Sukses

Meski Terlihat Sederhana, Ini 3 Alasan Kenapa Memaafkan Baik Bagi Kesehatan

Jika Anda mau hidup yang lebih sehat dan berkualitas, jangan lupa selalu memberikan maaf kepada orang lain.

Liputan6.com, Jakarta Memaafkan seseorang yang telah menyakiti hati Anda mungkin sangat sulit. Akan tetapi, tahukah Anda jika tidak memaafkan kesalahan orang lain ternyata bisa berdampak pada tubuh?

Dilansir dari Everyday Health, Jumat (28/7/2023), menurut Everett L. Worthington Jr., PhD, Commonwealth Professor Emeritus di Virginia Commonwealth University, yang penelitian psikologinya berfokus pada sikap memaafkan, cara orang mencapai keadaan sikap memaafkan sejati bisa berbeda-beda. Akan tetapi biasanya, hal ini terbagi dalam dua kategori yaitu decisional forgiveness (pengampunan keputusan) dan emotional forgiveness (pengampunan emosional).

“Anda dapat mengalami perubahan dalam emosi Anda, dan kemudian memutuskan untuk memaafkan, atau Anda dapat memutuskan untuk memaafkan terlebih dahulu dan mengalami perubahan tersebut secara emosional di kemudian hari,” kata Dr. Worthington.

Karena hubungan kita sangat penting bagi kesehatan, jadi kemampuan untuk memberi maaf, dan keinginan untuk menyampaikan kepada orang lain bahwa Anda telah memaafkan mereka, akan bermanfaat bagi kesehatan Anda dan mereka. Dalam hal ini dan banyak hal lainnya, Worthington mengatakan, ”Kesehatan mental berhubungan langsung dengan kesehatan fisik.”

Makanya, jangan segan-segan untuk memberikan maaf kepada orang lain jika Anda ingin lebih sehat. Lebih jelasnya lagi, berikut ini ada 3 alasan yang juga didukung oleh bukti penelitian bahwa memberikan atau tindakan tidak memaafkan seseorang, punya pengaruh cukup besar. Termasuk ada beberapa manfaat kesehatan yang penting bagi tubuh. Yuk, simak informasi selengkapnya di sini!

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Membantu Anda dalam Mengelola Stres

Percayakah Anda jika tidak bisa memaafkan seseorang dapat menumbuhkan perasaan marah, menimbulkan permusuhan, hingga stres? Bahkan penelitian juga telah menunjukkan dampaknya terhadap kesehatan mental dan kesehatan fisik.

Satu studi melibatkan lebih dari 330 orang berusia 16 hingga 79 tahun. Penelitian yang dilakukan tanpa memandang usia ini telah menemukan bahwa orang yang mampu memaafkan mengalami penurunan persepsi terhadap stres mereka sendiri. Hal ini juga menyebabkan penurunan gejala kesehatan mental.

Sebaliknya, stres—khususnya hormon kortisol—memiliki beberapa efek negatif pada sistem di seluruh tubuh. Kortisol yang meningkat secara kronis dapat mengecilkan ukuran bagian otak termasuk hippocampus, yang bertanggung jawab untuk mengubah pengalaman menjadi kenangan, kata Worthington. Karena hubungan stres-kortisol inilah, ketidakmampuan untuk memaafkan dan melepaskan stres tertentu berpotensi memengaruhi ingatan, tambahnya.

Dalam sebuah penelitian, para peneliti menyelidiki apakah kadar kortisol darah memengaruhi ingatan pada lebih dari 2.200 orang paruh baya yang sehat. Untuk penelitian ini, peneliti mengukur kadar kortisol darah, dan membandingkannya dengan skor peserta pada tes memori dan persepsi visual, dan gray matter (tempat otak memproses informasi) di otak yang diukur dengan pemindaian otak.

Mereka menemukan hasil pada subjek terutama wanita, yang memiliki kadar kortisol tinggi dari waktu ke waktu memiliki daya ingat yang lebih buruk dan hasil tes kognitif yang lebih buruk. Seiring waktu, mereka juga tampak memiliki gray matter yang lebih sedikit di beberapa bagian otak.

Sayangnya, kortisol juga bisa mendatangkan bahaya di bagian tubuh lainnya. Seperti misalnya memengaruhi sistem kekebalan pada tingkat sel, yang berarti dapat menyebabkan kerusakan luas pada semua bagian tubuh yang disentuh sistem kekebalan dengan cara yang tidak terduga.

“Itu dapat mengganggu segalanya mulai dari sistem seksual dan reproduksi hingga sistem pencernaan hingga kemampuan Anda melawan penyakit dan kelelahan,” kata Worthington.

3 dari 4 halaman

Mengaktifkan Sistem Saraf Parasimpatis, yang Baik bagi Jantung

Menurut Worthington, memaafkan juga memengaruhi sistem saraf parasimpatis, yang memperlambat pernapasan dan detak jantung serta meningkatkan pencernaan. Ini juga dikenal sebagai respons "rest-and-digest" dalam mengontrol fungsi tubuh biasa, yang merupakan kebalikan dari respons "fight-or-flight" di mana mempersiapkan tubuh untuk aktivitas fisik yang lebih berat.

Sistem saraf simpatik dan parasimpatis bekerja sama, sehingga tubuh Anda dapat mengatur hal-hal seperti tekanan darah dan detak jantung, dan berfungsi sebagaimana mestinya. Baik dalam situasi stres maupun saat-saat tidak stres. Tetapi ketika seseorang berada di bawah tekanan kronis sehingga membuat seseorang menahan amarah, tubuh mungkin terlalu lama berada dalam respons fight or flight.

"Sistem saraf parasimpatis adalah bagian yang menenangkan dari sistem saraf, sehingga mematikan gairah di area tertentu," kata Worthington. Apa pun yang dapat dilakukan seseorang untuk menenangkan diri ketika membawa banyak stres bisa mengaktifkan sistem saraf parasimpatis dengan cara ini, termasuk dalam berlatih memaafkan, dapat membantu pikiran dan tubuh karena membuat sistem saraf simpatik dan parasimpatis lebih seimbang.

Ada penelitian yang menunjukkan bahwa efek ini mungkin signifikan dalam mempengaruhi hasil kesehatan, seperti fungsi kardiovaskular. Dalam meta-analisis, para peneliti menemukan bahwa kemarahan dan permusuhan terkait dengan peningkatan risiko penyakit jantung, serta hasil yang lebih buruk bagi orang yang sudah memilikinya.

4 dari 4 halaman

Menurunkan Risiko Gangguan Psikologis

Menurut Worthington, jika Anda tidak memaafkan atau menolak memaafkan seseorang, mungkin akan memiliki pikiran negatif yang panjang atau mempunyai "skenario" tersendiri yang berulang-ulang dalam pikiran.

“Kita semua punya pikiran negatif, tetapi cara kita merenungkan tentu berbeda setiap individu. Beberapa orang melakukannya dengan marah, beberapa orang merenung dengan putus asa atau merasa tertekan. Yang lain melakukannya dengan cemas,” kata Worthington. Dan jika hal ini menjadi kebiasaan, sayangnya akan menimbulkan gangguan psikologis.

Bergantung pada jenis pikiran negatif Anda, apakah Anda melakukannya dengan cara yang menimbulkan keputusasaan, depresi, kecemasan, atau perasaan lain, pikiran invasif dan berulang ini pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan kemarahan, Obsessive Compulsive Disorder (OCD), Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), kecemasan, depresi, atau gangguan psikosomatis. Di mana stres dan kecemasan menyebabkan penyakit fisik seperti sakit perut atau migrain.

“Saat orang bisa memaafkan, mereka masih memiliki pikiran negatif sampai taraf tertentu, tapi mereka bisa melepaskan banyak kepahitan dan kemarahan itu,” kata Worthington. “Memberikan maaf mungkin tidak menghilangkan pikiran negatif, tapi bisa mengurangi toksisitasnya.”

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.