Sukses

Tetapkan Cukai, Pemerintah Diminta Perhatikan Pabrikan Kretek

Pemerintah, seharusnya juga tak sungkan menerapkan kebijakan seperti Amerika yang melindungi rokok putihnya.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah dan DPR diminta ikut memperhatikan aspirasi industri atau pabrikan rokok kretek terkait penetapan cukai. Apalagi, kontribusi industri pabrikan rokok kretek, mencapai 80 persen dari total kontribusi cukai yang disetor ke negara. 

Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah pihak, antara lain Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesian dan Apindo terkait potensi penerimaan cukai pekan lalu.

Namun RDPU yang membahas cukai ini ditengarai tidak melibatkan Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) sebagai asosiasi yang membawahi industri kretek dan memiliki anggota pembayar cukai terbesar (70 persen).

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji menilai, pabrikan rokok kretek menyerap  banyak bahan baku lokal. Demikian pula penyerapan tenaga kerja termasuk padat karya. Sebab itu seharusnya pandangan industri ini ikut menjadi perhatian.

Bahkan petani menilai seharusnya ada pengkhususan bagi rokok putih atau rokok impor dengan cukai tinggi sementara rokok kretek cukai lebih rendah.

"Kalau negara mau melindungi harus ada disparitas cukai pengenaan cukai rendah bagi rokok kretek atau berbahan baku lokal dibandingkan dengan rokok putih, rokok berbahan baku impor," ujar dia seperti dikutip Minggu (16/4/2017).

Dengan begitu, akan ada jaminan keberlangsungan industri kretek dalam negeri dan tembakau nasional. Apalagi dari sisi penyerapan kandungan tembakau lokal, industri pabrikan rokok kretek lebih bisa dipertanggungjawabkan.

"Kalau tidak dibedakan, akan tergerus dari hulu ke hilir. Kretek ini kan, Indonesia banget. Ini sebenarnya peperangan korporat multinasional, untuk itu kami usul ada disparitas, khusus untuk rokok putih, berbahan baku impor karena cukai tinggi," tegas dia.  

Agus mewanti-wanti penguasaan perusahaan multinasional, yang sudah mengambil alih sejumlah pabrik rokok lokal, untuk mempengaruhi kebijakan. Kementerian keuangan diminta harus memberi dukungan nyata bagi produk rokok kretek dalam negeri.

Pemerintah, seharusnya juga tak sungkan menerapkan kebijakan seperti Amerika yang melindungi rokok putihnya. Meski WTO menetapkan bahwa pelarangan rokok kretek ke Amerika menyelahi aturan, namun Amerika tidak mematuhi, dengan dalih kepentingan industri dalam negeri.

"Amerika menerapkan aturan larangan rokok aromatic, kemudian Indonesia menggugat lewat WTO dan menang. Namun Amerika, tidak mematuhi, dengan dalih melindungi industri. Terapkan saja ha serupa. Jangan dibuat mengambang kalau memang pemerintah memandang kontribusi tembakau memberi pemasukan besar ke negara," tandas Agus.

Secara terpisah, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Ismanu Soemiran, berpendapat besaran cukai berdasarkan ketetapan dari APBN. 

Idealnya, rokok naik linier dengan inflasi, pertumbuhan dan faktor lain. Menurut Ismanu, setiap kenaikan di luar pertimbangan tersebut membuat beban industri nasional hasil tembakau (IHT) menjadi naik, hal ini berdampak kontra produksi.

“Faktor lain itu yang sulit diprediksikan. Sebab, ini bersifat kebijakan atas dasar kebutuhan keuangan Negara,” jelas dia.

Perihal penurunan penerimaan cukai di kuartal I, dikatakan Ismanu, lebih diakibatkan kondisi perlambatan secara umum di hampir semua sektor usaha.

Faktor lain, karena masih berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20/PMK.04/2015 tentang Penundaan Pembayaran Cukai untuk Pengusaha Pabrik atau Importir Barang Kena Cukai yang Melaksanakan Pelunasan Dengan Cara Pelekatan Pita Cukai.

Terkait rencana Kementerian Keuangan akan menyederhanakan layer menjadi sembilan layer, dari 12 layer, dalam penetapan tarif cukai rokok, ditegaskan Ismanu, IHT di Indonesia itu sangat heterogen.

Setiap pengurangan (penyederhanaan) layer akan membawa korban. Korban ini sangat relatif, tergantung layer yang mana yang disederhanakan.

“Bahwa, IHT itu memiliki 3 lapis kelas, yakni besar, menengah, dan kecil. Sementara, pola pasar IHT adalah “pasar kanibalisme”, di mana setiap ada korban pabrik, bisa menyehatkan pabrik yang lain,” terang dia.

Menurut Ismanu, sesungguhnya tidak rumit bila jumlah layernya mampu mengakomodir jumlah varian jenis produksi rokok. IHT Indonesia yang heterogen, bila layernya sedikit justru menjadi rumit.

Terkait itu, Perkumpulan GAPPRI mengusulkan  untuk penyederhanaan layer yang direncanakan pemerintah harus adil dan berani menunjukkan keberpihakannya dengan menegakkan keadilan dan genuinitas, mana yang benar-benar murni industri hasil tembakau lokal.

Ditegaskan Ismanu, pengertian adil itu bila Pemerintah tidak mengorbankan pabrik lokal, seperti Amerika yang pemerintahannya berpihak ke industri lokal, yaitu ketika kretek sejak tahun 2010 dilarang masuk ke Amerika.

“Mudah-mudahan pemerintah Indonesia berani meniru sikap tegas Amerika yang melindungi industri lokalnya.  Kalau berani itu pemerintah benar-benar menunnjukkan Indonesia yang berdikari,” pungkas Ismanu.

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.