Idul Fitri 2021 Dinilai Jadi Momen Ujian Nasional Pemerintah dalam Mengendalikan COVID-19

Jika pemerintah gagal dalam mengendalikan pandemi COVID-19, maka yang akan terbebani adalah tenaga kesehatan yang bertugas sebagai garda terakhir

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 10 Mei 2021, 21:17 WIB
Petugas medis mengambil sampel lendir saat tes swab PCR massal di Kantor Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Selasa (5/1/2021). Puskesmas Pancoran Mas melakukan tes Swab PCR kepada warga yang pernah memiliki riwayat kontak erat dengan pasien terkonfirmasi positif Covid-19. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Momen Idul Fitri tahun 2021 ini diibaratkan menjadi semacam ujian nasional bagi pemerintah dalam pengendalian pandemi COVID-19 di Tanah Air.

Pendiri Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi Zaenal Abidin mengatakan, jelang Idul Fitri, ada tiga isu terkait COVID-19 yang menarik perhatian. Pertama adalah mobilitas warga ke kampung halaman atau mobilitas lain yang menimbulkan kerumunan dan tidak ditaatinya protokol kesehatan.

Selain itu, isu lain adalah bertambahnya penemuan varian virus SARS-CoV-2 baru, serta masuknya Warga Negara Asing (WNA) baik dari China maupun India.

Zaenal, yang juga Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia periode 2012- 2015 ini mengatakan, ketiga masalah ini berpotensi menambah masalah dan juga kasus COVID-19 pasca Lebaran.

"Selain tiga masalah tersebut terjadi silang pendapat yang kurang sehat di tengah masyarakat berkaitan perbedaan perlakuan penerapan aturan mobilitas manusia. Di mana WNI dilarang mudik lebaran sementara WNA dibolehkan secara bebas masuk ke Indonesia dengan berbagai keperluan," kata Zaenal.

Dalam rilis yang diterima Health Liputan6.com pada Senin (10/5/2021), Zaenal mengatakan bahwa terkait mobilitas warga ke kampung halaman, banyak orang yang menolak dikatakan mudik.

"Sebab mudik dilarang oleh pemerintah. Dan mudik yang dilarang pemerintah sudah ditentukan batas atau kurun waktunya. Sementara warga yang bergerak menuju ke kampung halaman terjadi di luar batas waktu yang ditentukan dan dilarang pemerintah," tulisnya.

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini

2 dari 4 halaman

Momentum Ujian Nasional

Petugas kepolisian saat menghalau pemudik yang lawan arus di Jalan Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Minggu (9/5/2021). Pemudik memblokir jalan saat penyekatan di posko penyekatan mudik di Kedungwaringin. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Dalam pengantar webinar pada pekan lalu, Zaenal juga mengatakan bahwa pengaruh bebasnya WNA yang masuk ke Tanah Air dan makin meluasnya penularan varian virus corona baru juga tidak bisa diabaikan begitu saja.

"Karena secara kebetulan bertepatan momentum Lebaran Idul Fitri di mana terjadi mobilitas warga menuju kampung halaman, tentu yang gampang dijadikan 'kambing hitam' adalah momentum hari raya umat Islam ini," ujarnya.

Maka dari itu, Zaenal meminta agar umat Muslim yang telah berpuasa sebulan penuh untuk tetap menahan diri demi menjaga kehormatan di Hari Raya Idul Fitri.

"Di sisi lain, pemerintah pun harus bekerja keras menjadikan momentum ini sebagai ujian nasional bagi upaya pengendalian COVID-19 tahun ini," kata Zaenal.

Menurut Zaenal, apabila usai Lebaran tidak ada lonjakan kasus, maka pemerintah bisa dinyatakan lolos ujian. Namun jika terjadi peningkatan, ia menilai bahwa nilai pemerintah rendah.

"Bila pemerintah sebagai 'garda' terdepan tidak lulus ujian nasional pengendalian COVID-19 pada momentum Lebaran Idul Fitri ini, dapat dipastikan bahwa tenaga medislah yang paling (mendapat) bebannya."

"Sebab tenaga medislah yang merupakan harapan terakhir atau 'garda' terakhir (bukan garda terdepan) yang harus berhadapan dengan orang sakit dan penyakit menular," pungkas Zaenal.

3 dari 4 halaman

Menyamakan Persepsi

Santri melakukan swab test di Pondok Pesantren Baitul Hikmah, Bojongsari, Depok, Jawa Barat, Kamis (12/11/2020). Pengelola pesantren bekerja sama dengan GTPPC Kota Depok dan RS UI melakukan swab test massal terhadap puluhan santri dan pengasuh pondok pesantren. (merdeka.com/Arie Basuki)

Untuk itu, Zaenal mengatakan bahwa dibutuhkan penyamaan persepsi baik antara masyarakat yang difasilitasi tokoh masyarakat atau agama, serta antara pemerintah dengan masyarakat.

Persepsi yang dimaksud di sini adalah persepsi bahwa pandemi COVID-19 adalah upaya kesehatan masyarakat, urusan utama negara, dan bukan wilayah upaya kesehatan perorangan atau pribadi.

"Pemerintah tidak boleh lepas tangan dan menyerahkan urusan ini kepada rakyat sebagai warga negara. Dan rakyat pun tidak boleh mengambil alih serta menganggap sebagai urusan pribadinya," kata Zaenal.

"Karena itu pendekatan yang seharusnya digunakan sejak awal adalah pendekatan Upaya Kesehatan Masyarakat. Di sini pemerintah harus menjadi tokoh utama dan garda terdepan melalui regulasi dan strategi kebijakan yang betul-betul tepat, disertai serta dukungan dana cukup."

Zaenal mengatakan pemerintah harus berupaya keras mencegah semakin banyak rakyat yang sakit.

Menurutnya, pembatasan mobilisasi warga harus dilakukan dengan regulasi yang jelas, tegas, jujur, terbuka, dan tidak membeda-bedakan antar warga negara, serta tidak membedakan apakah dia WNI atau WNA.

"Di sini berlaku prinsip 'fairness', berkeadilan. Di dalam ajaran Islam adil itu lebih dekat dengan takwa yang menjadi tujuan diwajibkannya puasa," ujarnya.

Selain itu, ia mengingatkan bahwa program tracing dan testing haruslah dilakukan oleh negara dengan aktif. Menurutnya, jangan menjadikan kekurangan tenaga sebagai alasan tidak berjalannya dua hal ini dengan baik.

"Bila negara serius menjalankan kewajiban melindungi rakyatnya tentu akan memenuhi kecukupan dananya. Bila dana tersedia maka tenaga pun dapat diadakan atau dilatih."

4 dari 4 halaman

Infografis Dilarang Mudik

Infografis Dilarang Mudik (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya