Jadi Tulang Punggung Keluarga, Pekerja Perempuan SKT Harus Dilindungi

Koalisi Perempuan Indonesia menyoroti kondisi pekerja perempuan di Indonesia, khususnya para pekerja pelinting perempuan sigaret kretek tangan (SKT) di industri hasil tembakau (IHT).

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Okt 2022, 15:49 WIB
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)

 

Liputan6.com, Jakarta Koalisi Perempuan Indonesia menyoroti kondisi pekerja perempuan di Indonesia, khususnya para pekerja pelinting perempuan sigaret kretek tangan (SKT) di industri hasil tembakau (IHT).

Koalisi Perempuan Indonesia selama ini menaungi anggota perempuan yang di dalamnya, termasuk pekerja perempuan, pekerja di sektor industri (pabrik), hingga perempuan petani, nelayan, pekerja migran, dan pekerja rumah tangga. 

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka mengatakan, pihaknya juga memperhatikan pekerja/buruh perempuan di sektor SKT yang menjadi bagian dari mata rantai IHT. “Pekerja SKT adalah aktor utama dari keberhasilan industri, yang menentukan hasilnya bagus atau tidak,” katanya. 

Dia mengatakan, para pelinting SKT ini seharusnya tidak lagi diposisikan sebagai perempuan pencari nafkah tambahan, tetapi pencari nafkah utama.

“Perempuan di industri rokok seharusnya dipandang secara setara karena kecakapan dan kapasitasnya,” ujarnya.

Para pekerja ini, kata Mike, sempat mengalami situasi yang tidak baik saat pandemi, seperti mengalami pengurangan jam kerja dan bahkan pemberhentian kerja. 

“Selama pandemi, pekerja perempuan yang dirumahkan atau yang tetap bekerja mengalami beban ganda karena kebijakan pembatasan fisik dan sosial,” katanya.

Itulah sebabnya, dia mendorong dipertahankannya kebijakan yang melindungi para pekerja perempuan ini, termasuk juga regulasi terhadap industri SKT yang menaunginya. Industri SKT dapat menjadi wadah pemberdayaan perempuan yang mendorong kemandirian para pekerja SKT.  

Eksistensi industri SKT dan pekerjanya yang ada saat ini perlu dilindungi melalui kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan industri yang padat karya serta peningkatan kualitas dan kesejahteraan pekerjanya.

Mike menilai pemerintah perlu terus memastikan agar implementasi kebijakan perlindungan sektor padat karya dapat berjalan dengan baik. 

 

2 dari 4 halaman

Kebijakan Cukai

salah satu tanaman tembakau di Desa Gaddu barat, Kecamatan Ganding, kabupaten Sumenep.

Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengingatkan pemerintah agar bijak dalam menetapkan kebijakan untuk sektor padat karya antara lain kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) di tahun 2023.

Kenaikan tarif yang terlampau tinggi akan merugikan berbagai pihak, termasuk tenaga kerja di IHT dan seluruh mata rantai industri sehingga berpotensi memunculkan permasalahan di kemudian hari.  

Anggota Komisi XI DPR RI Willy Aditya mengatakan, pemerintah perlu berhati-hati terkait kebijakan CHT yang melibatkan berbagai komponen di dalamnya, termasuk pekerja pelinting SKT.

Willy juga menegaskan pemerintah perlu melihat CHT dalam bingkai yang seimbang antara sumbangan pendapatan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan kontribusinya bagi mata rantai pemangku kepentingan IHT.

”Saya berkeyakinan pemerintah akan bijak menentukan kewajaran angka kenaikan cukai hasil tembakau. Proyeksi-proyeksi ekonomi yang dipatok pemerintah juga perlu menjadi pertimbangan apakah perlu atau tidaknya menaikkan CHT,” tegasnya.

3 dari 4 halaman

Rumuskan Tarif Cukai di 2023, Pemerintah Diminta Pertimbangkan Hal Ini

Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dalam beberapa bulan ini, sejumlah ekosistem tembakau menolak rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2023. Merujuk dokumen UU APBN 2023, pemerintah akan menaikan cukai sebesar Rp 245,4 triliun.

Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB-UB), Prof. Candra Fajri Ananda mengemukakan, berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Kebijakan Ekonomi (PPKE FEB UB) tahun 2022,  merekomendasikan agar pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai sisi yang terlibat dalam kebijakan kenaikan tarif cukai dan harga rokok di Indonesia.

Enam+00:00VIDEO: RON Pertalite Cuma 86, Pertamina Angkat Suara Diantaranya adalah pemerintah perlu memperhatikan sisi tenaga kerja, penerimaan CHT, kesehatan, rokok ilegal, industri, hingga pertanian.

Menurut Prof. Candra, hasil kajian yang berjudul 'Analisa Keseimbangan Kebijakan IHT di Indonesia' tersebut menegaskan bahwa keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) legal menjadi bagian penting dalam pertimbangan kebijakan cukai di Indonesia untuk menjaga keberlangsungan IHT demi mendorong terbukanya lapangan pekerjaan dan menurunkan angka pengangguran di Indonesia.

Hal itu perlu dilakukan mengingat indikator angka prevalensi merokok usia dini telah tercapai di RPJMN yang menargetkan penurunan sebesar 8,7 persen. Pada perkembangannya, presentase penduduk merokok usia dini (10-18 tahun) telah melebihi capaian target pemerintah dari 7,2 persen (2013) menjadi 3,8 persen (2020).

"Hasil kajian itu menunjukkan bahwa kenaikan harga yang terlalu tinggi akan mengancam kesinambungan IHT yang terbukti mengalami penurunan jumlah pabrikan rokok terutama golongan 1. Pasalnya, golongan 1 memiliki tingkat sensitivitas terbesar apabila terjadi perubahan harga. Kenaikan harga rokok pada golongan 2 dan 3 memberikan kontribusi besar terhadap kenaikan peredaran rokok ilegal," kata Prof. Candra dalam keterangan di Jakarta dikutip Kamis (13/11/2022).

 

4 dari 4 halaman

Kenaikan Harga Rokok

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Merujuk hasil kajian, Prof. Candra mengatakan, secara umum kenaikan harga rokok akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan IHT dan pertumbuhan penerimaan CHT. Kenaikan harga berpengaruh secara langsung terhadap kenaikan jumlah permintaan rokok ilegal.

"Kenaikan harga rokok yang dilakukan secara terus menerus akan berdampak terhadap peningkatan peredaran rokok ilegal dan keberlangsungan IHT yang selanjutnya juga dapat meningkatkan dampak negatif bagi kesehatan konsumen rokok dan berpotensi menurunkan penerimaan negara," terangnya.

Oleh sebab itu, sambung Prof. Candra, kenaikan harga rokok bukan langkah efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok. Pasalnya, dampak kenaikan harga rokok terhadap peningkatan peredaran rokok ilegal dan penurunan pabrik rokok lebih besar dibandingkan dengan penurunan angka prevalensi merokok.

"Saat ini, pemerintah perlu menahan kenaikan harga rokok untuk menjaga keseimbangan pilar lain yang terlibat dalam IHT," ujar Prof. Candra.

Infografis Tarif Cukai Rokok Naik 12 Persen di 2022 (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya