Sukses

Kontraksi Ekonomi Rusia Bakal Jadi yang Terbesar Sejak 1994 Gara-gara Dimusuhi Barat

Ekonomi Rusia disebut bakal mengalami kontraksi lebih dari 10 persen di tahun 2022.

Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi Rusia bakal mengalami kontraksi lebih dari 10 persen pada 2022 ini. Kontraksi ini merupakan dampak lonjakan inflasi dan ancaman default utang luar negeri menyusul serangkaian sanksi dari negara Barat atas konflik di Ukraina.

Mantan Menteri Keuangan Rusia, yakni Alexei Kudrin, menyebut kontraksi ekonomi ini merupakan penurunan terbesar dalam produk domestik bruto negara itu sejak tahun-tahun setelah jatuhnya Uni Soviet pada 1991, demikian dalam laporan kantor berita Rusia, RIA.

"Perkiraan resmi akan lebih dari sekitar 10 persen kontraksi," kata Kudrin, dikutip dari US News, Rabu (13/4/2022).

Sebagai informasi, Kudrin menjabat sebagai Menteri Keuangan di pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin periode 2000-2011.

Adapun sumber yang dekat dengan pemerintah Rusia yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa kementerian ekonomi memproyeksikan kontraksi PDB antara 10 persen dan 15 persen tahun ini.

Kontraksi 10 persen akan menjadi penurunan terbesar dalam produk domestik bruto Rusia sejak 1994, menurut data Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional.

Bank Dunia bulan ini memperkirakan output PDB Rusia akan turun 11,2 persen tahun ini.

Prakiraan pemerintah Rusia sebelumnya memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto sebesar 3 persen tahun ini setelah ekonomi tumbuh 4,7 persen di tahun 2021.

Analis yang disurvei oleh kantor berita Reuters pada akhir Maret 2022 memiliki perkiraan rata-rata kontraksi PDB Rusia di 2022 sebesar 7,3 persen, memprediksi kenaikan inflasi hingga hampir 24 persen - tertinggi sejak 1999.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Rusia Gagal Bayar Utang Luar Negeri Gara-gara Pakai Rubel

Rusia disebut gagal bayar utang (default) luar negerinya karena menawarkan pembayaran kepada pemegang obligasi dengan mata uang rubel. Hal itu diungkapkan oleh lembaga pemeringkat global Standard and Poor's (S&P). 

Dilansir dari CNN Business, Rabu (13/4/2022) S&P mengatakan dalam sebuah catatan bahwa Rusia membayar utang dengan uang rubel untuk dua obligasi dolar yang jatuh tempo pada 4 April lalu.

S&P menyebut ini merupakan "default selektif" karena investor tidak mungkin dapat mengubah rubel menjadi "dolar yang setara dengan jumlah utang yang jatuh tempo."

Menurut S&P, wanprestasi selektif dideklarasikan ketika suatu entitas gagal memenuhi kewajiban tertentu tetapi tidak seluruh utangnya.

Rusia kini memiliki masa tenggang 30 hari dari 4 April untuk melakukan pembayaran modal dan bunga.

Tetapi S&P mengatakan tidak melihat pelunasan utang Rusia akan dilakukan dengan dolar mengingat sanksi dari negara Barat yang menghambat "kesediaan dan kemampuan teknis Rusia untuk memenuhi syarat dan ketentuan".

Sebagai informasi, sanksi terbaru oleh negara Barat terhadap Rusia beberapa waktu lalu membuat negara itu tidak dapat mengakses sekitar setengah dari cadangan devisa Rusia yang totalnya sekitar USD 315 miliar.

JPMorgan memperkirakan Rusia memiliki sekitar utang mata uang asing sekitar USD 40 miliar pada akhir tahun lalu, dengan sekitar setengahnya berada di investor asing.

Sementara itu, Rusia membantah tidak melunaskan utang dan merencanakan tindakan hukum atas pembayaran yang tidak diterima.

"Kami akan menuntut, karena kami melakukan semua tindakan yang diperlukan agar investor menerima pembayaran mereka," kata Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov kepada surat kabar Izvestia.

"Kami akan menunjukkan bukti pembayaran kami di pengadilan, untuk mengkonfirmasi upaya kami membayar dalam rubel, seperti yang kami lakukan dalam mata uang asing. Itu tidak akan menjadi proses yang sederhana," tambahnya.

Namun, Anton Siluanov tidak mengungkapkan secara spesifik tentang individu atau pihak mana yang akan dituntut Rusia.

3 dari 4 halaman

Bank Dunia: Perang akan Pangkas Setengah Ekonomi Ukraina

Bank Dunia menyebut ekonomi Ukraina akan menyusut hampir setengahnya tahun ini sebagai dampak dari konflik dengan Rusia.

Lembaga itu memperkirakan konflik kedua negara tersebut akan menyebabkan lebih banyak kerusakan ekonomi di Eropa timur dan sebagian Asia daripada pandemi Covid-19. 

Dilansir dari BBC, Rabu (13/4/2022) wakil presiden Bank Dunia Anna Bjerde mengatakan bahwa Ukraina membutuhkan "dukungan keuangan besar-besaran dengan segera".

Diketahui bahwa konflik di Ukraina telah menutup setengah dari bisnis negara itu dan memangkas ekspor. 

Sejauh ini, Bank Dunia telah mengirimkan bantuan dana hampir USD 1 miliar ke Ukraina dan telah menjanjikan bantuan tambahan USD 2 miliar dalam beberapa bulan mendatang.

"Besarnya krisis kemanusiaan yang ditimbulkan oleh perang sangat mengejutkan. Invasi Rusia memberikan pukulan besar bagi ekonomi Ukraina dan telah menimbulkan kerusakan besar pada infrastruktur," ujar Bjerde.

Selain itu, Bank Dunia juga membeberkan perkiraan kontraksi ekonomi Ukraina 45,1 persen belum termasuk dampak kehancuran infrastruktur fisik, dan berisiko menghambat output ekonomi di masa mendatang. 

 

4 dari 4 halaman

Perang Rusia-Ukraina Jadi Alasan BI Tahan Suku Bunga Acuan 3,5 Persen

Bank Indonesia mempertahankan suku bunga kebijakan BI-7 Day Reverse Repo Rate pada level 3,5 persen selama kuartal I-2022.

Hal itu dilakukan dalam rangka menempuh bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dengan tetap mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional.

"Keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan terkendalinya inflasi, serta upaya untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan eksternal yang meningkat terutama terkait dengan ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Berkala KSSK II Tahun 2022, Rabu (13/4/2022).

Lebih lanjut, kebijakan nilai tukar Rupiah juga diperkuat untuk menjaga stabilitas nilai tukar yang sejalan dengan mekanisme pasar dan fundamental ekonomi di tengah meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global tersebut.

"Bank Indonesia juga mulai melakukan normalisasi kebijakan likuiditas dengan tetap memastikan kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit atau pembiayaan kepada dunia usaha dan partisipasi mereka dalam pembelian SBN untuk pembiayaan APBN,” ujarnya.

Artinya, dengan masih tingginya rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga, normalisasi likuiditas dilakukan dengan menaikkan secara bertahap giro wajib minimum.

Hal ini berlaku untuk bank umum konvensional serta Bank Umum Syariah dan unit usaha Syariah (UUS) mulai Maret 2022 masing-masing menjadi 6,5 persen dan 5 persen pada 1 September 2022.

"Penyesuaian secara bertahap giro wajib minimum rupiah pada tahap 1 dan pemberian insentif giro wajib minimum sejak 1 Maret 2022, telah menyerap likuiditas perbankan sekitar Rp 55 triliun secara neto," jelasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.