Sukses

3 Fakta Gaun Mewah Era Victoria yang Tewaskan 3.000 Wanita

Konon pada Era Victoria di Inggris, para wanita rela berkorban demi tampil cantik. Meski nyawa jadi taruhan.

 

Liputan6.com, London - Gaya busana wanita Inggris  pada pertengahan Abad ke-19 terbilang unik, dengan bagian pinggang dibuat ramping atau singset dan bawahan megar. 

Gaun semacam itu biasanya dikenakan kaum elite pada jamuan makan malam atau pesta dansa, di istana di dalam kastil nan megah.

Gaun cantik, dengan dalaman berlapis plus crinoline yang mirip kurungan ayam dikenakan. Tujuannya, agar wanita yang memakainya tampak eksklusif dan anggun.

Badannya si pemakai niscaya tampak lebih indah dan ramping, lantaran desain bagian atas hingga pinggang yang dibingkai crinoline dibuat bak jam pasir. Model dan bahannya pun bervariasi, dengan bordir, renda, juga hiasan pita berwarna-warni.

Seperti dikutip dari The Vintage News, Rabu (7/2/2018), tak hanya menyiksa para wanita karena ukurannya yang sempit atau bentuknya yang tidak wajar, crinoline atau dalaman gaun yang biasa dipakai kaum hawa saat itu ternyata berbahaya. 

Gaya busana wanita era Victoria bisa dibilang "dressed to kill", bukan sekedar bergaya busana yang lagi tren atau sesuai mode supaya orang terkesan, melainkan 'berbusana untuk membunuh' -- setidaknya membunuh si pemakai. 

Sejarah bahkan mencatat, crinoline memicu kematian lebih dari 3.000 wanita saat itu. Berikut 3 fakta dalaman gaun era Victoria yang mengundang maut: 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

1. Mengabaikan Rasa Nyaman

Tren mode saat Era Victoria mengungkapkan, kebanyakan wanita masih sering abai untuk menyatukan rasa nyaman dan daya tarik dari pakaian yang mereka kenakan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mengenakan crinoline hanyalah cara pencitraan seorang wanita, demi mendapatkan perhatian orang-orang agar semua mata tertuju padanya.

Pada Era Victoria, sebagian besar wanita dilanda "wabah" yang disebut Crinolinemania, orang yang tergila-gila dengan crinoline. Gaun mereka kebanyakan berbentuk rok panjang yang kaku, terbuat dari bulu kuda dan linen atau kapas. Model dalaman itu ditemukan pada tahun 1840-an.

Crinoline sebenarnya adalah kelanjutan dari pannier, yang sempat tenar pada abad ke-17 dan ke-18.

Pannier adalah dalaman wanita yang dipakai untuk memperpanjang lebar rok dari sisi samping, sedangkan sisi depan dan belakang dibiarkan datar. Bentuknya mirip kurungan ayam tapi gepeng. 

Sedangkan menurut beberapa sejarawan fashion, pendahulu sebenarnya dari crinoline adalah farthingale yang merupakan buatan Spanyol pada Abad ke-16.

Rok lebar dan bevolume ini dipuja oleh perempuan-perempuan Spanyol, bahkan sekelas Ratu dari Castile, Joana of Portugal. Kala itu, dia dengan bangga mengenalkannya ke istana.

Meski menarik perhatian orang banyak, pengenalan farthingale yang dilakukan oleh sang ratu memunculkan rumor tak sedap. Joana dituding menyembunyikan kehamilan di luar nikahnya.

Inggris mengenal crinoline saat Catherine of Aragon, istri pertama Henry VIII, mengenakan farthingale yang terbuat dari linen dan rotan.

Pada paruh pertama tahun 1800-an, rok tersebut mengembang lebih besar dan mengadopsi bentuk bulat. Para wanita melebarkan bagian bawahnya dengan menambahkan banyak lapisan.

Pakaian berlapis ini sering kali membatasi gerakan dan kenyamanan kaum hawa. Jadi saat crinoline akhirnya ditemukan, para wanita merasa lega. Pasalnya, crinoline tak lebih berat dari farthingale dan lebih bisa menyesuaikan bentuk badan.

3 dari 4 halaman

2. Demam Crinoline Melanda

Nama crinoline pertama kali muncul pada tahun 1800-an di majalah Punch. Waktu itu, Punch mengejek kegilaan crinoline dan menerbitkan karikatur tentang Crinolinemania.

Salah satu model yang paling banyak dikenal adalah cage crinoline atau crinoline sangkar, yang pertama kali dipatenkan pada tahun 1856 oleh R.C. Milliet di Paris.

Agennya lalu membawa gaun lebar tersebut ke Inggris dan menjadi populer hanya dalam waktu satu malam. Crinoline ini terbuat dari baja pegas dengan kelenturan yang memberikan keleluasaan gerak pemakainya, sehingga si pemakai bisa duduk.

Crinoline sangkar tahun 1860-an. (The Vinntage News)

"Gaun ini begitu sempurna. Kami bisa dengan leluasa naik tangga curam, bersandar di meja, duduk di kursi saat menonton opera dan berada di dalam kereta, tanpa merepotkan diri sendiri atau orang lain dan memprovokasi komentar kasar dari para pengamat busana. Kami yakin lebih terlihat anggun dengan mengenakan cage crinoline ini," ujar seorang perempuan yang mengulas gaun tersebut dalam surat kabar Lady's Newspaper tahun 1863.

Tak ayal, respon positif ini memantik produksi besar-besaran crinoline yang dimandori oleh produsen tersukses, Douglas & Sherwood's Hoop Skirt Factory di New York, Amerika Serikat.

Produksi massal membuat crinoline mudah dijangkau oleh siapapun, meski kasta mereka berbeda.

Untuk kegiatan sehari-hari, sebagian besar wanita memakai crinoline ukuran kecil, sementara model yang berbentuk lonceng besar dan berdiameter 6 kaki, dipakai pada acara-acara khusus.

4 dari 4 halaman

3. Keanggunan yang Mematikan

Di balik kelebihan, pasti ada kekurangan. Begitu pula crinoline.

Lantaran terlalu berat dan kuat, busana ini ternyata memiliki kekurangan yang jauh lebih besar daripada kelebihannya.

Pertama, gaun ini tak bisa dipakai saat musim panas. Mengenakannya ketika mentari sedang bersinar terik atau suhu di atas 30 derajat Celcius, sama saja dengan "bunuh diri".

Kedua, ukuran yang super besar seringkali menimbulkan masalah di lingkungan sekitar, seperti misal wanita yang terluka parah atau terbakar hidup-hidup ketika sebuah lilin atau percikan api dari perapian menyambar crinoline mereka.

Atau tersangkutnya bagian bawah crinoline pada roda kereta kuda.

Pada 1858, seorang wanita di Boston berdiri terlalu dekat dengan perapian saat roknya terbakar, dan hanya perlu beberapa menit bagi tubuhnya untuk terbakar secara keseluruhan.

Sementara, pada Februari 1863, crinoline yang dipakai Margaret Davey, seorang pelayan dapur berusia 14 tahun. Ia kemudian meninggal akibat luka bakar yang dideritanya.

Di Inggris, selama periode dua bulan, 19 kematian dikaitkan dengan crinoline yang terbakar. Di sisi lain, para perempuan yang jadi saksi peristiwa tragis itu tak bisa berbuat apa-apa, mereka takut rok mereka sendiri terbakar saat menolong korban.

Sementara itu, di Philadelphia, sembilan balerina terbunuh gara-gara busana yang dikenakan salah satu dari mereka tersambar api lilin di Continental Theater.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.