Sukses

OPINI: Disabilitas dalam Bencana, Kelompok yang Masih Sering Dilupakan

Pada keadaan bencana, sangat mungkin para petugas evakuasi tidak memahami siapa yang memiliki disabilitas dan siapa yang tidak.

Liputan6.com, Jakarta Abah berumur lebih dari 60 tahun. Tujuh tahun terakhir ini dia hidup dengan disabilitas di atas kursi roda karena kecelakaan kerja yang menimpanya membuat dia kehilangan fungsi kedua kakinya.

Ketika banjir besar melanda kampungnya di bilangan Jakarta Utara, Abah pernah dibantu oleh relawan tanggap bencana yang tanpa sengaja membuatnya terjatuh di air yang cukup dalam.

Abah berhasil ditolong, namun trauma tersebut membekas hingga sekarang. Setelah peristiwa itu, banjir sebesar apapun, Abah bersikukuh tetap berada di dalam rumah.

Yang dialami Abah adalah kejadian nyata yang menggambarkan bahwa Penyandang Disabilitas (PD) memiliki kerentanan dan sensitivitas yang berbeda dengan orang tanpa disabilitas.

Dalam kondisi bencana, memberikan bantuan pada PD harus sesuai dengan standar inklusivitas dalam penanganan bencana bagi penyandang disabilitas.

Namun pada keadaan darurat, sangat mungkin para petugas evakuasi tidak memahami siapa yang memiliki kebutuhan khusus dan siapa yang tidak.

Data yang dimiliki oleh pemerintah setempat belum terpilah selengkap itu.

Orang dengan disabilitas memiliki kebutuhan berbeda-beda. Misalnya saja, orang dengan hambatan penglihatan, mereka lebih memilih menjadi pihak yang memegang orang yang membantunya dibandingkan dipegang, tuli juga tidak suka orang berteriak, karena mereka umumnya bisa membaca gerak bibir, dan sebagainya.

Kursi roda, tongkat, dan alat bantu lainnya, bagi PD adalah bagian dari tubuh mereka.

Sering kejadian orang yang membantu justru menyingkirkan alat-alat bantu tersebut untuk memudahkan ruang gerak mereka. Hal ini selain membatasi, juga menjatuhkan harga diri PD.

Berkaitan dengan kebencanaan, Wahana Visi Indonesia (WVI) memiliki program untuk memfasilitasi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya berkaitan dengan pemahaman tentang kebencanaan.

Kami memulai dari hal paling sederhana, yaitu memperbaiki pendataan. Data harus terpilah berdasarkan gender, usia, serta kebutuhan khusus yang dimiliki, jika ada.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Belajar dari Jepang

Jika belajar dari Jepang, negara yang sering mengalami bencana, diantaranya gempa dan tsunami, mereka telah memiliki program-program inklusi untuk menghadapi kebencanaan.

Salah satu program terkait kesiapsiagaan bencana inklusif yang mereka buat adalahmelakukan pendataan anggota keluarga dengan kebutuhan khusus. Kemudian setiap wilayah, baik provinsi atau prefektur, maupun distrik dan kota, memiliki kebijakan dan praktik berbeda,sesuai dengan kebutuhan wilayah tersebut.

Di Onagawa, setelah gempa besar disertai tsunami di tahun 2011, sebuah sekolah berasrama membangun program kesiapsiagaan bencana dan rutin mengadakan pelatihan baik untuk murid, orang tua dan wali, maupun warga di sekitar.

Sejak perancangan program ini, kampus sudah melibatkan PD untuk mengetahui kebutuhan mereka dan menentukan program yang menjawab kebutuhan tersebut.

Sementara itu di kota Beppu, pemerintahnya sudah memulai program kesiapsiagaan bencana inklusi sejak 2007, dipicu oleh gempa bumi yang menewaskan seorang perempuan dengan disabilitas di sana.

Kejadian tersebut membuat PD di Beppu mengalami gelisah dan depresi, karena gempa dan tsunami adalah hal yang sering terjadi di Jepang.

Kegelisahan ini dapat dipahami, karena Jepang telah menerapkan prinsip zero victim ketika menghadapi bencana.

Pemerintah kota Beppu mengawali dengan membuat serangkaian diskusi yang melibatkan disabilitas. Selanjutnya mereka membuat proposal untuk mendapatkan dana agar program berjalan.

Salah satu program mereka adalah memberikan pendidikan pada keluarga yang ada ODD di rumahnya, agar dapat memberikan bantuan awal jika terjadi bencana.

Program ini bisa menjadi referensi di Indonesia. Jika pendataan warga dengan disabilitas berjalan baik, pemerintah setiap wilayah memiliki data lengkap dan terpilah setiap warganya,usia, jenis kelamin, jenis kebutuhan khusus mereka, by name by address. 

Maka ketika terjadi bencana, otoritas terkecil dapat sejak awal menginformasikan pada tim yang melakukan evakuasi, di rumah mana saja yang membutuhkan pertolongan khusus.

Peningkatan kapasitas bagi tim evakuasi mengenai bagaimana cara melakukan evakuasi bagi kelompok penyandang disabilitas sangat penting untuk dilakukan. Karena kesalahan evakuasi bisa berakibat fatal.

 

3 dari 4 halaman

Program Pendampingan Evakuasi Penyandang Disabilitas

Di beberapa tempat yang didampingi oleh Program SinerGi - WVI dan USAID, program serupa sudah mulai bermunculan. Pademangan salah satunya.

Di dalam diskusi kebencanaan, disabilitas sudah hadir dan ada usulan yang sangat menarik yang sampai saat ini masih dilakukan, yaitu setiap RT memiliki kursi roda.

Hal ini merespons jalanan di rumah mereka yang sangat kecil hingga tidak dapat diakses oleh ambulans.

Dalam kondisi mendesak, kursi roda dapat membantu memindahkan korban bencana ke lokasi dimana ambulans berada.

Apresiasi pada pemerintah yang saat ini telah banyak melakukan perubahan dalam merespons kebutuhan disabilitas dalam kondisi bencana.

 

4 dari 4 halaman

Peran Juru Bahasa Isyarat

Dua tahun lalu pada saat menghadapi gempa di Palu, ada banyak input yang diberikan oleh berbagai CSO, diantaranya menyediakan juru bahasa isyarat (JBI).

Saat ini ketika sedang mengikuti webinar-webinar, bukan hanya yang berkaitan dengan disabilitas, tapi di semua webinar hampir selalu disediakan juru bahasa isyarat.

Saat ini, berdasarkan apa yang kami lihat di lapangan selama WVI berproses di area-area program, awareness masyarakat tentang kebutuhan khusus orang dengan disabilitas sudah ada, namun sistem pendataan dan keterampilan untuk memberikan bantuannya pada disabilitas serta ruang yang aman bagi PD untuk memberikan kontribusi bermakna dalam setiap tahapan penanggulangan bencana masih perlu dikembangkan.

Hal ini memang proses panjang yang perlu diupayakan dengan serius. Peta jalan menuju Indonesia yang ramah disabilitas juga perlu dibuat.

Yang jelas, dalam kondisi bencana, disabilitas termasuk dalam kelompok rentan yang perlu mendapat perhatian khusus sekaligus juga adalah kelompok yang mampu berkontribusi sesuai dengan keterampilan yang dimiliki.

Jika kita tidak memulai dari sekarang, kapan lagi? Kasus-kasus seperti Abah dan mungkin banyak PD lain tidak boleh terjadi lagi.

 

**Penulis adalah Agung Gunansyah, Team Leader Proyek Sinergi - Wahana Visi Indonesia

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.