Pengamat: Pemerintah Joe Biden Harus Kompromi dengan Oposisi

Kekuasaan Partai Demokrat di DPR dan Senat masih rapuh. Joe Biden disebut perlu aktif negosiasi dengan Partai Republik.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 21 Jan 2021, 20:03 WIB
Presiden Joe Biden merapikan dokumen usai menandatangani perintah eksekutif pertamanya di Ruang Oval, Gedung Putih di Washington, Rabu (20/1/2021). Pada hari pertamanya menjabat, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menandatangani sejumlah tindakan eksekutif di Gedung Putih. (AP Photo/Evan Vucci)

Liputan6.com, Washington, D.C. - Joe Biden sudah resmi dilantik menjadi presiden Amerika Serikat. Pada hari pertamanya, Joe Biden sudah menandatangani banyak perintah eksekutif untuk membatalkan program-program Donald Trump.

Namun, pengamat menyebut Joe Biden perlu fokus untuk negosiasi dengan partai oposisi di Senat dan DPR AS. Pasalnya, kemenangan Demokrat di Kongres masih tipis. 

Partai Republik perlu digandeng agar kebijakan dan perintah eksekutif Biden tidak dijegal. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berbagi kekuasaan di Senat. 

"Mau tidak mau. Itu harus ada kompromi, kalau enggak begitu, itu nanti akan susah mencari bipartisan support. Jadi pertama harus power-sharing di Senat," ujar pengamat Amerika Serikat Didin Nasiruddin kepada Liputan6.com, Kamis (21/1/2021).

Mulusnya kompromi Joe Biden bisa meningkatkan peluang Demokrat untuk mengontrol Kongres hingga empat tahun. Sebab, mid-term election 2022 bisa mengganggu dominasi Demokrat.

Didin menyebut partai penguasa berpotensi kalah di Kongres saat mid-term election. Hal itu sempat terjadi pada era Barack Obama di 2014. Donald Trump juga mengalaminya saat Republik kehilangan DPR pada 2017.

"Biden dengan kekuatan tiga kekuatan itu (Gedung Putih, Senat, DPR) hanya mungkin bertahan dua tahun saja, karena histori mengatakan di mid-term election itu partai yang memerintah biasanya kehilangan Senat dan DPR," ujar Didin.

Keadaan dipersulit oleh fakta ada tiga senator Demokrat yang harus ikut pemilihan khusus pada 2022, yakni Mark Kelly (Arizona), Raphael Warnock (Georgia), dan Alex Padilla (California).

"Wornoff, Padilla, dan senator dari Arizona yang baru, itu spesial election 2022 mereka harus bertarung lagi," ujar Didin.

 

Load More

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Haruskah Mengambil Kebijakan Populis?

Presiden Joe Biden saat berada pertamanya di Ruang Oval, Gedung Putih di Washington, Rabu (20/1/2021). Pada hari pertamanya menjabat, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menandatangani sejumlah tindakan eksekutif di Gedung Putih. (AP Photo/Evan Vucci)

Joe Biden dikenal di Partai Demokrat sebagai anggota partai yang lebih moderat. Ia berbeda dari populis seperti Bernie Sanders, Elizabeth Warren, atau Alexandria Ocasio-Cortez (AOC). 

Ketika ditanya apakah Biden harus mengambil kebijakan populis agar bisa bertahan hingga mid-term elections, Didin berkata Biden sudah mengambil kebijakan demikian, seperti saat menaikan stimulus COVID-19. 

"Dengan dia akan meningkatnya stimulus yang US$ 1400 itu kebijakan yang populis, kemudian mempercepat vaksin itu populis. Pokoknya vaksin, ekonomi itu harus menjadi fokus dari hari kedua sampai mid-term election," jelas Didin. 

Joe Biden setuju menambahkan stimulus COVID-19 sebanyak US$ 600 menjadi US$ 2.000. Meski demikian. kubu AOC menolak karena menurutnya Biden hanya memberikan US$ 1.400, bukan US$ 2.000.

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya