Sukses

Pengamat Soal Maraknya Penguasaan Tanah HGU: Buka Saja agar Rakyat Tahu

Para penguasa itu telah menguasai lahan HGU sejak lama.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengaku mendapat daftar grup penguasa tanah Hak Guna Usaha (HGU). Hal tersebut diungkapkannya melalui akun Twitternya @mohmahfudmd.
 
Menurutnya, setiap grup menguasai lahan hingga ratusan ribu hektare. Para penguasa itu telah menguasai lahan HGU itu sejak lama. 
 
Pengamat pertanahan Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin mengatakan, sebenarnya fakta ini bukan hal baru. 
 
"Apa yang diungkapkan Pak Mahfud itu hal lama, waktu debat Pilpres juga diungkit Pak Jokowi waktu debat dengan Pak Prabowo. Memang sensus mengatakan, 69 persen aset tanah dikuasai 0,2 persen penduduk Indonesia atau 270 ribu orang," jelas Iwan saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (27/12/2020).
 
Dirinya berujar, seharusnya pemerintah tidak merasa kaget dengan fakta ini, karena pemerintah sendiri tidak membuka data penyerahan HGU kepada masyarakat. Data yang dimiliki masih tertutup dan hanya diketahui pemerintah. 
 
Pada 2017, Mahkamah Agung (MA) sebenarnya sudah mengeluarkan putusan yang mengharuskan pemerintah membuka data terkait HGU. Keputusan itu keluar dalam perkara yang diajukan Forest Watch Indonesia (FWI). 
 
"Itu perintah MA sejak 2017, tapi tidak dibuka. Kenapa harus terbuka? Karena HGU terbit di atas tanah negara, jadi rakyat harus tahu, jangka waktunya sampai kapan, jenis tanamannya apa," jelas Iwan. 
 
Jika data HGU tidak transparan, maka akan menjadi celah bagi oknum yang ingin mendapatkan lahan seluas-luasnya. Mereka, lanjut Iwan, bisa memberi imbalan berupa saham perusahaan.
 
"Kalau HGU tertutup penggelapan pajaknya juga kita nggak tahu. Misalnya di sertifikat 10 ribu ha, kenyataannya bisa 15 sampai 20 ribu ha. Sampai sekarang, data Kementrian ATR BPN dan Ditjen Perkebunan (Kementerian Pertanian) nggak pernah klop," tandasnya. 
 
Oleh karenanya, pihaknya mendesak agar pemerintah segera membuka data HGU kepada masyarakat. Meskipun batas waktu HGU sudah habis, pemerintah harus tetap menyusun skala prioritas penggunaan lahan tersebut untuk masyarakat. 
 
"Karena kembali lagi, menurut pasal 12 dan 13 UU PA (Pokok-pokok Agraria), HGU 'haram' bagi korporasi tapi 'wajib' untuk koperasi, yang mengelola untuk masyarakat," katanya. 
 
 
 

Saksikan Video Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Respons BPN Soal Mahfud Md Singgung Banyaknya Penguasaan Tanah HGU

Menko Polhukam Mahfud Md menyinggung penguasa tanah Hak Guna Usaha (HGU). Terkait hal ini, Staf khusus Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Taufiqulhadi mengatakan, itu bukan hanya di era Joko Widodo atau Jokowi saja.

"Penguasaan lahan yang tidak berimbang ini terjadi bukan di era Pak Jokowi. Tapi di era sebelumnya dan itu semua tahu," kata Taufiqulhadi saat dihubungi merdeka.com, Minggu (27/12/2020).

Dia mengatakan, saat ini pemerintah hanya mengawasi. Jika mereka menelantarkan tanah, kata Taufiqulhadi, maka pemerintah akan menarik kembali hak guna usaha (HGU).

"Kalau digarap menjadi lahan produktif, itu akan bernilai positif bagi negara. Tapi jadi masalah, jika lahan telah dikuasai banyak-banyak tapi ditelantarkan, itu negatif bagi negara. Maka itu akan disikapi pemerintah dengan menarik kembali dan membatalkan HGU itu," tutur Taufiqulhadi.

Dia menjelaskan, saat ini pemerintah khususnya Kementerian ATR/BPN memiliki program reforma agraria. Hal tersebut kata dia bertujuan agar jika ada negara yang bebas, akan segera diredistribusikan.

"Jadi inilah pentingnya UU Cipta Kerja karena akan lebih mudah bagi negara mencari tanah habis masa haknya dan langsung masuk dalam program reforma agraria," jelas Taufiqulhadi.

"Sementara, Kementerian LHK semasa Pak Jokowi ada program kehutanan sosial dan TORA. Itu semua akan mampu menyelesaikan masalah ketimpangan penguasaan lahan ini," kata dia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.