Sukses

Di 3 Negara Ini Transaksi Uang Elektronik Kena Biaya

Selama ini perbankan menanggung biaya maintenance e-money.

Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) berencana mengeluarkan aturan perihal pengenaan biaya top up uang elektronik (e-money) oleh perbankan. Langkah ini diklaim demi meningkatkan pelayanan, mengingat kebutuhan e-money bakal terus meningkat ke depannya.

Mengenai hal itu, ekonom Bank Central Asia (BCA) David Samual mengatakan, alasan yang  diutarakan Bank Indonesia terkait pengenaan biaya top up uang elektronik benar. Sebab, selama ini perbankan menanggung biaya maintenance e-money.

"Sebenarnya selama ini ada biaya yang harus dibayarkan ke provider e-money itu, seperti biaya transaksi top up itu. Kan banyak provider e-money di Indonesia ini," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Senin (18/9/2017).

Bahkan, dia mengatakan, ada salah satu provider yang setiap tahun selalu menaikkan biaya transaksi. Di sisi lain, perbankan tidak menarik biaya transaksi ke nasabahnya.

Dia menambahkan, tidak hanya biaya transaksi yang harus ditanggung perbankan dalam menjaga kualitas pelayanan e-money, tetapi juga biaya maintenance.

Sampai saat ini pengguna e-money memang masih terbatas, tidak lebih dari 30 persen nasabah yang memiliki rekening di perbankan. Namun, jika pengguna e-money semakin banyak, maka akan memberatkan perbankan.

"Selama ini di beberapa negara seperti di Australia, Eropa, dan Amerika Serikat itu biaya transaksi itu dikenakan ke penggunanya, di sini saja yang belum," tegas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

YLKI: Konsumen Harusnya Dapat Insentif dari Isi Ulang E-Money

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendukung adanya transaksi nontunai. Hal itu untuk mewujudkan efisiensi pelayanan dan keamanan transaksi. Itu juga sejalan dengan fenomena ekonomi digital saat ini.

Namun, hal itu akan kontra produktif jika Bank Indonesia (BI) mengeluarkan peraturan terkait pengenaan biaya top up pada uang elektronik. Menurut YLKI, itu akan bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless society.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menerangkan, dengan cashless society sektor perbankan lebih diuntungkan daripada konsumen. Lantaran, perbankan menerima uang di muka, sementara transaksi atau pembelian belum dilakukan konsumen.

"Sungguh tidak fair dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya top up. Justru dengan model e-money itulah konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif," ujar dia, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (17/9/2017).

Tulus menuturkan, pengenaan biaya top up hanya bisa ditoleransi jika konsumen menggunakan bank berbeda dengan e-money yang digunakan. "Selebihnya no way, harus ditolak," ujar dia.

Dia menuturkan, perbankan tidak pantas mengandalkan pendapatan dari top up ini. Dia bilang, seharusnya keuntungan bank berbasis dari modal uang yang diputarnya dari sistem pinjam-meminjam.

"YLKI mendesak Bank Indonesia untuk membatalkan peraturan tersebut," ungkap dia.

Mantan Country Director TrueMoney Joedi Wisoeda menilai, rencana adanya biaya isi ulang untuk uang elektronik dapat menghambat cashless society. BI seharusnya makin mempermudah dan mendukung percepatan cashless society dengan melalui tahap less cash society.

Ia menuturkan, saat ini pengguna e-money hampir 90 persen dari golongan bankable atau punya akses ke perbankan. Bila dikenakan biaya isi ulang untuk uang elektronik, menurut Joedi dapat membuat uang elektronik menjadi kurang menarik bagi masyarakat yang ubankable.

"Ini pun jauh juga dari rencana awal dibuatnya e-money yang dibuat untuk menyasar teman-teman yang unbankable. Jadi, sebetulnya jika BI membuat tujuannya untuk menekan angka pencucian uang atau apa pun rasanya kurang tepat. Masih banyak cara lain yang bisa ditempuh," ujar Joedi saat dihubungi Liputan6.com.

Ia menuturkan, saat ini uang elektronik sudah menemukan polanya usai banyaknya pemain yang aktif bermain di sana. Pola tersebut bagaimana cara berbisnis uang elektronik, misalnya apa saja fitur dan target pasar uang elektronik tersebut. "Kalau dikenakan biaya seperti ini akan melambat lagi (uang elektronik)," kata dia.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman tak banyak berkomentar terkait aturan ini. Dia meminta supaya menunggu aturan itu keluar terlebih dahulu.

"Kita tunggu saja ketentuannya keluar dulu, ya. Kalau ketentuannya sudah ada tentu lebih mudah menjelaskannya," kata dia kepada Liputan6.com.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.