Sukses

Spanyol Menutup Praktik Sterilisasi Paksa Penyandang Disabilitas Mental

Spanyol belum lama ini meresmikan undang-undang yang melarang praktik steril penyandang disabilitas dengan paksaan.

Liputan6.com, Jakarta Spanyol belum lama ini meresmikan undang-undang yang melarang praktik steril penyandang disabilitas dengan paksaan.

Pemerintah Spanyol telah mengumumkan secara resmi untuk melarang kegiatan sterilisasi penyandang disabilitas di luar kehendak mereka. Terlepas dari kenyataan bahwa praktik tersebut dianggap sebagai masa lalu, sterilisasi paksa masih diizinkan di beberapa negara bagian AS.

Menurut bulletin resmi, pemerintah Spanyol secara resmi mengakhiri sterilisasi paksa terhadap orang-orang cacat pada Kamis (17/12/2020) dengan menerbitkan undang-undang baru. Dalam buletin tersebut menyantumkan sebaris kalimat dari Committee of Representatives of Persons with Disabilities (CERMI) yang berisikan:

"Dalam dekade terakhir, lebih dari seribu sterilisasi paksa telah dilakukan di Spanyol, sebagian besar pada wanita. Akhir dari praktik ini ... mengakhiri salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling merugikan yang diizinkan berdasarkan hukum Spanyol," dikutip dari Euronews.

Saat beredarnya buletin tersebut, terlepas dari pengumuman prkatik tersebut menjadi ilegal di negara mereka dengan menyebutnya sebagai "anomali serius dalam istilah hak asasi manusia," namun tak sedikit orang yang mungkin merasa terganggu ketika mengetahui kegiatan sterilisasi paksa masih diizinkan di beberapa negara bagian AS.

Pada pergantian abad ke-20, egenetika tersebut cukup populer di AS di kalangan progresif kala itu. Yayasan perusahaan seperti Carnegie Institution dan Rockefeller Foundation mendanai gerakan tersebut yang saat itu sedang berkembang. Lalu pada tahun 1906, baron breakfast cereal John Harvey Kellogg ikut mendirikan Race Betterment Foundation di Michigan untuk membawa ide-ide gerakan tersebut.

Setahun kemudian, Indiana mengeluarkan undang-undang sterilisasi pertama di dunia, dengan 31 negara bagian mengikuti. Putusan Mahkamah Agung yang kontroversial dalam kasus Buck v. Bell pada tahun 1927 mendukung undang-undang Virginia yang mengizinkan sterilisasi paksa bagi mereka yang dianggap "tidak layak" untuk bereproduksi, dan sejak saat itu hingga pertengahan 1970-an, lebih dari 60.000 orang di AS secara tidak sengaja disterilkan.

Praktik ini masih legal di banyak negara bagian. Keputusan 1927 tidak pernah dibatalkan, dan setidaknya delapan negara bagian masih memiliki undang-undang sterilisasi paksa, diantaranya California, North Carolina, Oregon, Pennsylvania, Vermont, dan Washington. Di District of Columbia, keputusan pengadilan banding tahun 2007 menyatakan bahwa seorang dokter dapat mensterilkan pasien jika dia menganggapnya sebagai "keputusan terbaik bagi pasien".

 

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Perdebatan RUU untuk membatalkan sterilisasi paksa

Lebih dari satu abad setelah berlakunya undang-undang sterilisasi pertama di Indiana, legalitas praktik tersebut telah menyebabkan beberapa kasus pelecehan yang membludak. Di satu penjara wanita di California tengah saja, 1.400 narapidana disterilkan antara tahun 1997 dan 2013. Meskipun sterilisasi penjara tidak wajib, sering kali dilakukan kepada narapidana dengan paksa. Di Tennessee pada tahun 2017, seorang hakim menawarkan narapidana 30 hari dari hukuman penjara jika mereka setuju untuk vasektomi atau implan kontrasepsi jangka panjang. RUU bipartisan melarang praktik tersebut setahun kemudian.

Sebelumnya, pada awal tahun 2020, Spanyol sempat memperdebatkan RUU untuk membatalkan sterilisasi paksa para difabel. Alasannya cukup mengenaskan. Mengutip dari pengalaman seorang wanita yang didiagnosis dengan Asperger syndrome, suatu bentuk autisme.

Meskipun akhirnya pada umur 18 tahun saat ia akhirnya menerima diagnosis tersebut ia merasa lega karena akhirnya mengetahui penyebab perjuangannya atas segala kesulitan yang ia alami. Namun orang tuanya yang sudah lama hidup dalam stigma 'difabel berarti tidak layak untuk bereproduksi', cukup membuat wanita tersebut yang bernama Cristina Paredero tertekan oleh lingkungannya.

Sejak didiagnosis, mereka berhenti mempercayai kemampuan putri mereka untuk mengurus dirinya sendiri dan secara sepihak memutuskan agar putrinya tersebut menjalani proses sterilisasi. Berdasarkan hukum pidana Spanyol saat itu, orang yang dinyatakan difabel oleh dokter dapat disterilkan di luar keinginan pasien.

Namun dalam kasus Cristina, ia secara sukarela menjalani proses tersebut atas tekanan dari keluarganya sendiri. Meskipun dari luar Cristina tampak ceria dan riang, kontras dengan beban yang telah ia pikul selama bertahun-tahun hingga kini ia berusia 26 tahun dan mempelajari jurnalisme.

"Mereka (orang tua Cristina) terus mengatakan saya tidak bertanggung jawab dalam berhubungan seks karena saya bisa hamil; [mereka juga mengatakan] bahwa saya tidak akan mampu memikul tanggung jawab sebagai seorang ibu; [mereka juga mengatakan] karena saya adalah Asperger, anak-anak saya juga akan terlahir sebagai Asperger. Desakan ini tertanam di benak saya pada gagasan bahwa saya tidak mampu memiliki anak," katanya dikutip dari Euronews. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk menjalani ligasi tuba. Pada saat itu juga para dokter hanya menjelaskan prosedur tersebut tanpa memberi pilihan lain.

Beberapa tahun kemudian, setelah ia berbicara dengan psikolog dan organisasi yang membela hak-hak para difabel, ia menyadari bahwa ternyata ia sangat mampu menjadi seorang ibu.

“Ketika saya tumbuh dewasa, saya menemukan bahwa para profesional yang saya ajak bicara memiliki pendapat yang sama sekali berbeda dan saya menyadari bahwa saya telah dimanipulasi untuk keuntungan dan ketenangan pikiran orang tua saya, tanpa memperhitungkan minat saya sendiri.”

Kasus Cristina baru satu dari banyaknya diskriminasi sublimal yang dialami perempuan disabilitas. Seolah mereka dituntun untuk percaya bahwa mereka tidak akan mampu menjadi pengasuh yang baik, sangat berlawanan dari yang seharusnya membantu para penyandang disabilitas untuk mempertimbangkan setiap kasus, diberikan sumber daya yang diperlukan, dan sebagainya.

Menuruut pakar hukum Plena Inclusión, daripada sterilisasi, yang dibutuhkan para difabel adalah untuk memberdayakan mereka, membuat mereka memahami apa artinya menjadi ibu atau ayah dan memberi mereka alat untuk membantu mereka memahaminya.

Beberapa kelompok hak asasi manusia mengkritik Spanyol karena tidak mengikuti standar Eropa dan internasional. Dalam sebuah laporan, Spanyol juga sempat dikecam oleh Human Rights Watch karena negara Eropa selatan tersebut membiarkan praktik tersebut terus berlanjut.

3 dari 3 halaman

Infografis Vaksin Covid-19 dan Rencana Vaksinasi di Indonesia

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.