Sukses

Studi: Bumi Makin Panas, Mikroba Lebih Berperan Sebagai Penghasil Dibanding Penyerap Karbon

Temuan studi menyiratkan bahwa mikroba mixotrophic tidak lagi dapat diandalkan untuk mengurangi climate change.

Liputan6.com, Jakarta - Studi baru menemukan bahwa suhu Bumi yang semakin panas membuat plankton laut dan organisme bersel tunggal lainnya, yang dikenal sebagai mikroba mixotrophic, beralih peran dari penyerap karbon menjadi penghasil karbon. Penelitian tersebut diterbitkan dalam jurnal British Ecological Society, Functional Ecology.

Para peneliti menyebut hal itu merupakan sinyal peringatan dini terkait titik kritis perubahan iklim sekaligus menyiratkan bahwa mikroba mixotrophic tidak lagi dapat diandalkan untuk mengurangi climate change.

Dikutip dari scitechdaily, Sabtu (24/6/2023), mikroba mixotrophic adalah organisme yang dapat berfotosintesis seperti tanaman (menyerap karbon dioksida) dan makan seperti hewan (melepaskan karbon dioksida). Penelitian menemukan bahwa kenaikan suhu global membuat mikroba mixotroph semakin banyak makan dibanding berfotosintesis, mengubah keseimbangan karbon masuk dan keluar.

"Temuan kami mengungkapkan mikroba mixotrophic adalah pemain yang jauh lebih penting dalam respons ekosistem terhadap perubahan iklim dibanding perkiraan sebelumnya. Dengan perubahan komunitas mikroba menjadi sumber karbon dioksida sebagai respons terhadap pemanasan, mixotrophic dapat lebih mempercepat pemanasan dengan menciptakan umpan balik positif antara biosfer dan atmosfer," ungkap Daniel Wieczynski dari Universitas Duke yang merupakan penulis utama studi tersebut.

Holly Moeller dari Universitas California Santa Barbara dan rekan penulis studi menambahkan, "Karena mixotroph dapat menyerap dan melepaskan karbon dioksida, mereka seperti 'sakelar' yang dapat membantu mengurangi perubahan iklim atau memperburuknya. Organisme ini kecil, namun pengaruh mereka benar-benar meningkat."

Keberadaan komunitas mikroba mixotrophic disebut berlimpah secara global dan umumnya ditemukan di lingkungan air tawar dan laut, serta diperkirakan merupakan mayoritas dari plankton laut.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

2023 Berpotensi Jadi Tahun Terpanas dalam Sejarah Bumi

Temperatur global dilaporkan telah memecahkan rekor bulan ini. Suhu rata-rata global sejauh ini pada Juni 2023 meningkat hampir satu Celcius di atas level yang sebelumnya tercatat pada bulan yang sama.

Meski Juni belum usai dan rekor baru kemungkinan terpecahkan, para ilmuwan iklim menilai fenomena ini menunjukkan penguatan pemanasan global, yang dapat mencatat 2023 sebagai tahun terpanas melampaui tahun 2016.

"Terjadi pemanasan global yang luar biasa sejauh ini pada Juni," demikian laporan Copernicus, unit pengamatan Bumi Uni Eropa seperti dilansir The Guardian, Jumat (16/6).

Laporan Copernicus menyebutkan bahwa pada sejumlah hari di awal Juni 2023, peningkatan suhu bahkan tembus 1,5 derajat Celcius dibandingkan dengan masa pra-industri.

"Ini mungkin pertama kalinya terjadi sejak industrialisasi," ungkap laporan Copernicus.

Peningkatan suhu Bumi, yang dipicu oleh pembakaran bahan bakar fosil, diduga akan diperparah oleh El Nino, fenomena alami memanasnya suhu permukaan laut di Samudra Pasifik di atas kondisi normal. El Nino lazimnya memicu lonjakan suhu di seluruh dunia.

Pekan lalu, Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (NOAA) mengatakan bahwa El Nino telah tiba dan akan secara bertahap menguat hingga awal tahun depan.

"Anomali suhu permukaan saat ini berada pada atau mendekati rekor dan tahun 2023 hampir pasti akan menjadi tahun terpanas dalam sejarah," ungkap Ilmuwan iklim dari Universitas Pennsylvania Michael Mann.

"Hal itu kemungkinan juga berlaku untuk hampir setiap tahun El Nino di masa depan, selama kita terus memanaskan planet ini dengan pembakaran bahan bakar fosil dan polusi karbon."

Ahli meteorologi Finlandia Mika Rantanen menuturkan bahwa suhu panas yang melonjak pada Juni 2023 "luar biasa" dan "nyaris dipastikan" akan menghasilkan rekor bulan Juni paling panas.

Tahun 2023 sendiri telah mencatat rekor gelombang panas parah yang mengguncang sejumlah wilayah, dari Puerto Riko ke Siberia hingga Spanyol, sementara suhu panas di Kanada membantu memicu kebakaran hutan yang menutupi langit New York dan Washington dengan asap beracun pekan lalu.

Laporan terbaru yang dirilis NOAA pada Rabu (14/6) menyebutkan bahwa dunia mengalami bulan Mei terpanas ketiga dalam rekor suhu 174 tahun, di mana Amerika Utara dan Amerika Selatan sama-sama menderita bulan Mei terpanas yang pernah tercatat.

Sebelumnya, pada Mei, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) telah memperingatkan bahwa suhu global mungkin akan melonjak selama lima tahun ke depan. Pemicunya adalah El Nino dan emisi, dengan rekor tahun terpanas baru hampir pasti terjadi selama periode tersebut.

3 dari 3 halaman

Butuh Langkah Radikal untuk Tangani Krisis Iklim

Sementara orang-orang merasakan panas di darat, semburan panas yang luar biasa dilaporkan terjadi di laut. NOAA mengonfirmasi bulan kedua berturut-turut rekor suhu permukaan laut yang tinggi pada Mei 2023.

Suhu panas ekstrem di lautan, yang menutupi 70 persen permukaan dunia, memengaruhi suhu global secara keseluruhan hingga mendorong kenaikan permukaan laut.

"Lautan terus memanas dan sekarang kita melihat rekor suhu yang tentunya mengkhawatirkan mengingat perkiraan El Nino akan menguat. Itu pasti akan berdampak pada seluruh dunia," ujar ilmuwan iklim NOAA Ellen Bartow-Gillies.

Bartow-Gillies mengatakan bahwa NOAA belum memproses data suhu untuk bulan Juni, namun memperkirakan peningkatan suhu panas akan berlanjut, sekalipun kelak El Nino bukan faktor utama.

"Kita memulai tahun ini dengan cukup panas, ini belum pernah terjadi sebelumnya, namun kita bisa lebih panas dengan El Nino," kata Bartow-Gillies.

Terlepas dari apakah tahun 2023 akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat, para ilmuwan memperingatkan bahwa dampak yang meningkat dari krisis iklim sekarang jelas terlihat dan tidak akan melambat sampai emisi gas rumah kaca dikurangi secara radikal.

"Tanpa pemangkasan emisi yang lebih kuat, perubahan yang kita lihat ini hanyalah awal dari dampak buruk yang bisa kita rasakan," tutur ilmuwan atmosfer dari Universitas Cornell Natalie Mahowald. "Tahun ini dan peristiwa-peristiwa ekstrem yang telah kita lihat sejauh ini harus menjadi peringatan."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini