Sukses

&quotNama STPDN Rusak di Mana-Mana...&quot

Ucapan itu keluar dari mulut Aryo, bekas mahasiswa STPDN asal Nusatenggara Timur yang kerap dianiaya para seniornya. Dia juga dipukul saat mengikuti proses seleksi di daerahnya.

Liputan6.com, Jakarta: Kekerasan di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri masih menuai hujatan berbagai kalangan. Maklum, kasus penganiayaan mahasiswa yunior oleh para praja senior di STPDN bukanlah hal yang aneh di kampus yang menempati areal cukup luas di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Dengan dalih menerapkan disiplin, para praja senior kerap kelewat batas memperlakukan para yuniornya [baca: Murka di Kampus STPDN].

"Kami ditendang, mata kami diikat (ditutup), lampu-lampu dimatikan. Terus kami dipukul. Itu kebiasaan [yang terjadi] di depan barak pada jam 12 malam. PKI (Partai Komunis Indonesia, Red) juga kalah, tuh. Salah atau benar, kami tetap dipukul. Tradisinya memang begitu dari tahun ke tahun," ungkap Aryo yang pernah mengecap pendidikan plus penganiayaan di STPDN, saat bertelewicara dengan Rosianna Silalahi, Rabu (10/9) petang.

Aryo adalah contoh mahasiswa yunior STPDN yang memutuskan meninggalkan sekolah pamong tersebut. Warga Kupang, Nusatenggara Timur, ini memilih keluar dari STPDN setelah berulang kali dianiaya oleh sejumlah praja senior atau calon-calon lurah itu. Bahkan, Aryo mengungkapkan, kekerasan tak hanya terjadi di lingkungan Kampus STPDN. Sewaktu mengikuti proses seleksi penerimaan, Aryo telah mendapat perlakuan tidak manusiawi. "Di Kantor Gubernur [Kantor Pemerintah Provinsi NTT] saya dipukul juga," ungkap Aryo.

Lebih jauh Aryo mengungkapkan, selama proses seleksi, para calon mahasiswa diberitahu bahwa bersekolah di STPDN itu enak. Sebab, biaya pendidikan ditanggung pemerintah. "Ternyata, setelah tiba di sana, kami dianiaya. Kami dipukul," ulang Aryo, lirih. Menyoal keputusan untuk meninggalkan "sekolah impian" itu, menurut Aryo, lantaran tak tahan menerima penganiayaan berkali-kali.

Penganiayaan paling parah dialami pada tahun 2002. Dia pun sempat melaporkan kejadian itu kepada Kepolisian Sektor Jatinangor. Namun, ia kembali mencabut laporannya. Soalnya, pengasuh dan pihak STPDN memintanya mencabut laporan itu. "Mereka menjamin keselamatan saya di dalam [di Kampus STPDN]. Yang menjamin adalah Kepala bidang Pengasuhan. Ternyata, mereka bohong. Kuliah baru berjalan beberapa hari, saya dipukuli lagi. Belasan senior dari luar NTT menganiaya saya di kamar mandi [lingkungan kampus]," tutur Aryo.

Setelah dianiaya, Aryo sempat dirawat di Poliklinik STPDN. Lantas, ia memutuskan untuk keluar dari STPDN. "Saya mengundurkan diri bukan karena tak tahan dengan pelatihan, tapi dianiaya," kata Aryo, pelan. Bahkan, hingga kini, Aryo masih merasakan sakit di bagian dada lantaran tendangan sepatu lars.

Menyoal penganiayaan yang menewaskan Wahyu Hidayat, Aryo mengatakan tak mengerti insiden itu bisa terjadi. Menurut dia, kejadian itu membuat nama STPDN menjadi rusak di mata masyarakat. Bahkan, ada sejumlah orang yang memelesetkan singkatan STPDN menjadi Sekolah Tinggi Pemukulan Dalam Negeri. "Nama STPDN rusak di mana-mana," kata dia. Aryo mengungkapkan pula, para dosen atau staf pengajar STPDN mengetahui tradisi kekerasaan yang dilakukan senior terhadap yuniornya. Sayang, mereka justru menutupi hal itu karena takut nama baik STPDN hancur.

Kematian seorang mahasiswa di STPDN, memang bukan pertama kali terjadi. Sebelum Wahyu Hidayat, terdapat nama Ery Rahman dan Samuel Nouwe yang juga menjadi korban penganiayaan senior mereka [baca: Kematian Wahyu Mengulang Kasus Tiga Tahun Silam]. Tak hanya STPDN, kekerasan juga kerap terjadi di kampus lainnya di Tanah Air.

Istilah perpeloncoan, penggojlokan atau masa orientasi studi, acap kali dipakai demi meningkatkan disiplin. Sayang, itu disertai penyiksaan fisik. Ambil contoh kejadian pada September 2001. Saat itu, seorang calon mahasiswa baru Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah, bernama Anditya Sri Atmodjo harus digotong ke rumah sakit. Anditya mengalami kekerasan fisik oleh sekelompok seniornya. Di tahun sebelumnya, perlakuan serupa dialami Eko Ismarwanto, mahasiswa Politeknik Universitas Diponegoro, Semarang, Jateng. Eko dianiaya, bahkan hingga masuk rumah sakit jiwa.

Wahyu, Ery, Samuel, dan mungkin masih banyak nama lain yang belum tersebut telah menjadi korban kekerasan dalam kampus mereka. Mungkin, para orang tua masing-masing hanya bisa menyesali bahwa anak mereka dikirim untuk belajar. Bukan untuk disiksa di kampus.(ANS/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini