Sukses

Indonesia Masuk 10 Negara Penghasil Karbon Terbanyak Dunia, Pemerintah Punya Solusi?

Kenaikan suhu global dan perubahan iklim yang terjadi akibat meningkatnya emisi karbon, menimbulkan bencana di seluruh belahan bumi ini.

 

Liputan6.com, Jakarta Kenaikan suhu global dan perubahan iklim yang terjadi akibat meningkatnya emisi karbon, menimbulkan bencana di seluruh belahan bumi ini. Untuk itu, berbagai kebijakan global guna mengontrol emisi karbon, didorong untuk segera diimplementasikan di seluruh dunia.

Di Indonesia, tahun 2023 ini pemerintah telah menaikkan target Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 dari 29% menjadi 31,8% untuk menuju karbon netral di tahun 2060 atau lebih cepat.

Untuk itu, pemerintah membutuhkan tindakan kolektif dari semua pihak guna membangun ekosistem yang berdaya-guna.

Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi, Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Nicodemus Daud menerangkan, tahun 2017 Indonesia berada di daftar 10 besar Negara penghasil karbon terbanyak di dunia. Indonesia menyumbang 275,4 megaton karbondioksida (mega-ton CO2).

Dari jumlah tersebut, penyumbang terbesarnya adalah industri yang di dalamnya termasuk pertanian, peternakan, dan konstruksi.

“Pemerintah tentunya sudah punya tahapan-tahapan rencana jangka panjang untuk mengatasi hal ini. Masalah lingkungan ini juga masuk dalam 7 prioritas nasional rencana kerja pemerintah tahun 2024. Targetnya salah satunya adalah penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 27,7 persen,” terang Nicodemus dikutip Minggu (9/7/2023).

Nicodemus menjelaskan, ada 3 dampak perubahan iklim yang berkaitan dengan sektor perumahan dan permukiman. Yang pertama adanya peningkatan atau penurunan curah hujan.

Kemudian peningkatan kejadian cuaca ekstrim. Dan yang terakhir, peningkatan tinggi muka laut. Dampak ini yang kemudian menjadi tantangan Kementerian PUPR dalam melaksanakan pembangunan konstruksi di tanah air.

“Solusi atas tantangan tadi adalah pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan. Tantangan dan solusi ini kemudian harus diimplementasikan di lapangan. Caranya dengan menerapkan pembangunan infrastruktur berbasis lingkungan dan berkelanjutan pada semua paket-paket pekerjaan PUPR,” terang Nicodemus lagi.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Perubahan Iklim dan Pemanasan Global

Upaya Kementerian PUPR ini disambut baik oleh Vice President Tatalogam Group, Stephanus Koeswandi. Ia menyebut, masalah perubahan iklim dan pemanasan global bukan sekadar masalah pemerintah saja. Semua elemen masyarakat harus terlibat menjaga keberlangsungan lingkungan, demi generasi yang akan datang.

“Jadi ini bukan tanggungjawab pemerintah saja. Semuanya harus terlibat. Karena seperti yang sudah kita ketahui bahwa ancaman pemanasan global dan perubahan iklim itu nyata dan sudah bisa dirasakan sekali belakangan ini. Untuk itu kami mengajak semua elemen masyarakat untuk bergabung bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan kita,” terang Stephanus.

Stephanus menambahkan, kolaborasi antara pelaku industri dan saling berbagi informasi adalah penting untuk memetakan emisi yang dilepaskan dalam ekosistem rantai nilai agar dapat merumuskan langkah-langkah berbasis sains untuk mengambil tindakan dekarbonisasi. Hal yang sama dilakukan Tatalogam Group bersama Pusat Industri Hijau (PIH), Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI), Kementerian Perindustrian.

“Saat ini regulasi pemberlakuan Sertifikasi Standar Industri Hijau (SIH) untuk Baja Lapis Lembaran sedang dalam proses penetapan oleh Menteri Perindustrian. PT Tata Metal Lestari berperan aktif dalam perumusan SIH. Jadi ada 4 pilar yang kami fokuskan dalam menyusun rumusan SIH ini. Yang pertama mengenai pembatasan penggunaan energinya, lalu pelepasan karbon atau Gas Rumah Kaca (GRK), kemudian bagaimana manajemen limbahnya, dan yang terakhir dan paling penting adalah batasan OEE sebagai indikator peningkatan daya saing industri. Empat poin ini yang perlu diukur dan dimonitor secara berkelanjutan supaya kita bisa mengurangi efek dari perubahan iklim,” terang Kepala Pusat Industri Hijau (PIH) Herman Supriadi.

