Sukses

Studi: Isolisasi Diri dari Aktivitas Sosial dapat Berdampak pada Kinerja Otak

Tak banyak yang menyadari bahwa menjalani isolasi diri dari aktivitas sosial dapat berdampak pada kinerja otak.

Liputan6.com, Jakarta Pandemi Covid-19 masih terus mewabah di berbagai negara di dunia. Hal ini membuat masyarakat diimbau untuk membatasi aktivitas sosial terutama setahun kemarin.

 

Meskipun karantina dan menjaga aktivitas sosial sangat diperlukan untuk mencegah penyebaran virus, efeknya dapat menimbulkan perasaan kesepian, yang dapat sangat memengaruhi kesehatan mental dan kesejahteraan kita.

Menurut CDC, isolasi sosial tidak hanya meningkatkan risiko gangguan kejiwaan tetapi dapat meningkatkan kerentanan terhadap demensia hingga 50 persen.

Dikutip dari Psychology Today, lebih lanjut, kesepian akibat isolasi sosial dapat memengaruhi kesehatan fisik kita yang mengakibatkan penurunan fungsi kekebalan, gangguan tidur, kardiovaskular, hipertensi, stroke, gangguan metabolisme, dan merupakan faktor risiko kematian pada lansia.

 

Saksikan Video di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Berpengaruh pada Aktivitas Otak

Saat kita mulai mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana isolasi sosial dan kesepian yang berkepanjangan berdampak pada kesehatan psikologis dan neurologis kita, terdapat dua studi baru yang diterbitkan di Nature Neuroscience and Nature Communications.

Studi tersebut menuliskan bagaimana isolasi sosial yang dipaksakan dapat memengaruhi aktivitas otak. Studi ini dilakukan oleh penulis utama Dr. Livia Tomova di Departemen Ilmu Otak dan Kognitif di MIT, dan rekan-rekannya, yang mempelajari efek isolasi sosial pada otak dalam kelompok yang terdiri dari 40 orang dewasa yang sehat dan terhubung secara sosial.

Para peserta diminta untuk menghabiskan 10 jam terisolasi secara sosial di sebuah ruangan tanpa media atau individu untuk berinteraksi. Peserta yang sama juga menjalani puasa makanan selama 10 jam.

Setiap peserta dipindai dengan fMRI atau alat pengukuran aktifitas otak pada saat tertentu, yaitu setelah 10 jam menjalani isolasi sosial dan 10 jam puasa serta setelah menjalani aktivitas sosial.

3 dari 3 halaman

Mendambakan Interaksi Sosial

Mereka menemukan bahwa periode isolasi sosial yang akut diikuti dengan isyarat untuk memicu keterhubungan sosial (seperti, gambar orang yang terlibat dalam aktivitas sosial favorit mereka) mengakibatkan peningkatan aktivitas neuron otak tengah dopaminergik, yang terlibat dalam keinginan dan penghargaan. Ini adalah wilayah yang sama yang diaktifkan ketika mengidam makanan.

Temuan baru dari penelitian ini adalah bahwa menghilangkan kebutuhan sosial dapat menimbulkan tanda saraf dari keinginan sosial di wilayah serupa (substantia nigra/daerah tegmental ventral) yang merespons keinginan akan makanan saat lapar. Jadi, orang yang dipaksa untuk diisolasi secara sosial justru akan sangat mendambakan interaksi sosial seperti orang yang membutuhkan makanan saat merasa kelaparan.

 

  

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.