Sukses

Peran RI Bantu Pengungsi Asing Dipuji UNHCR

UNHCR mengapresiasi peran Indonesia yang membantu penanganan pengungsi asing, meski terkendala sejumlah masalah dan keterbatasan.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) mengapresiasi peran pemerintah Indonesia yang telah banyak membantu penanganan pengungsi dan pencari suaka dari luar negeri yang datang ke Tanah Air. Hal ini dilakukan meski dalam prosesnya masih terdapat sejumlah masalah sampingan dan keterbatasan.

"Komitmen pemerintah RI untuk membantu para pengungsi dan pencari suaka yang datang ke Indonesia, terutama yang dalam kondisi berbahaya ketika terombang ambing di atas perahu di laut, seperti di Aceh dan Sumatera Utara, sangat kami apresiasi," kata Thomas Vargas, perwakilan UNHCR di Indonesia, di Jakarta (26/4/2018).

Langkah Indonesia untuk merancang hukum soal penanganan dan perlindungan pengungsi serta pencari suaka, yang termaktub dalam Peraturan Presiden No 125 Tahun 2016, tak luput dari apresiasi Perwakilan UNHCR di Indonesia itu.

"Perangkat hukum itu menjadi contoh bahwa meski Indonesia tidak meratifikasi konvensi dan protokol internasional tentang pengungsi (Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Mengenai Status Pengungsi PBB 1967), perlindungan terhadap mereka tetap bisa dilakukan," kata Vargas.

Akan tetapi, ucap Vargas, bukan berarti permasalahan pengungsi dan pencari suaka yang berdatangan ke Indonesia berhenti sampai di situ.

Saat ini, masih ada sekitar 14 ribu pengungsi dan pencari suaka asing yang berada di Indonesia (meningkat sejak lima tahun terakhir), menurut data UNHCR dan Direktorat Jenderal Keimigrasian Kemenkumham.

Mereka menjadikan Indonesia sebagai negara transit dan singgah sementara, sampai direlokasi pemerintah RI dan UNHCR ke negara penerima pencari suaka.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, proses relokasi mengalami hambatan, sehingga para pengungsi dan pencari suaka di Indonesia telantar selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Hambatan itu disebabkan oleh berbagai faktor.

Mulai dari kebijakan proteksi yang diterapkan oleh negara penerima suaka -- seperti yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump (dengan mengurangi jumlah penerimaan dari 120 ribu menjadi 45 ribu) -- sampai masalah keterbatasan dana negara transit.

"Arus pengungsi terus berdatangan mengingat konflik di berbagai belahan dunia masih terus berlangsung. Hal itu diperparah dengan kebijakan negara penerima suaka, seperti AS, Australia, dan Kanada yang mulai membatasi jumlah pengungsi," kata Vargas.

"Kami juga menggarisbawahi bahwa negara-negara transit, seperti di Indonesia, tak memiliki dana yang cukup untuk secara komprehensif menangani para pengungsi," kata dia.

 

Kemah-kemah pengungsi dari Afrika dan Asia Selatan di trotoar depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta Barat (4/4/2018) (Muhammad Husni Mubarok/Liputan6.com)

 

Namun, Vargas menegaskan bahwa berbagai kendala seputar pengungsi dan pencari suaka itu tidak semata-mata harus diatasi Indonesia atau UNHCR di Indonesia saja.

"Organisasi swadaya dan komunitas masyarakat setempat di Indonesia harus ikut berkontribusi membantu. Di sisi lain, kami dan pemerintah RI masih terus intens berdialog untuk menemukan solusi kreatif demi menjawab permasalahan tersebut," kata Perwakilan UNHCR di Indonesia itu.

Saat ini, menurut data UNHCR, terdapat sekitar 65 juta pengungsi di seluruh dunia. Konsentrasi pengungsi terbanyak ada di Bangladesh, yang menampung sekitar hampir 1 juta etnis Rohingya yang melarikan diri akibat kekerasan dan persekusi di Rakhine, Myanmar.

Di Indonesia, menurut data tahun 2017 dari Direktorat Jenderal Keimigrasian Kemenkumham dan UNHCR, terdapat sekitar 14.300-14.450 orang yang berstatus sebagai pengungsi. Sekitar 25 persen atau 465 orang adalah anak-anak.

Dari total para pengungsi itu, sekitar 4.000 orang berada di lembaga detensi atau fasilitas penampungan keimigrasian yang tersebar di Riau hingga Jayapura. Sementara itu, 4.400 orang berada di rumah komunitas yang dikelola organisasi non-profit swadaya (ornop atau LSM) dan sekitar 6.000 sisanya hidup mandiri di luar rumah penampungan negara atau ornop.

Berdasarkan kebangsaan, sekitar 7.154 berasal dari Afghanistan, 1.446 dari Somalia, 954 orang dari Myanmar, 946 orang dari Irak, 752 orang dari Nigeria, 543 dari Sri Lanka, dan 2.640 dari negara lain. Selain itu, terjadi peningkatan kuantitas pengungsi dan pencari suaka yang datang ke Indonesia, yang pada 2010 berkisar 2.882 orang, menjadi 14.450 orang pada 2017.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Perlu Sinergi LSM, Pemerintah, dan UNHCR

Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI Achsanul Habib menegaskan bahwa untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, perlu adanya sinergitas antara pemerintah Indonesia, UNHCR, lembaga swadaya masyarakat, serta komunitas internasional.

"Bagaimana kita menangani pengungsi ini unik dan tidak spesifik pada penyelesaian satu pihak saja. Bukan pemerintah Indonesia saja yang harus menghadapi, tapi pihak pemangku kepentingan lain. Dan tak lupa, komunitas internasional, karena ini masalah global," kata Habib.

"Masukan serta kontribusi dari para LSM dan organisasi sipil yang selama ini menangani para pengungsi juga sangat signifikan membantu pemerintah Indonesia," kata dia.

Habib mengakui, masalah pengungsi yang tertahan dan telantar untuk sekian lama di Indonesia demi menunggu relokasi ke negara penerima suaka, menjadi salah satu masalah tersendiri.

"Itulah yang terjadi ketika negara penerima suaka mulai memproteksi diri. Maka, saat ini, pemerintah sedang berusaha untuk memecahkan masalah itu, baik lewat kebijakan di dalam negeri maupun diplomasi di luar," ujar Habib.

UNHCR dan pemerintah Indonesia juga tengah menggodok rencana kebijakan untuk memberdayakan para pengungsi dan pencari suaka agar mereka mampu menafkahi diri sendiri.

"Kami mendorong agar pengungsi juga mampu menafkahi diri mereka sendiri dan mencari uang, tentunya dengan dibantu diberdayakan oleh pemerintah negara trasit setempat. Negosiasi kebijakan itu, bisa dilakukan agar para pengungsi yang tengah transit di sini bisa bermanfaat untuk komunitas sekitarnya," kata Thomas Vargas.

"Sampai saat ini, UNHCR dan Indonesia masih intens mendiskusikan solusi kreatif itu," kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.