Sukses

Prancis Ancam Cabut Status Kewarganegaraan Pelaku Teror

Presiden Hollande berencana merombak Konstitusi dengan memasukkan pencabutan paspor dan warga negara bagi pelaku teroris dari WN Prancis.

Liputan6.com, Paris - Presiden Prancis Francois Hollande berencana mencabut status warga negara bagi siapapun yang terbukti melakukan tindak terorisme.

Proposal kontroversial itu didukung oleh majelis rendah parlemen dan dikenalkan setelah tragedi Paris pada 13 November 2015 yang membunuh 130 orang.

Majelis Nasional Prancis menenangkan proposal itu dengan suara 162 setuju dan 148 menolak untuk memasukkan pasal pencabutan paspor dan status warga negara di Konstitusi. Kebanyakan mereka yang tidak setuju karena menganggap rencana itu terlalu berlebihan.

Partai Sosialis mempertimbangkan klausul itu tidak efektif bahkan merendahkan perjuangan Prancis melawan terorisme. Sementara itu, pemerintahan Hollande telah melakukan negosiasi panjang untuk mengubah Konstitusi setelah serangan Paris yang didalangi ISIS.

Kendati demikian, Perdana Menteri Prancis, Manuel Valls menyambut baik hasil voting.

"Besok, kami akan melakukan pemilihan lain. Saya pikir persetujuan akan lebih luas, dan reformasi konstitusi akan berlanjut," ujar Valls seperti dilansir Reuters, Selasa 9 Februari 2016.

Pemilihan lanjutan akan berlangsung Rabu (10/2/2016) di majelis rendah untuk memastikan voting itu.

Kritikan pun datang bertubi-tubi. Seperti diketahui, Prancis mengenal dual-citizenship atau dwi-warga negara.

Dengan perubahan ini, akan membuat stigma bagi mereka yang memiliki dua warga negara. Termasuk mereka yang berasal dari negara mantan koloni Prancis di Afrika. Di bawah undang-undang internasional, pemerintah tidak berhak membuat warganya tak memiliki negara.

Sebelum voting, mantan presiden Prancis sayap kanan, Nicolas Sarkozy mendukung rencana itu dan mengkritik para penentang. Ia mengatakan, "dengan 130 orang tewas, kita telah membuat komitmen untuk tidak berlaku seperti politisi picik menghadapi tragedi."

Prancis memperpanjang proses rencana perubahan Konstitusi hingga akhir Mei bertepatan dengan berakhirnya status negara dalam bahaya yang dideklarasikan setelah serangan teror Paris.

Namun, mundurnya menteri kehakiman Prancis yang tak setuju proposal ini telah membuat ragu banyak pihak kalau perubahan Konstitusi bakal terjadi.

Untuk mengubah konstitusi, proposal pemerintah butuh persetujuan majelis tinggi di parlemen, senat dan kemudian dua majelis dengan suara mayoritas tiga per lima. Seluruh proses itu membutuhkan waktu berminggu-minggu.

Hollande diperkirakan akan merombak kabinetnya dalam beberapa hari mendatang. Sebagai pertaruhan menaikkan namanya yang sempat jatuh.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.