Sukses

Di Hari Anak Nasional, Begini Bikin Anak Sukses Menurut Sains

Berikut rangkuman beberapa kesamaan pola didik orang tua yang bisa membuat anak-anak yang sukses.

Liputan6.com, Jakarta Orang tua yang baik ingin anak-anak mereka tidak mengalami masalah, berhasil di sekolah, dan terus melakukan hal-hal yang luar biasa sebagai orang dewasa.
 
Sementara tidak ada resep untuk membesarkan anak-anak yang sukses. Memang diperlukan sejumlah praktik dan teknik untuk membesarkan anak yang akan bahagia di kehidupan masa depannya. Seperti pola asuh yang sehat dan lingkungan yang suportif.
 
Termasuk membiarkan anak mengambil keputusan dan belajar dari resiko yang ia peroeh dari keputusan tersebut. Beberapa kelompok anak-anak yang memiliki kecetertarikan atau pencapaian yang serupa, umumnya berada pada pola asuh yang tak jauh berbeda.
 
Seperti berada dalam asuhan yang penuh kasih, sehinga mengarah pada kesuksesan dalam kehidupan dewasa anak.
Di hari anak nasional 2020, berikut rangkuman beberapa kesamaan pola didik orang tua yang bisa membuat anak-anak yang sukses, melansir laman Businses Insider, Kamis (23/7/2020):
 
1. Membuat anak-anak mengerjakan tugas
 
Dengan membuat anak melakukan pekerjaan rumah, dapat mengajarkan mereka tentang tanggung jawab dan kolaborasi. Dimana masing-masing memiliki peran dan tanggung jawab. 
 
Hal ini penting untuk kehidupan di masa yang akan datang. Anak yang terbiasa bertanggung jawab akan tugasnya, akan lebih mampu beradaptasi dan berkolaborasi dengan rekan kerja mereka.
Juga lebih empati karena mereka tahu secara langsung seperti apa perjuangan itu, dan mampu melakukan tugas secara mandiri
 
2. Mengajarkan keterampilan sosial
 
Anak-anak yang kompeten secara sosial yang dapat bekerja sama dengan teman sebaya tanpa disuruh. Termasuk membantu orang lain, memahami perasaan mereka, dan menyelesaikan masalah sendiri. 
 
Anak yang memiliki keterampilan sosial cenderung memiliki rancangan masa depan yang lebih baik, dibandingkan dengan yang memiliki keterampilan sosial terbatas. Hal ini dikarenakan interaksi yang terjalin memberi lebih banyak opsi dan gambaran atau preferensi terhadap suatu keputusan. 
 
 

Saksikan Video Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

3. Memiliki harapan yang tinggi

 
Berdasarkan hasil studi professor University of California di Los Angeles, Neal Halfon dan rekan-rekannya terhadap 6.600 anak yang lahir pada 2001, ditemukan bahwa harapan yang dipegang oleh orang tua untuk anak-anak mereka memiliki pengaruh besar pada pencapaian. 
 
"Orang tua yang melihat kuliah di masa depan untuk anak mereka tampaknya mengelola anak mereka menuju tujuan itu, terlepas dari pendapatan mereka dan aset lainnya," katanya.
 
Ini sejalan dengan temuan psikis lainnya, yakni Efek Pygmalion, yang menyatakan "bahwa apa yang diharapkan seseorang dari orang lain bisa menjadi ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya.” 
 
Dalam kasus anak-anak, mereka memenuhi harapan orang tua mereka.
 
4. Memiliki hubungan yang sehat satu sama lain
 
Anak-anak dalam keluarga berkonflik tinggi, baik utuh atau bercerai, cenderung memiliki situasi yang lebih buruk daripada anak-anak dari orang tua yang rukun.
 
Konflik antara orang tua sebelum perceraian juga mempengaruhi anak-anak secara negatif, sementara konflik pasca-perceraian memiliki pengaruh kuat pada penyesuaian anak.
 
Meski kadang tak disadari, trauma dari konflik ini akan terbawa hingga dewasa dan mempengaruhi kepribadian anak di masa yang akan datang.
 
5. Mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi
 
Anak-anak yang berada dalam asuhan orang tua dengan pendidikan yang tinggi, cenderung mendapatkan kesempatan yang sama.
 
Dengan kata lain, orang tua menginginkan anak-anak mereka mengenyam pendidikan yang setidaknya sama atau bahkan lebih dari mereka.
 
Sebuah studi tahun 2014 yang dipimpin oleh psikolog University of Michigan Sandra Tang menemukan bahwa ibu yang menyelesaikan sekolah menengah atau perguruan tinggi lebih cenderung membesarkan anak-anak yang melakukan hal yang sama.
 
 
3 dari 5 halaman

6. Mengajarkan matematika sejak dini

 
"Pentingnya keterampilan matematika awal - memulai sekolah dengan pengetahuan tentang angka, urutan angka, dan konsep matematika dasar lainnya - adalah salah satu teka-teki yang keluar dari penelitian ini," kata rekan penulis dan peneliti Universitas Northwestern Greg Duncan.
 
Penguasaan keterampilan ini, sebagai bekal untuk mengasah logika anak. Sehingga akan sangat mempengaruhi pola pikir anak di masa depan.
 
7. Mengembangkan hubungan dengan anak-anak 
 
"Ini menunjukkan bahwa investasi dalam hubungan orangtua-anak awal dapat menghasilkan pengembalian jangka panjang yang terakumulasi dalam kehidupan individu," kata rekan penulis dan psikolog University of Minnesota Lee Raby.
 
Sebuah studi tahun 2014 menemukan bahwa anak-anak yang menerima "pengasuhan sensitif" dalam tiga tahun pertama mereka tidak hanya melakukan tes akademik yang lebih baik di masa kanak-kanak, tetapi memiliki hubungan yang lebih sehat dan pencapaian akademis yang lebih besar di usia 30-an. 
 
Pola asuh yang sensitif atau responsif mengacu pada interaksi keluarga di mana orang tua menyadari kebutuhan emosional dan fisik anak-anak mereka dan merespons dengan tepat dan konsisten. Orang tua yang sensitif "selaras" dengan anak-anak mereka.
 
8. Merasa bahagia (sedikit stres)
 
Orang tua yang sedang mengalami stres akan menularkannya kepada anak. Sehingga sadar atau tidak, ini akan turut mempengaryhu emosi anak id masa yang akan datang.
 
Umumnya, orang tua dengan sedikit beban (sedikit stres) lebih bisa mendidik anak dengan rileks. Pesan atau komunikasi yang disampaikan menjadi efektif dan sehat. Sehingga anak juga akan ikut rileks dan merasa bahagia.
 
 
4 dari 5 halaman

9. Menghargai usaha daripada menghindari kegagalan

 
 
Pola pikir yang berkembang pesat dan melihat kegagalan bukan sebagai bukti ketidak-kecerdasan, tetapi sebagai batu loncatan yang menggembirakan bagi pertumbuhan dan untuk mengasah kemampuan dna mendapat pembelajaran.
 
Anak yang diapresiasi, baik berhasil atau belum, akan lebih tenang dan merasa aman. Sementara anak yang selalu dituntut untuk berhasil dan tidak menerima kegagalan, umumnya merasa tertekan.
 
10. Para ibu yang bekerja
 
Anak-anak memiliki kecenderungan untuk meniru orang tuanya. Anak-anak dari ibu yang bekerja juga demikian. Dimana anak juga cenderung memiliki keinginan bekerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang diasuh oleh ibu yang tidak bekerja.
 
11. Memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi
 
Anak yang dibesarkan dalam lingkup ekonomi yang mapan, cenderung lebih mudah mendapatkan akses untuk kesejahteraan mereka di masa depan mereka. Termasuk pendidikan dan fasilitas lainnya.
 
Sementara untuk anak yang dibesarkan dalam lingkup keluarga yang berkekurnagan, cenderung harus berusaha lebih keras untuk kesejahteraan mereka.
 
 
5 dari 5 halaman

12. Cenderung “berwibawa" daripada "otoriter" atau "permisif."

 
 Tipe orang tua Permisif, yakni orang tua berusaha bersikap tidak peka dan menerima anak. Semnetara Otoriter, yakni orang tua yang mencoba membentuk dan mengendalikan anak berdasarkan standar perilaku yang ditetapkan. 
Sementara orang tua yang mencoba mengarahkan anak secara rasional, ini lah yang paling ideal,yang berwibawa. 
 
13. Menerapkan kontrol perilaku, bukan kontrol psikologis
 
Orang-orang yang menganggap orang tua mereka tidak memegang kendali secara psikologis dan lebih peduli ketika mereka tumbuh besar, cenderung lebih bahagia dan lebih puas sebagai orang dewasa.
 
Di sisi lain, orang-orang yang orang tuanya menerapkan kontrol psikologis yang lebih besar ketika mereka tumbuh dewasa, menunjukkan kesejahteraan mental yang jauh lebih rendah di sepanjang kehidupan dewasa mereka.
 
Tidak membiarkan anak-anak membuat keputusan sendiri, menyerang privasi mereka, menumbuhkan ketergantungan, dan membujuk anak-anak untuk melakukan apa yang mereka inginkan adalah semua contoh bagaimana orang tua dapat menerapkan kontrol psikologis.
 
Sementara kontrol psikologis adalah tentang mencoba mengendalikan keadaan emosi atau kepercayaan anak, Haden menunjukkan bahwa kontrol perilaku berbeda karena itu tentang menetapkan batasan pada perilaku yang bisa berbahaya.
 
Contoh kontrol perilaku termasuk menerapkan jam malam, menugaskan tugas, dan mengharapkan pekerjaan rumah diselesaikan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.