Sukses

DPR Tak Lagi Mempersoalkan Harga Saham Niaga

Commerce Asset Holding Berhard hampir dapat dipastikan memenangkan tender divestasi Bank Niaga. DPR tak lagi persoalkan harga saham yang ditawarkan Commerce.

Liputan6.com, Jakarta: Peluang Commerce Asset Holding Berhard untuk menguasai 51 persen saham pemerintah di Bank Niaga semakin besar. Komisi IX DPR tak lagi mempersoalkan harga yang ditawarkan perusahaan asal Malaysia itu. Padahal, semula mereka menginginkan harga Rp 30 per lembar saham. Meski tak mengaku setuju, Ketua Komisi IX DPR Max Moein menilai harga 26,5 atau 1,4 kali nilai buku yang ditawarkan Commerce lebih tinggi jika dibandingkan harga recovery bank di Asia Tenggara. "Harga di Asia Tenggara hanya 1,2 kali nilai buku," kata anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu seusai rapat tertutup membahas divestasi Niaga di Gedung DPR/MPR, Rabu (25/9) petang.

Selain itu, Max menambahkan, DPR tak dalam posisi menentukan harga. Apalagi, kata dia, membatalkan divestasi. Sebab, divestasi Bank Central Asia dan Niaga telah disetujui DPR pada 23 Maret 2001. "Kan tak mungkin membatalkan," tegas Max. Saat ini, menurut Max, DPR tinggal menunggu hasil uji kelayakan dan kepantasan yang sedang dilakukan Bank Indonesia terhadap Commerce.

Hal serupa juga disampaikan Ketua Tim Kecil Divestasi Niaga Komisi IX Hamka Yandhu. Menurut dia, DPR tak dalam posisi menentukan harga. "Waktu itu kita hanya meminta BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) bernegosiasi kembali dengan Commerce untuk menaikkan harga hingga Rp 30," kata anggota Fraksi Partai Golongan Karya DPR itu.

Pada rapat tim kecil divestasi dengan BPPN dua hari silam, Commerce menyatakan harga penawaran mereka sudah final [baca: Harga Penawaran Commerce Sudah Final]. Satu di antara alasan mereka, harga Rp 26,6 telah sesuai dengan harga pasar. Bahkan, lebih tinggi dari harga yang dipatok BPPN, yakni Rp 24,8 per lembar saham.

Jika benar Commerce memenangkan tender berarti pengeluaran pemerintah melalui biaya rekapitalisasi Niaga yang mencapai Rp 9,5 triliun tak sebanding dengan pemasukan. Namun, Max menilai, perimbangan itu masih wajar. "Kondisi krisis saat itu mengharuskan pemerintah mengeluarkan dana rekap," ujar Max, enteng.(AWD/Olivia Rosalia dan Yosep HL)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.