pada hari Minggu (17/9) di Markas Besar PBB mengungkapkan telah terjadi banjir pengungsi Afrika, Asia, dan Amerika Latin, menyusul angkanya mencapai rekor tertinggi, yakni 110 juta orang tahun ini.

Kerawanan panjang menjadi agenda utama lainnya.

"Jumlah orang di seluruh dunia yang kekurangan makanan adalah yang tertinggi dalam sejarah modern," kata Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia (WFP) Cindy McCain, seraya menambahkan bahwa 700 juta orang tidak tahu kapan atau apakah mereka akan makan lagi.

Beberapa ahli berpendapat bahwa fokus di PBB kini lebih sulit dari sebelumnya.

"Guterres mempunyai agenda yang ambisius dan bijaksana untuk organisasi tersebut, menekankan isu-isu seperti pengaturan kecerdasan buatan dan memerangi perubahan iklim," tutur Gowan. "Tetapi negara-negara besar yang membentuk diplomasi PBB terfokus pada hal lain dan sulit untuk mencapai kesepakatan mengenai masalah global jangka panjang di era perang dan krisis yang panas."

Sementara itu, Duta Besar China untuk PBB Zhang Jun menegaskan, "Kita harus mengatakan tidak untuk blok konfrontasi, politik kekuasaan, atau standar ganda. Jika Majelis Umum yang akan datang dapat menetapkan arah yang benar, membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap PBB, semua masalah lainnya akan lebih mudah diatasi."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini