Sukses

‎Mimpi Menteri Susi: Tiap Kampung Nelayan Punya Bandara Perikanan

‎Nelayan lokal sangat sulit bersaing dengan nelayan negara lain karena keterbatasan armada penangkapan ikan.

Liputan6.com, Jakarta - Kesejahteraan para nelayan lokal ‎selama ini terenggut oleh aktivitas illegal fishing yang justru marak dilakukan kapal-kapal  asing di perairan Indonesia. Padahal jika laut Indonesia bersih dari praktik kotor tersebut, nelayan lokal bisa meraup untung besar, ditambah dengan kemudahan akses pemasaran hasil tangkapan nya ke pasar internasional.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti mengaku, ‎nelayan lokal sangat sulit bersaing dengan nelayan negara lain karena keterbatasan armada penangkapan ikan. Dijelaskannya, kapal nelayan tradisional Indonesia hanya berukuran 20 GT sampai 70 GT, paling besar 200 GT.

"Sedangkan kapal-kapal asing yang melakukan illegal fishing di Indonesia, berukuran 300 GT sampai 500 GT, bahkan paling kecil ukuran kapalnya 100 GT hingga 200 GT. Jadi ini enggak seimbang," keluh dia saat berbincang dengan Liputan6.com di kantornya, Jakarta, Kamis (25/6/2015).

‎Illegal fishing selama ini menjadi momok bagi nelayan Indonesia. Mereka justru tak berdaya di negeri sendiri karena dominasi dan kekuasaan kapal-kapal asing di perairan Indonesia.

Sebenarnya, menurut Susi, jika laut Indonesia bebas dari illegal fishing, maka pendapatan nelayan tradisional lokal akan membaik. Sebab dalam bisnis perikanan, tingkatan harga yang diukur dari kualitas maupun jenis olahan sangat berbeda.

"Kalau dalam seafood, harga paling murah itu ikan asin, pindang. Naik lagi harganya ikan kalengan dan lebih mahal sedikit ikan beku. Harga lebih mahal lagi ikan beku yang dibuat nugget atau fillet dan yang paling mahal ikan hidup serta ikan segar. Jadi kalau memasarkan ikan hidup dan segar, nelayan bisa mendapat harga premium," terang Susi.

‎Sayangnya, lanjut dia, nelayan tradisional lokal mengalami kendala akses pemasaran. Tidak ada fasilitas bagi mereka untuk mengirimkan hasil tangkapan laut yang segar ke pasar-pasar luar negeri. Itu karena belum tersedianya bandara atau pesawat khusus pengiriman hasil tangkapan laut.

"Jika nelayan tradisional punya akses langsung ke pasar, misalnya bandara, penerbangan bisa langsung ke pasar internasional, maka harga ikan dijual lebih mahal lagi. Karena waktunya cuma 48 jam. Jadi nelayan tradisional enggak selalu primitif atau jelek," tegasnya.

Dari masalah tersebut, Menteri Susi mempunyai mimpi besar agar setiap daerah dan perkampungan nelayan tersedia bandara perikanan. Dia mengatakan, hanya butuh membangun landasan pacu atau runway sepanjang satu kilometer (km) dan bandara tersebut bisa beroperasi serta menimbulkan multiplier effect besar bagi nelayan lokal.

"Bangun satu km runway pakai buldoser, sebulan selesai. Kalau pelabuhan besar kan jangka panjang. Dengan satu km runway itu, maka bisa membawa kita ke pasar dunia. Pasar juga akan datang ke kita," papar Susi. (Fik/Ndw)

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.