Sukses

IMF: Bantuan Negara Maju Tak Cukup Atasi Perubahan Iklim

Menurut IMF, bantuan dan pendanaan dari negara maju tidak akan cukup untuk membantu kesenjangan biaya penanganan perubahan iklim di negara berkembang.

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengeluarkan pernyataan menohok terkait penanganan perubahan iklim global.

Georgieva mengatakan, bantuan dan pendanaan dari negara maju tidak akan cukup untuk menutup kesenjangan pendanaan pada inisiatif perubahan iklim di negara berkembang.

Menurutnya, diperlukan banyak investasi swasta untuk membantu negara-negara berkembang memenuhi target perubahan iklim mereka.

"Kita tidak akan pernah menyelesaikannya jika mengandalkan kemurahan hati negara-negara kaya, karena terlalu besar jika hanya dengan uang publik," ujar Georgieva, dikutip dari CNBC International, Senin (7/11/2022).

"Jadi yang paling penting di sini, dan di bulan-bulan berikutnya, adalah bekerja tanpa henti untuk menciptakan peluang bagi investasi swasta di negara berkembang," ungkapnya kepada CNBC, selama wawancara di KTT perubahan iklim COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir.

Menjelang KTT tersebut, PBB juga menyerukan peningkatan pendanaan dan implementasi tindakan untuk membantu negara-negara yang rentan dengan keadaan darurat iklim.

"Perubahan iklim adalah pukulan terhadap umat manusia, seperti yang kita lihat sepanjang 2022," jelas Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB Inger Andersen, mengutip bencana banjir di Pakistan.

Laporan PBB mengungkapkan, negara-negara yang rentan dan berkembang akan membutuhkan biaya antara USD 160 miliar dan USD 340 miliar pada akhir dekade untuk membuat perubahan terkait iklim, dan hingga USD 565 miliar pada tahun 2050.

"Kebutuhan adaptasi di negara berkembang akan meroket hingga USD 340 miliar per tahun pada tahun 2030. Namun dukungan adaptasi saat ini kurang dari sepersepuluh dari jumlah itu," beber Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres.

"Masyarakat dan komunitas paling rentan dan bisa menanggung imbasnya. Ini tidak bisa diterima," tandasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ketua IMF : Stabilitas Iklim di Negara Berkembang Mampu Amankan Perdagangan

Georgieva melanjutkan, bahwa membantu negara-negara berkembang memenuhi target perubahan iklim merupakan hal yang penting bagi negara maju.

"Jika kita membiarkan guncangan iklim, berulang kali, untuk menghancurkan negara-negara miskin, kita berkontribusi pada ketidakstabilan yang dirasakan Eropa sangat kuat, terutama ketika arus migrasi meningkat," katanya.

Dia menambahkan, stabilitas di negara berkembang juga mengamankan perdagangan antara negara maju dan berkembang.

"Jika Anda ingin ekonomi Anda diekspor ke negara-negara ini, harus ada kemakmuran dan stabilitas di sana," pungkas Georgieva.

Georgiva memperingatkan, gangguan dalam rantai pasokan yang disebabkan oleh peristiwa perubahan iklim dapat menimbulkan risiko yang lebih besar daripada yang ditimbulkan oleh pandemi.

Selain itu, juga perlu adanya dorongan yang besar untuk membuat bisnis di negara maju bertanggung jawab atas pengurangan emisi, serta pajak serta peraturan adalah pengungkit yang dapat digunakan pemerintah.

"Kita harus menyadari bahwa kita berada jauh di belakang di mana kita seharusnya melindungi kesejahteraan anak-anak kita. Jika Anda melihat dekade ini — 2020 hingga 2030 — kita harus mengurangi emisi antara 25 dan 50 persen sementara emisi terus bertambah," tukas Georgiva.

3 dari 3 halaman

Menilik Skenario Mengendalikan Perubahan Iklim Lewat Ekonomi Hijau

Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Putu Supadma Rudana mengatakan, saat ini dunia sedang menyaksikan efek dari perubahan iklim. Menurut dia, gelombang panas, kebakaran hutan hingga kekeringan berkepanjangan diantara konsekuensi lain dari perubahan iklim.

Tentu, kata Putu, hal ini telah menjadi salah satu pendorong utama rusak dan hilangnya keanekaragaman hayati, serta membahayakan lingkungan masyarakat. Hal ini disampaikan Putu pada Sidang Utama Tahunan Forum Parlemen Asia-Pasifik ke-30 (APPF) di Bangkok Thailand.

 "Untuk tujuan ini, mengubah perilaku ekonomi kita dari ekonomi berbasis eksploitasi menuju ekonomi hijau berkelanjutan bisa menjadi strategi yang patut diperjuangkan," kata Putu melalui keterangannya pada Kamis, 3 November 2022.

Putu menilai hal ini memberikan strategi penting untuk mengendalikan dampak perubahan iklim serta melindungi keanekaragaman hayati, dan pada saat yang sama membuka peluang bagi pengembangan sosial dan ekonomi.

Karena, kata Putu, Organisasi Buruh Internasional atau International Labor Organization (ILO) memperkirakan, bahwa pendekatan ekonomi hijau dapat menghasilkan 24 juta lapangan pekerjaan baru di seluruh dunia pada 2030.

"Penelitian terkini menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi hijau dapat menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar 26 triliun USD pada 2030, jauh lebih besar jika dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa," ungkap Anggota DPR asal Bali ini.

Oleh karena itu, Putu sebagai anggota parlemen harus berada di garis depan untuk terus mengarusutamakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sambil terus memastikan tidak adanya trade-off antara kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan.

Maka dari itu, Putu menyebut dukungan dan kerjasama antar negara di kawasan Asia-Pasifik tentu sangat krusial. Sehingga, diperlukan kerja sama untuk memperkuat di berbagai bidang terutama keuangan, investasi, alih teknologi dan peningkatan kapasitas untuk mempercepat transisi menuju ekonomi hijau.

"Kita semua sadar bahwa tidak ada negara yang dapat mengupayakan keanekaragaman hayati dan transisi ekonomi hijau dengan kekuatan sendiri, tanpa bantuan negara lain. Kami menyadari pentingnya pendanaan yang memadai. Oleh karena itu, berbagai skema pembiayaan seperti Green Sukuk yaitu obligasi syariah yang berkontribusi pada proyek-proyek pelestarian lingkungan telah dijalankan," ucapnya.

Disamping itu, Putu mengatakan Indonesia baru saja mengeluarkan dokumen Enhanced NDC (ENDC). Dalam dokumen tersebut, Indonesia telah meningkatkan pengurangan emisi karbon dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan kapasitas sendiri dan dari 41 persen menjadi 43,20 persen dengan dukungan internasional.

"Target ini selanjutnya dapat mempercepat upaya menuju pencapaian net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat," jelas Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat ini, yang juga menjadi Chair pada Grup Sub-Regional Asia Tenggara pada pertemuan APPF ke 30 di Bangkok, Thailand.

Untuk itu, Putu membeberkan berbagai pengalaman beberapa progres Indonesia. Pertama, kata dia, Indonesia telah berusaha mempercepat penggunaan kendaraan listrik serta penambahan pembangunan stasiun pengisian baterei kendaraan listrik.

Lalu, Indonesia berkomitmen menerapkan Net-Sink Forestry and Other Land Uses (FOLU-Net sink) pada 2030, yaitu kondisi dimana tingkat penyerapan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan akan sama atau lebih tinggi dari tingkat emisi yang dikeluarkan.

Kemudian, Putu mengatakan Indonesia juga menargetkan untuk menyelesaikan uji coba B40 pada Desember 2022 – yaitu berupa campuran 40 persen biodiesel berbasis minyak sawit dan 60 persen solar – yang merupakan program upgrade dari B30 yang telah diterapkan di dalam negeri RI.

"Sebagai negara dengan salah satu kawasan mangrove terbesar di dunia, Indonesia telah memulai rehabilitasi hutan mangrove untuk memulihkan 600.000 hektar lahan mangrove hingga tahun 2024," pungkas Ketua Desk Kerjasama Regional BKSAP ini yang juga Wakil Ketua BKSAP DPR RI.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.