 

3 dari 4 halaman

Inovasi

Stephanus kembali menambahkan, hal lain yang penting dilakukan adalah berinovasi. Ia menyebut, dengan terus berinovasi, industri dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya saing, efisiensi dan produktivitas, kualitas hidup, serta yang terpenting juga mendukung keberlanjutan lingkungan. Industri baja, semen dan bahan kimia diketahui merupakan tiga industri penghasil emisi teratas dan termasuk yang paling sulit untuk didekarbonisasi.

Karena itu penggunaan teknologi ramah lingkungan, hingga inovasi-inovasi perlu dilakukan agar bisa mengurangi penggunaan energi serta mengontrol emisi yang ditimbulkan.

“Sebagai contoh, untuk menekan penggunaan energi dan mengurangi emisi, kami PT Tata Metal Lestari berinovasi dengan memproduksi Baja Lapis Aluminium Seng (BLAS) yang kami beri nama Super Nexalum dan Super Nexium. Kedua produk ini memiliki ketahanan hingga 100 tahun. Dengan begitu, baja yang seharusnya dalam beberapa tahun sudah di daur ulang dengan memakan energi yang besar, bisa kami perpanjang usia pakainya sehingga lebih tahan lama,” terang Stephanus lagi.

Kemudian ada juga inovasi Domus Fastrack. Rumah berbasis baja ringan yang dibuat sesuai kebutuhan konsumen mulai dari gambar hingga terbentuk panel-panelnya yang sudah sesuai ukuran.

Dengan teknologi terbaru ini, tidak ada limbah yang dihasilkan selayaknya proses pembangunan rumah pada umumnya. Di PT Tatalogam Lestari hal yang sama juga dilakukan. Sebagai produsen atap dan genteng metal terbesar di tanah Air, PT Tatalogam Lestari juga telah berinovasi dengan menghasilkan produk-produk akhir dari baja lapis yang lebih ramah lingkungan.

 

4 dari 4 halaman

Peningkatan Suhu

“Pemilihan atap yang tidak tepat dapat berdampak pada peningkatan suhu di suatu wilayah tertentu. Fenomena ini disebut dengan fenomena Urban Heat Island (UHI). Kami punya inovasi yang dimulai dari teknologi pelapisan di PT Tata Metal Lestari. Kami bekerjasama dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung melalui penelitian Dr. Eng Beta Paramita, mengembangkan teknologi cool roof yang dapat mengurangi panas hingga 6 derajat dan juga bisa merefleksikan sinar matahari tersebut jadi tidak terjebak di dalam kota sehingga tidak terjadi Urban Heat Island Effect,” terang Stephanus.

Stephanus menjelaskan, Urban Heat Island merupakan sebuah fenomena peningkatan suhu lingkungan suatu wilayah perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah sekitarnya. Kondisi ini diakibatkan oleh banyaknya radiasi matahari yang terpantulkan dan terserap oleh lingkungan dari bidang-bidang infrastruktur sebuah wilayah, seperti permukaan jalan, permukaan dinding, dan permukaan atap sebuah bangunan.

“Untuk itu pembangunan harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan pengguna bangunan. Semua elemen yang terlibat dalam pembangunan, baik itu pemerintah, pengusaha, hingga masyarakat luas sudah seharusnya bergerak bersama untuk mengantisipasi hal-hal seperti ini, dengan cara mengetahui bagaimana memilih produk konstruksi yang berkualitas baik dan ramah lingkungan, terutama dalam pembangunan IKN nantinya. Sehingga dengan begitu dampak negatif yang timbul akibat pembangunan infrastruktur yang memperparah kondisi lingkungan dan kesehatan pengguna bangunan, dapat dicegah,” terang Stephanus.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini