Sukses

Laba Raksasa Minyak Arab Saudi Anjlok 23% Imbas Harga Minyak Dunia Melemah

Aramco mengungkapkan bahwa penurunan laba ini disebabkan oleh dampak dari rendahnya harga minyak mentah dan volume penjualan.

Liputan6.com, Jakarta Raksasa minyak Arab Saudi, Aramco mencatat penurunan laba bersih hingga 23 persen pada kuartal ketiga 2023. Penurunan tersebut menyebabkan perusahaan mencatat total laba hanya USD 32,6 miliar.

Melansir CNBC International, Rabu (8/11/2023) Aramco mengungkapkan bahwa penurunan laba ini disebabkan oleh dampak dari rendahnya harga minyak mentah dan volume penjualan.

Hasil laba bersih kuartal ketiga Aramco menunjukkan penurunan tajam dari USD 42,4 miliar pada periode yang sama tahun lalu, namun masih melampaui perkiraan analis yang mendekati USD 31,8 miliar.

Arus kas bebas perusahaan juga dipangkas menjadi USD 20,3 miliar, kurang dari setengah arus kas bebas pada kuartal ketiga tahun 2022 sebesar USD 45 miliar.

Selain itu, Aramco juga masih mempertahankan pembayaran dividen sebesar USD 29,4 miliar kepada investor dan pemerintah Arab Saudi.

Dari jumlah tersebut, USD 19,5 miliar merupakan pembayaran dividen dasar, yang akan dibayarkan pada kuartal keempat, dan USD 9,9 miliar lainnya merupakan dividen terkait kinerja.

"(Distribusi USD 9,9 miliar) akan dibayarkan pada Kuartal 4 berdasarkan hasil gabungan setahun penuh 2022 dan sembilan bulan 2023," demikian rilis pendapatan Aramco.

"Hasil keuangan kami memperkuat kemampuan Aramco untuk menghasilkan nilai yang konsisten bagi pemegang saham kami, dan kami terus mengidentifikasi peluang baru untuk mengembangkan bisnis kami dan memenuhi kebutuhan pelanggan," demikian pernyataan Presiden dan CEO Aramco Amin Nasser.

Penurunan Profitabilitas Aramco

Penurunan profitabilitas Aramco tahun ini sejalan dengan tren industri, dimana perusahaan energi besar seperti ExxonMobil dan Chevron juga mengalami penurunan tahunan yang tajam pada kuartal ketiga 2023 karena melemahnya harga minyak dunia.

Arab Saudi, sebagai produsen utama dan pemimpin Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), telah menerapkan beberapa pengurangan produksi, baik sebagai bagian dari kebijakan formal OPEC maupun sebagai penurunan sukarela.

Mereka melanjutkan pengurangan produksi minyak secara sukarela sebesar 1 juta barel per hari hingga akhir tahun dan akan meninjau kembali strategi produksi minyak ini pada Desember 2023.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Harga Minyak Dunia Bisa Sentuh USD 157 per Barel Jika Konflik Israel-Hamas Meluas

Bank Dunia mengingatkan bahwa harga minyak akan mencapai rekor tertinggi jika konflik Israel-Hamas meluas.

Mengutip CNBC International, Selasa (31/10/2023) Bank Dunia mengatakan dalam laporan terbarunya, Commodity Markets Outlook bahwa harga minyak dunia bisa melonjak hingga USD 157 per barel jika konflik Israel-Hamas meluas dan embargo minyak Arab pada tahun 1973 terulang.

Harga minyak tertinggi yang pernah tercatat terjadi pada bulan Juli 2008, ketika Brent diperdagangkan setinggi USD 147,5 per barel, menurut data dari LSEG.

"Dalam skenario ‘gangguan besar’ sebanding dengan embargo minyak Arab pada tahun 1973 pasokan minyak global akan menyusut sebesar 6 juta hingga 8 juta barel per hari," kata Bank Dunia.

"Hal ini akan mendorong harga naik sebesar 56 persen hingga 75 persen pada awalnya menjadi antara USD 140 dan USD 157 per barel,” jelasnya.

Krisis minyak dunia 50 tahun lalu membuat harga minyak naik empat kali lipat setelah para menteri energi negara Arab memberlakukan embargo ekspor minyak terhadap Amerika Serikat

Proyeksi ini merupakan salah satu dari tiga skenario risiko Bank Dunia yang memperkirakan berbagai tingkat gangguan terhadap pasokan minyak, berdasarkan peristiwa sejarah masa lalu yang melibatkan konflik regional.

Prediksi Bank Dunia mengatakan, jika terjadi gangguan kecil pasokan minyak global akan mengalami pengurangan sebesar 500.000 barel per hari menjadi 2 juta barel per hari, penurunan ini sebanding dengan penurunan yang terjadi pada perang saudara di Libya pada tahun 2011.

Sementara skenario gangguan sedang akan mengurangi produksi 3 juta hingga 5 juta barel minyak per hari di pasar dan mendorong harga minyak antara USD 109 hingga USD 121 per barel. Jumlah tersebut kira-kira setara dengan tingkat yang dicapai selama perang Irak pada tahun 2003.

3 dari 4 halaman

Perkiraan Dasar

Adapun perkiraan dasar Bank Dunia, memprediksi harga minyak dunia menyentuh rata-rata USD 90 per barel pada kuartal ini sebelum turun ke rata-rata USD 81 per barel pada tahun 2024 karena melambatnya pertumbuhan ekonomi global.

"Konflik terbaru di Timur Tengah terjadi setelah guncangan terbesar pada pasar komoditas sejak tahun 1970an – perang Rusia dengan Ukraina," Kepala Ekonom Bank Dunia Indermit Gill menyoroti.

Perang tersebut menimbulkan dampak yang mengganggu perekonomian global yang masih berlangsung hingga saat ini, tambahnya.

Meskipun Israel dan wilayah Palestina bukanlah pemain minyak utama, konflik ini terjadi di wilayah penghasil minyak utama yang lebih luas.

"Jika konflik meningkat, perekonomian global akan menghadapi guncangan energi ganda untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, tidak hanya akibat perang di Ukraina namun juga di Timur Tengah," Gill memperingatkan.

4 dari 4 halaman

Bank Dunia: Perang Israel-Hamas Bisa Bikin Harga Minyak Melambung

Bank Dunia mengingatkan bahwa konflik Israel-Hamas dapat memicu guncangan harga komoditas seperti minyak mentah dan produk pertanian, jika perang Israel-Hamas meningkat di Timur Tengah.

Harga minyak dunia telah meningkat 6 persen sejak konflik tersebut pecah.

Mengutip Channel News Asia, Selasa (31/10/2023) kepala ekonom Bank Dunia Indermit Gill menyoroti konflik Israel-Hamas terjadi ketika perang Rusia-Ukraina telah memberikan tekanan pada pasar, dan menjadi “kejutan terbesar terhadap pasar komoditas sejak tahun 1970an”,

"Hal ini berdampak dan dikhawatirkan mengganggu perekonomian global yang masih berlangsung hingga hari ini," kata Gill dalam sebuah pernyataan.

"Para pengambil kebijakan harus waspada. Jika konflik semakin meningkat, perekonomian global akan menghadapi guncangan energi ganda untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade" baik dari perang di Ukraina maupun konflik di Timur Tengah, jelas Gill.

Potensi Harga Minyak Naik

Bank Dunia juga mengingatkan, banyak potensi kenaikan harga minyak akan bergantung pada apa yang terjadi pada harga dan ekspor minyak dunia.

Sejauh ini, harga minyak dunia diprediksi bisa naik 3 hingga 13 persen, menjadi antara USD 93 dan USD 102 per barel.

Skenario median memperkirakan harga akan naik hingga USD 121, sedangkan skenario terburuk akan melihat harga minyak mencapai puncaknya antara USD 140 dan USD 157, berpotensi melampaui harga tertinggi sejak tahun 2008.

Sebelumnya, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengingatkan bahwa dampak ekonomi dari konflik Israel-Hamas mulai terlihat di sejumlah negara Timur Tengah.

"Anda lihat negara-negara tetangga, Mesir, Lebanon, Yordania di sana dampaknya (konflik Israel-Hamas) sudah terlihat," kata Kristalina di Future Investment Initiative (FII) di Riyadh.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.