Sukses

Jika Fasilitas GSP Dicabut, Ekspor Indonesia ke AS Bakal Turun 50 Persen

Liputan6.com, Bandung - Menteri Perdagangan (Mendag), Enggartiasto Lukita, menuturkan momentum perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) harusnya dapat menjadi peluang positif bagi Indonesia. Hal ini ia gambarkan sebagai dua sisi mata uang.

"Setiap momentum pasti ada ancaman tetapi sekaligus ada peluang. Termasuk juga dengan perang dagang. Jadi kita harus lihat dulu," tutur dia saat ditemui di Bandung, Kamis (18/10/2018).

Salah satu yang Enggartiasto soroti pada kesempatan ini ialah soal status Generalized System of Preference (GSP) RI oleh AS. GSP adalah negara yang memperoleh fasilitas keringanan bea masuk dari negara maju untuk produk-produk ekspor negara berkembang dan miskin.

"Sebagai contoh apa yang kita lakukan dengan AS. Daripada saya datang meminta mengemis, GSP ini kita perlu. Karena kalau dicabut ekspor kita akan turun 50 persen. Jadi saya datang kesana (AS) sebagai bangsa yang besar yaitu kita setara dan tingkatkan perdagangan kepentingan dua negara," ujar dia. 

Enggartiasto menjelaskan, kesepakatan pertukaran kerja sama dagang pun dipilih guna memanfaatkan perang dagang (trade war) yang tengah terjadi agar menjadi peluang.

"AS alami kesulitan akses, oke kita serap. Tapi AS juga harus kasih produk RI untuk masuk. Misalnya, tarif biaya masuk alumunium dan baja kita dikenakan 25 dan 10 persen. Di sini saya bilang, oke saya impor Boeing dari anda tapi Boieng pergunakan alumunium dikenakan biaya, jadi biaya pokok anda lebih tinggi dibandingkan dengan Airbus," kata dia.

"Dan mereka langsung paham akan statement ini. Menteri Perdagangan Amerika Serikat (AS) Wilbur Ross paham untuk ini dan akhirnya kami dapatkan exception dari AS untuk itu," tambah dia.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Alasan RI Masih Layak Terima Fasilitas GSP dari AS

Sebelumnya, Indonesia dinilai masih membutuhkan fasilitas GSP (Generalized System of Preference) dalam melakukan perdagangan internasional.

"Saya kurang setuju kalau dikatakan Indonesia sudah anggota G20 lantas hilang haknya (mendapatkan GSP). Tidak juga. Kita masih kategori negara berkembang yang bisa mendapatkan fasilitas GSP, entah dari Eropa, AS, Jepang, atau yg lainnya," ujar Dirjen Perundingan Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iman Pambagyo di Jakarta, Jumat 20 Juli 2018.

Dia menjelaskan pemberian GSP memang merupakan hak mutlak dari suatu negara. Fasilitas tersebut diberikan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi negara penerima fasilitas itu.

"Ada kriteria di GSP, country eligibility, di mana parameternya bisa macam-macam, human rights, labor rights, IPR (Intellectual Property Rights)," jelas dia.

"Juga ada kriteria yang dia terapkan yaitu competitive need limitations (CNL). Jadi untuk produk-produk yang sudah melampaui CNL itu akan digraduasi dari cakupan fasilitas GSP. Jadi ada hitung-hitungannya sendiri," imbuh dia.

Menurut dia, rencana pencabutan GSP oleh AS, sebenarnya dapat dimengerti. Sebab dalam pandangan AS, Indonesia sedang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan GSP.

"Tidak hanya kepada Indonesia, tapi juga India dan Kazakhstan, karena mereka melihat koktampaknya beberapa parameter yang dia terapkan untuk memberikan fasilitas GSP ke negara-negara ini tidak terpenuhi," kata dia.

"Indonesia market shares-nya sudah semakin baik dan tidak ada pesaing yang bisa mendekati, dan tidak ada produk domestik serupa di AS, ya dia akan di-graduate dari GSP," lanjut Iman.

Meskipun GSP adalah hak mutlak negara pemberi, Pemerintah Indonesia tentu tetap mengharapkan mendapatkan fasilitas tersebut untuk mendukung kinerja perdagangannya luar negeri.

Pemerintah akan terus melakukan negosiasi dengan AS agar GSP untuk produk Indonesia tetap ada. Indonesia memiliki pengalaman dalam bernegosiasi agar produk yang sudah terkena pencabutan GSP, kembali memperoleh fasilitas itu.

"Produk auto-wiring set dikeluarkan dari GSP pada 2013 atau 2014 kalau tidak salah, karena Indonesia market share-nya dianggap sudah kompetitif untuk bersaing di AS vis-a-vis suppliernegara lain," ujarnya.

"Tapi 2014 kita minta untuk dikecualikan dari perhitungan CNL karena alasan kita, kemajuan teknologi membuat produk seperti ini cepat berganti nilai competitiveness-nya. Jadi seingat saya 2015 sudah dimasukkan lagi. Jadi itu memang bisa dilakukan redesignation of products," dia menandaskan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.