Sukses

Sepakat Gaspol Pajak Rokok Elektrik, YLKI: yang Menolak Sesat Pikir!

Peningkatan dalam penggunaan rokok elektrik di kalangan anak-anak dan remaja Indonesia sudah pada taraf mengkhawatirkan. Tingkat penggunaan oleh anak muda jauh melebihi tingkat penggunaan pada orang dewasa.

Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendukung upaya pemungutan pajak rokok elektrik tahun ini. Hal ini disebut sebagai cara untuk mengendalikan prevalensi konsumen produk tersebut.

Diketahui, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai memungut pajak rokok elektrik per 1 Januari 2024 ini. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK/2023 mengenai Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok.

Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi memandang, pengendalian konsumsi melalui aturan fiskal berupa cukai dan pajak sangat diperlukan. Di sisi lain bisa dibarengi dengan instrumen pengendalian non fiskal dalam bentuk kawasan tanpa rokok (KTR), larangan iklan, promosi dan sponsorship, serta peringatan kesehatan bergambar.

"Pengenaan cukai dan pajak pada rokok elektronik untuk pengendalian konsumsi wajib didukung. Adalah sesat pikir menolak pajak rokok elektronik, dengan dalih apapun," tegas dia dalam Diskusi Publik YLKI, di Jakarta, Kamis (25/1/2024).

Tulus menjelaskan, mengacu data dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021 menunjukkan prevalensi perokok elektronik naik dari 0.3 persen pada 2011 menjadi 3 persen di 2021. Kemudian, prevalensi perokok remaja usia 13-15 tahun juga meningkat sebesar 19,2 persen.

Dia menilai peningkatan dalam penggunaan rokok elektrik di kalangan anak-anak dan remaja Indonesia sudah pada taraf mengkhawatirkan. Tingkat penggunaan oleh anak muda jauh melebihi tingkat penggunaan pada orang dewasa.

"Hal ini disebabkan rokel menyasar anak-anak melalui media sosial dan influencer, dengan beragam varian rasa yang menjadi kegemaran anak dan remaja. Bahkan beberapa produk tersebut menggunakan karakter kartun dan desain yang apik, menari sehingga menarik bagi generasi muda," tuturnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Berbahaya Bagi Kesehatan

Tulus juga merujuk pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rokok elektrik yang mengandung nikotin sangat membuat ketagihan dan berbahaya bagi kesehatan. Rokok elektrik menghasilkan zat beracun, yang menyebabkan kanker, meningkatkan risiko gangguan jantung dan paru-paru.

Kandungan Glikol pada rokel akan mengiritasi paru-paru dan mata, serta menimbulkan gangguan saluran pernafasan seperti asma, sesak nafas, hingga obstruksi jalan napas. Sedangkan diasetil atau penambah rasa pada rokel berpotensi menyebabkan penyakit paru obstruktif kronis.

Penggunaan rokok elektronik juga dapat mempengaruhi perkembangan otak sehingga memicu gangguan belajar pada remaja. Paparan rokel pada janin dapat berdampak buruk pada perkembangan janin pada ibu hamil.

"Tidak ada bukti ilmiah yang menyatakan rokok elektronik dapat membantu ketergantungan dari penggunaan rokok konvensional. Justru sebaliknya masyarakat akan tertimpa double burden atau beban kesehatan ganda karena konsumsi rokok elektronik" jelas Tulus.

Dia bilang, banyak penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa generasi muda yang menggunakan rokok elektronik hampir tiga kali lebih mungkin untuk menggunakan rokok konvensional di Kemudian hari. "Sebaliknya, pengguna rokok konvensional yang mencoba mengkonsumsi rokel terbukti tidak seratus persen meninggalkan rokok konvensional," pungkas Tulus Abadi.

 

3 dari 4 halaman

Pendapatan Negara Dari Pajak Rokok Elektrik

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencoba melakukan simulasi pendapatan negara dari pemungutan pajak rokok elektrik. Angkanya ternyata terungkap sekitar Rp 175 miliar dalam setahun.

Angka ini merupakan hasil simulasi jika dilakukan pemungutan pajak rokok elektrik sepanjang 2023. Sebetulnya, pemungutan pajak rokok elektrik ini baru diberlakukan mulai 1 Januari 2024.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kemenkeu Lydia Kurniawati mengatakan angka Rp 175 miliar tersebut mengacu pada hitungan besaran pajak rokok elektrik merupakan 10 persen dari tarif cukai yang berlaku.

"Jika kita simulasikan, karena belum dipungut kan, baru sekarang kan, maka kita simulasikan jika pajak rokok elektrik ini sudah dipungut dari 2023 kan 10 persen dari cukainya itu sebesar Rp 0,175 trilin atau Rp 175 miliar," tutur Lydia dalam Diskusi Publik YLKI, di Jakarta, Kamis (25/1/2024).

 

4 dari 4 halaman

Masih Kecil

Dia mengatakan, angka tersebut masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan pendapatan negara dari pajak di sektor lainnya. Maka, bisa diambil kesimpulan kalau pemungutan pajak rokok elektrik bukan sebatas mencari pendapatan untuk negara.

"Kalau dilihat dari sini, kita lihat bahwa ini kecil sekali, maka ini menjadi dasar yang kami bilang tadi, tidak semata-mata pendapatan loh untuk penetapan pajak elektrik ini," tuturnya.

Lydia kembali menegaskan, tujuan pemungutan pajak rokok elektrik ini adalah untuk menerapkan unsur keadilan di sektor pengolahan hasil tembakau dan lainnya. Termasuk disini adalah industri rokok elektrik.

"Sedikit, kecil sekali gitu ya. Tetapi keadilan tadi bahwa rokok tradisional pun kena kok, rokok konvensional pun kena kok, rokok elektrik juga apalagi, juga menjadi bagian yang harus dikenakan (pajak rokok)," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.