Sukses

Konsep Food Estate Dinilai Tak Menjawab Ancaman Krisis Pangan

Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) dalam laporannya tahun lalu, telah mengingatkan potensi terjadinya krisis pangan

Liputan6.com, Jakarta Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) dalam laporannya tahun lalu, telah mengingatkan potensi terjadinya krisis pangan akibat terganggunya ketersediaan, stabilitas, dan akses pangan khususnya bagi masyarakat rentan secara ekonomi dan geografi.

Pemerintah Indonesia merespons hal itu dengan menyusun konsep pengembangan pangan yang terintegrasi dengan pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan yang disebut dengan program lumbung pangan nasional atau food estate.

Sayangnya, para pegiat lingkungan dan pakar gizi menilai respons pemerintah sebaiknya difokuskan pada pola distribusi dan produksi pertanian yang tepat bagi kebutuhan masyarakat di tingkat pusat hingga lokal. Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas, menilai respons pemerintah tidak tepat dalam menjawab kekhawatiran krisis pangan melalui food estate.

"Permasalahan terletak pada distribusi dan pemasaran produk pertanian akibat pandemi, bukan ketersediaanya," kata Iola di Jakarta, Rabu (7/7/2021).

Dia menuturkan, kekhawatiran dari banyak pihak justru semakin besar pada distribusi dan pemasaran produk. Mengingat hal ini akan mengulang kegagalan banyak program food estate masa lalu. Apalagi di Kalimantan Tengah yang menggunakan lahan bekas Proyek Lahan Gambut (PLG).

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo pernah menyebutkan telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 104,2 triliun untuk sektor ketahanan pangan pada 2021. Dalam anggaran tersebut ada alokasi untuk proyek food estate.

Anggaran bakal dialokasikan ke sejumlah Kementerian dan Lembaga (K/L), di antaranya Kementerian Pekerjaan dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebesar Rp 34,3 triliun, Kementerian Pertanian sebesar Rp 21,8 triliun dan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebesar Rp6,7 triliun.

Pekan lalu, DPR RI meminta pemerintah untuk mengevaluasi proyek yang masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 ini lantaran berpotensi terjadi tumpang tindih anggaran juga target produksi yang tidak terukur.Tahun 2020, pemerintah memulai proyek food estate pada lahan bekas pengembangan lahan gambut (PLG) seluas 30 ribu hektare dari target 770.6601 hektar di Kalimantan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas.

Menurut Iola, usulan program lumbung pangan ini bukan yang pertama kalinya muncul. Pada era pemerintahan sebelumnya, ide mengalihfungsikan lahan berskala besar untuk mendukung ketahanan pangan juga pernah dicetuskan, namun tidak ada satupun program yang berhasil.

Kegagalan itu tercermin dalam program yang dilakukan pada zaman Orde Baru, ketika 1,4 juta hektar gambut di Kalimantan Tengah dialihfungsikan menjadi sawah, kata Iola.

"Proyek ini gagal karena kondisi tanah yang tidak cocok dengan jenis tanamannya. Selain itu, praktik pengeringan lahan gambut dengan pembukaan kanal-kanal besar menyebabkan terjadinya lahan gambut menjadi rusak dan kehilangan fungsinya sebagai tandon air," katanya.

Tandon air gambut memiliki fungsi penting untuk menyerap air saat musim hujan dan melepaskannya secara perlahan ke aliran di sekitarnya pada musim kering. Program yang juga menyasar pada pembukaan gambut berisiko menimbulkan bahaya lingkungan jangka panjang. Semisal kebakaran hutan yang menimbulkan kabut asam saat kemarau, banjir saat musim penghujan, hingga efek pelepasan emisi karbon yang memperparah pemanasan global.

"Saya melihat transparansi dalam hal ini penting untuk dilakukan pemerintah, karena kebijakan istimewa seperti program food estate sebagai salah satu program strategis nasional membutuhkan pengawalan dari masyarakat," kata dia.

Terutama, lanjut Iola karena pemulihan dan perlindungan lahan gambut merupakan bagian penting dari upaya berkelanjutan dalam menahan laju pemanasan global. Selain itu, kebijakan pembukaan lahan yang istimewa seperti ini juga rentan menyebabkan konflik masyarakat akibat perampasan lahan.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Selanjutnya

Kegagalan sama juga terjadi dalam program pencetakan sawah pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyasar 1,2 juta hektar hutan di Merauke, Provinsi Papua. Berbagai macam izin usaha pengelolaan lahan dikeluarkan pemerintah, termasuk untuk perkebunan tebu dan kelapa sawit. Pelaksanaan program ini menuai protes akibat sejumlah masalah sosial, ekonomi dan lingkungan yang terjadi, termasuk perlawanan dari masyarakat adat.

CEO Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa Foundation), Bustar Maitar, mengatakan hal yang perlu dipastikan yakni cara pemerintah dalam pengembangan produksi pangan tidak perlu merusak ekosistem. Sebab, yang terjadi di Merauke sampai hari ini, proyek tersebut gagal namun penebangan pohon masih berlanjut.

"Yang terjadi di Merauke, sampai hari ini, estate-nya tidak jadi-jadi. Tapi, penebangan hutannya terus berlangsung dengan alasan pengembangan food estate,” kata Bustar.

Padahal cara yang dapat dilakukan di Papua bisa melalui intensifikasi pada lahan sawah daerah transmigran yang dapat dimaksimalkan produktivitasnya dan tidak harus membuka lahan baru. Pemerintah tidak harus mengalihfungsikan lahan dalam jumlah besar demi mengejar ketahanan pangan nasional.

Ketahanan pangan dapat didorong melalui pemberian dukungan bagi area-area pada level komunitas terkecil seperti perkampungan. Sehingga masyarakat bisa memproduksi pangannya sendiri dan sejalan dengan mitigasi dampak krisis seperti pada pandemi.

"Potensi pangan lokal tetap harus dijaga. Adalah sebuah kecelakaan Ketika membuat food estate hutan sagu dibabat misalnya, seperti yang terjadi di Papua. Food estate seharusnya mengunggulkan kemandirian, kalau masyarakat tidak bisa produksi sendiri, ya tidak ada kemandirian," kata Bustar.

Dia mencontohkan program kemandirian pangan yang dilakukan EcoNusa di tiga perkampungan di Maluku Utara; Gane, Posi-posi, dan Samo, pada 2018. Masyarakat di tiga kampung tersebut sudah dua dekade meninggalkan kebiasaan bercocok tanam padi karena mengandalkan pasokan beras yang dikirim dari wilayah lain.

Food & Nutrition Scientist, Mulia Nurhasan mengatakan ada dua aspek ketahanan pangan baru yang diusulkan para pakar ketahanan pangan dan gizi dalam High level panel of experts on food security and nutrition (HLPE) 2020 yakni Sustainability (keberlanjutan) dan agency (keberdayaan). Keberdayaan masyarakat dalam ketahanan pangan sangat penting untuk memastikan pemenuhan hak-hak masyarakat lokal dalam mengembangkan sistem pangannya sendiri.

"Konsep food estate tidak dapat menjamin aspek ketahanan pangan dari segi aksesibilitas dan kebermanfaatan, karena akses terhadap pangan beragam yang kaya akan zat gizi mikro bagi masyarakat lokal di tempat food estate digarap, bisa jadi malah terhambat. Apalagi dalam menjamin dua aspek ketahanan pangan tambahan, yaitu keberlanjutan dan keberdayaan," kata Mulia.

Selain karena kecenderungan terhadap satu atau beberapa komoditas tertentu, food estate juga mendorong terjadinya pembukaan lahan yang besar-besaran. Ada resiko penurunan asupan gizi dari makanan yang dikonsumsi masyarakat lokal. Sebab biasanya mudah di akses dari hutan dan lingkungan sekitar masyarakat kini menjadi hilang.

Beberapa hasil studi Center for International Forestry Research (CIFOR) menunjukkan masyarakat yang tinggal di perhutanan lebih banyak mengkonsumsi sayur, dan ikan. Sementara untuk daerah dengan deforestasi tinggi lebih banyak konsumsi pangan olahan dan minuman manis.

"Tingginya konsumsi pangan olahan, khususnya pangan ultra-proses dan minuman manis dapat menyebabkan naiknya angka penyakit tidak menular, seperti diabetes, darah tinggi, stroke, dan lainnya," kata dia.

Maka program ketahanan pangan dan gizi harus memiliki kesesuaian dengan kebutuhan dan potensi pangan dan gizi di tiap-tiap wilayah. Sehingga mampu menjaga keberlanjutan produksi lokal.

"Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan pangan yang top down, sekaligus menghindari fokus yang berlebihan pada produksi beras. Kebijakan pangan yang mempertimbangkan keberdayaan masyarakat lokal dan mengedepankan desentralisasi sistem pangan, bisa meningkatkan ketahanan pangan dan gizi secara berkelanjutan," tutup Mulia.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.