Sukses

Layanan Kesehatan Khusus bagi Penyandang Disabilitas Masih Terbatas

Psikolog dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Tri Puspitarini menyampaikan data terkait akses pada pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas.

Liputan6.com, Jakarta Psikolog dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Tri Puspitarini menyampaikan data terkait akses pada pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas.

Menurutnya, akses terhadap pelayanan kesehatan merupakan salah satu indikator perbaikan taraf hidup penyandang disabilitas. Pasalnya, para penyandang disabilitas membutuhkan alat bantu, treatment dan terapi khusus untuk mengatasi kendala keterbatasannya.

Secara umum rata-rata nasional pengeluaran kesehatan (bagi rumah tangga penyandang disabilitas) sebesar Rp 150.947. Dengan angka tertinggi provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 264.125, dan terendah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Rp 58.957 menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018-2020.

Sedangkan untuk aspek jaminan kesehatan bagi penyandang disabilitas, secara nasional terdapat 26,8 persen penyandang disabilitas yang tidak memiliki Jaminan kesehatan. Provinsi DI Aceh dan DKI Jakarta menempati peringkat teratas yang memberikan jaminan kualitas layanan kesehatan (data susenas tahun 2018-2020).

Layanan kesehatan masih relatif terbatas pada pengeluaran kesehatan yang sifatnya esensial, sedangkan untuk penanganan lain termasuk alat-alat bantu dan terapi masih belum dapat terakomodasi,” kata Tri yang mengutip data Susenas tahun 2018-2020 dalam seminar daring Daewoong belum lama ini.

Lebih lanjut Tri menyampaikan beberapa kebutuhan anak penyandang disabilitas dalam pelayanan kesehatan. Menurutnya, kebutuhan-kebutuhan ini cenderung khusus dan berbeda dengan kebutuhan anak non disabilitas.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kebutuhan Anak Disabilitas pada Pelayanan Kesehatan

Kebutuhan anak disabilitas di fasilitas layanan kesehatan esensial berbeda dengan kebutuhan anak biasa.

Beberapa kasus memiliki kerentanan daya tahan tubuh, ada pula yang memiliki sejumlah alergi dan intoleransi sehingga berdampak pada kesehatan tubuhnya.

Dalam pelayanan kesehatan khusus, beberapa anak disabilitas membutuhkan alat bantu seperti kacamata khusus, alat pendengaran khusus, alat-alat penopang tubuh, sepatu ortopedi, media belajar khusus serta alat-alat permainan khusus. Hal-hal ini biasanya tidak dibutuhkan oleh anak-anak non disabilitas.

Pelayanan khusus juga terkait dengan layanan terapi yang dibutuhkan, seperti: fisioterapi, psikoterapi, terapi sensori integrasi, terapi okupasi, terapi perilaku, terapi wicara, terapi nutrisi, dan sebagainya sesuai dengan jenis dan tipe disabilitasnya. Lagi-lagi, berbagai terapi ini biasanya tidak dibutuhkan oleh anak-anak non disabilitas yang sudah bertumbuh dan berkembang dengan baik.

Ada pula kebutuhan pelayanan psikologis. Penyandang disabilitas perkembangan membutuhkan identifikasi dan diagnosa yang  tepat dari ahli (psikolog atau psikiater) yang dapat memberikan informasi yang lengkap dan rinci serta merancang pelayanan yang tepat untuk mereka.

3 dari 4 halaman

Diperburuk Hambatan Komunikasi

Akses layanan kesehatan bagi anak disabilitas khususnya disabilitas perkembangan semakin diperburuk dengan adanya hambatan komunikasi.

Dampak dari penyandang disabilitas yang tidak mampu berkomunikasi dengan orang sekitarnya bisa menyebabkan sesuatu yang serius. Seperti menyebabkan munculnya meltdown (marah, mengamuk) dikarenakan orang sekitarnya tidak bisa memahami mereka.

Bila hal ini terus berlangsung sampai dewasa, penyandang disabilitas perkembangan akan lebih kesulitan dalam regulasi diri maupun dapat menyebabkan situasi yang darurat.

Misalnya ketika penyandang disabilitas mengalami sakit atau situasi kedaruratan lainnya, mereka yang belum berkembang keterampilan komunikasinya akan kesulitan dalam menyampaikan keluhannya kepada tenaga medis.

Disabilitas perkembangan merupakan gangguan yang cenderung menetap sepanjang kehidupan. Maka, fokus pelayanan kesehatan (terapi) adalah memaksimalkan keterampilan hidup agar penyandangnya dapat beradaptasi di lingkungannya dengan baik dan meminimalkan ketergantungannya pada keluarga atau lingkungan.

Salah satu fungsi hidup yang berperan penting dalam proses adaptasi adalah kemampuan komunikasi.

Pada anak non disabilitas, berkembangnya keterampilan komunikasi bisa terjadi secara alamiah dalam interaksi dan pengasuhan. Sedangkan anak penyandang disabilitas perkembangan memerlukan terapi dan strategi khusus agar mereka dapat mengembangkan keterampilan komunikasi ini.

4 dari 4 halaman

Komunikasi Bertahap

Anak dengan disabilitas perkembangan umumnya dilatih dalam berkomunikasi secara bertahap. seperti melatih kemampuan menyimak informasi, melatih kemampuan menyampaikan informasi, dan mengajarkan kosa kata.

Baik kosa kata yang konkret tentang benda-benda yang dapat dilihat dalam keseharian maupun kosa kata abstrak seperti kata sifat: sedih, sakit, lelah, nyeri, senang, dan sebagainya.

Orangtua dan lingkungan sekitarnya dapat membantu mengembangkan strategi komunikasi yang sederhana tapi mudah dikuasai dan dilakukan oleh penyandang disabilitas perkembangan.

Contohnya dengan kartu bergambar di mana penyandang disabilitas perkembangan dapat menunjuk atau diajarkan untuk bisa menulis/menggambar apa yang dirasakan.

 “Kita bisa pakai kartu bergambar, kita juga bisa menggunakan white board untuk menulis karena anak disabilitas perkembangan yang sudah sekolah biasanya lebih paham menulis dibanding verbal.”

Komunikasi sederhana dapat dibangun di lingkungan keluarga dan dapat diterapkan baik oleh ibu, ayah, kakak, adik dan anggota keluarga lainnya.

Anak-anak dengan disabilitas perkembangan biasanya diajarkan untuk menulis dan menggambar di sekolah. Mereka rutin dilatih untuk menuliskan apa yang mereka rasakan agar guru-guru tahu perlakuan yang tepat pada masing-masing anak.

“Mereka dilatih untuk membuat jurnal, entah menulis atau menggambar supaya kita tahu dia mengalami hal apa hari ini, mood-nya lagi ke mana nih arahnya karena enggak bisa ditebak juga.”

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.