Sukses

Era Digitalisasi, OJK Percepat Finalisasi Aturan Fintech

OJK akan mempercepat penyelesaian aturan fintech di Indonesia. Seperti apa?

Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan teknologi, inovasi, dan digitalisasi berjalan sangat cepat. Kondisi ini memengaruhi semua lini kehidupan, termasuk sektor keuangan. Merespons dinamika tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mempercepat penyelesaian aturan finansial technology (fintech) di Indonesia.  

Deputi Komisioner OJK Institute, Sukarela Batunanggar mengatakan, OJK akan menerbitkan kebijakan di lembaga jasa keuangan antara lain guiding principles bagi penyelenggara layanan keuangan digital. Aturan ini untuk menyikapi perkembangan teknologi yang begitu pesat.

Dia mengungkapkan, nantinya aturan ini akan mencakup mekanisme pendaftaran dan perizinan, serta penerapan regulatory sandbox atau suatu ruang untuk melakukan uji coba terbatas pada produk, layanan, teknologi, dan atau model bisnis penyelenggara fintech.

"Regulasinya jadi kita usahakan secepatnya. Lagi tahap finalisasi kita sudah juga mendapatkan masukan dari internal dan industri," kata dia pada saat acara Fintech Outlook Kompetisi Bank Vs Nonbank, di Thamrin Nine Balroom, Jakarta, Selasa, (10/4/2018).

Sukarela mengatakan, sejauh ini banyak industri fintech secara menyeluruh telah mendukung regulasi baru ini. Ke depan, kata dia, tinggal bagaimana carannya semua industri tersebut akan mendaftarkan diri ke OJK.

"Setelah mendaftar nanti, kita akan seleksi yang mana nanti akan masuk di dalam regulatory sandbox tadi. Kita akan uji, setelah itu nanti akan ada tahapan pendaftaran ke OJK," ujarnya. 

Lebih jauh dia menjelaskan, aturan regulatory sandbox ini bersifat umum. Artinya tidak akan mengatur secara rinci untuk masing-masing industri.

"Jadi artinya kita akan mengatur pokok atau prinsip terkait inovasi keuangan digital ke depan," ujarnya.

Sementara, dia pun mengungkapkan tujuan dari regulasi tersebut terlebih adalah ingin mendorong inovasi keuangan digital. Saat ini, Sukarela bilang, akses keuangan digital di masyarakat masih terbilang rendah.

"Inovasi keuangan digital kenapa perlu didorong, karena ini peluang ya bahwa kita lihat permasalahan yang di sektor keuangan kita adalah akses keuangan yang masih rendah," paparnya. 

"Nah dengan regulasi ini, pertama tentunya akan mendorong bagaimana kita menciptakan ekosistem fintech yang lebih baik. ke depan jadi mendorong inovasinya," pungkas Sukarela. 

 

Reporter : Dwi Aditya Putra

Sumber : Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ini Beda Urus Izin Fintech di BI dan OJK

Pertumbuhan era digital yang begitu pesat di Indonesia telah mengubah gaya hidup masyarakat, salah satunya terkait penggunaan uang tunai. Kini, lambat laun cashless society sudah terbentuk di masyarakat.

Perubahan sistem pembayaran digital ini memang sejalan dengan langkah Bank Indonesia yang menggiatkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) pada 2014.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), rata-rata nilai transaksi harian pengguna uang elektronik sepanjang 2017 mencapai Rp 60 miliar, atau naik 120 persen dibandingkan dengan periode sama tahun 2016 yang hanya mencapai Rp 27,7 miliar.

Adanya gerakan nontunai tersebut turut mendorong pelaku startup masuk ke industri financial technology (fintech) di dalam negeri.

Direktur Eksekutif Asosiasi FinTech Indonesia (Aftech) Ajisatria Suleiman mengakui banyak perusahaan yang ingin terjun ke bisnis fintech. Dengan model bisnis berbeda-beda, mereka pun ingin mengurus izin beroperasi legal di Tanah Air.

"Banyak dan model bisnis berbeda-beda. Ada yang butuh izin BI, ada yang butuh izin OJK, dan ada juga yang harus lapor Kominfo. Tergantung bisnisnya," jelas Aji di Jakarta, pada 23 Maret 2018. 

Dalam pengurusan izin, Aji mengakui ada kesulitan berbeda antara tiap regulator. OJK misalnya, terbilang lebih mudah dibanding Bank Indonesia.

Selama ini, OJK lebih mendahulukan perizinan dan melihat operasional perusahaan selama satu tahun berjalan. Jika dalam perjalanannya perusahaan tersebut tak baik, maka izinnya akan dicabut.

"Sementara di BI itu pre-audit. Jadi di audit dulu perusahaan dan itu kan lama, akhirnya perusahaan juga tidak bisa berjalan. Kasihan perusahaan tidak bisa berjalan selama proses audit, itu lama. Kalau di OJK jalan dulu, sekaligus diaudit dan diberi waktu misalnya satu tahun," katanya

Beberapa perusahaan fintech yang harus mengurus izin ke BI adalah yang bergerak di bidang e-money, e-wallet, sistem pembayaran dan lainnya. Semuanya itu harus melewati beberapa tahap perizinan di bank sentral.

"Memang peer to peer landing yang izinnya ke OJK lebih mudah dan sekarang sudah ada sekitar 40 mendapat izin. Mungkin BI ada pertimbangan lain seperti makroprudensial, sistem pembayaran dan lainnya," dia menandaskan.

Ke depannya, dia berharap BI maupun OJk bisa mencarikan solusi agar perusahaan fintech ini tidak kesulitan mendapatkan perizinan.

"Harapan saya perizinan bahwa menilai layak izin atau tidak diterapkan sistem seperti OJK, artinya apply, beri saja dulu izin, beri waktu satu tahun apa kredibel atau tidak. kalau tidak, cabut izin saja," tegasnya.

Reporter: Idris Rusasi Putra

Sumber: Merdeka.com

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.