Sukses

Meski Murah, Harga Minyak Belum Capai Titik Terendah

Harga minyak masih bisa tertekan dan bahkan bisa mencapai harga yang lebih dalam dibandingkan posisi saat ini.

Liputan6.com, New York - Harga minyak menguat pada penutupan perdagangan Kamis kemarin. Namun penguatan tersebut bukan menjadi tanda bahwa harga minyak tak bakal merosot lebih dalam lagi.

Mengutip CNBC, Jumat (22/1/2016), harga minyak AS light sweet naik US$ 1,18, atau 4,2 persen menjadi US$ 29,53 per barel di New York Mercantile Exchange. 

Sementara minyak Brent, patokan global, naik US$ 1,37 atau 4,9 persen ke posisi US$ 29,25 per barel di ICE Futures Europe. Harga minyak kedua jenis ini naik, mencatat keuntungan terbesar sejak Oktober 2015.

Namun meskipun mengalami penguatan, harga minyak masih bisa tertekan dan bahkan bisa mencapai harga yang lebih dalam dibandingkan posisi saat ini.



Harga minyak dan beberapa aset berisiko lainnya mengalami penguatan setelah Presiden Bank Sentral Eropa, Mario Draghi mengeluarkan komentar bahwa mereka kemungkinan besar akan meninjau ulang kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.

Pernyataan dari Mario Draghi tersebut mendorong ekspektasi pelaku pasar bahwa Bank Sentral Eropa bakal kembali melonggarkan kebijakan moneter.

Kepala Riset Sektor Energi Barclays, Michael Cohen memperkirakan, ke depan harga minyak masih akan berada di bawah US$ 30 per barel. "Kami melihat harga minyak tidak akan turun namun juga belum akan beranjak naik," tutur Cohen.

Kepala Analis TD Securities, Bart Melek menambahkan, volatilitas harga minyak saat ini cukup tinggi. Oleh karena itu apa yang terjadi saat ini bukan merupakan posisi yang dipertahankan secara jangka panjang. Jumlah pasokan yang berlebih di tengah perlambatan ekonomi China menjadi salah satu alasan harga minyak masih bisa mengalami tekanan. 

Selain itu, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) juga masih menjadi pertanyaan beberapa analis. Pemerintah AS mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi sudah sesuai dengan target namun hal tersebut belum meyakinkan para analis.

Permintaan minyak olahan atau bensin di negara tersebut memang terus mengalami kenaikan namun produksi dan juga persediaan minyak mentah juga ikut meningkat. 

 Francisco Blanch, kepala riset komoditas di Bank of America Merrill Lynch menambahkan, pada pekan ini ada perusahaan minyak yang menyatakan melakukan efisiensi dan mengurangi jumlah karyawannya sampai ribuan orang. Ke depan, Blanch melanjutkan, ada kemungkinan beberapa perusahaan lain bakal mengikuti langkah yang dilakukan oleh perusahaan minyak tersebut. 

"Ada langkah efisiensi untuk menekan biaya sehingga pendapatan yang diperoleh bisa dipertahankan. Kita lihat saja pada pekan depan apa yang akan terjadi dari laporan keuangan yang bakal perusahaan keluarkan," jelasnya. (Gdn/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.