Mengenal Teknologi Peuyeumisasi, Metode Ubah Sampah Jadi Batu Bara Nabati

Teknologi itu dinilai bisa membantu mengatasi sampah yang berserakan di sungai hingga komunitas setempat.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 08 Sep 2020, 05:02 WIB
Ilustrasi sampah rumah tangga. (dok. Foto Neonbrand/Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Pusing dengan sampah yang menumpuk di lingkungan sekitar kita? Sudah saatnya kita berbuat sesuatu. Salah satunya mengolah sampah menjadi bahan bakar, seperti mengadopsi teknologi peuyeumisasi untuk mendapatkan batu bara nabati.

Apakah itu peuyeumisasi? Penemu metode tersebut sekaligus Komisaris Utama comestoarra.com, Supriadi Legino menerangkan metode peuyeumisasi adalah penyebutan lain untuk biodrying, yakni metode pengeringan yang terinspirasi dari alam. 

Seluruh sampah dimasukkan ke dalam boks bambu berukuran 2x1,25x1,25 m3 dengan bagian atas terbuka. Boks tersebut mampu menampung sampah berukuran 500 kilogram hingga 1 ton. Selanjutnya, sampah dibiarkan mengering memanfaatkan sinar matahari dibantu dengan bioaktivator untuk mengurai sampah dalam waktu 3--7 hari, tergantung material sampah.

Setelah kering, bau tak sedap dari sampah akan hilang. Selanjutnya, petugas bisa memilah antara sampah organik, biomassa, plastik (PVC dan Non-PVC), serta residu. Semua ini memerlukan kerja sama alias gotong royong dari warga.

"Konsep gotong royong sangat menunjang keberhasilan pengolahan sampah di sumber. Dari kajian sosiologi dan psikologi, masyarakat Indonesia membutuhkan teknologi yang sederhana namun sarat akan nilai-nilai budaya," tutur Supriadi dalam rilis yang diterima Liputan6.com, beberapa waktu lalu.

Bambu, sambung dia, dipilih karena identik dengan masyarakat Indonesia. Ukuran boks peuyeum juga disebutnya agronomis. Hasil peuyeumisasi berupa bahan baku padat atau pelet yang merupakan batu bara nabati.

Menurut Ketua Pelaksana Safari TOSS dan CEO dari Comestoarra.com, Arief Noerhidayat, melalui peuyeumisasi, tingkat kelembapan material sampah bisa ditekan di bawah 15 persen. Sementara, ash content berkisar 2--25 persen tergantung jenis material sampah.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Diuji Coba di PLTU

Ketua Pelaksana Safari TOSS dan CEO dari Comestoarra.com, Arief Noerhidayat menunjukkan gasifier untuk mengolah pelet sampah jadi bahan bakar. (dok. GCB)

Selanjutnya, material tersebut diuji pada kompor pelet dan gasifier yang dikembangkan bersama Usaha Kecil Menengah (UKM) di Bali dan Malang. Menurut dia, pelet sampah memiliki nilai kalor sekitar 3.000--4.000 kcal/kg

"Alhamdulillah, kami sudah sangat yakin dengan kualitas dari energi kerakyatan yang kami teliti dan uji didukung oleh masyarakat setempat dan juga UKM," ujar Arief.

Arief menyatakan bahwa saat ini kompor pelet dan juga gasifier telah diproduksi secara terbatas untuk kebutuhan penelitian dan pengembangan serta program CSR sejumlah perusahaan, seperti PLN, PT Indonesia Power, dan PT Indofood Sukses Makmur. Pelet yang dikonversi menjadi gas sintetis melalui metode gasifikasi bisa dimanfaatkan untuk mengoperasikan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).

Gas sintetis itu berpeluang untuk mensubtitusi solar atau gas sehingga bisa menurunkan biaya pokok produksi pembangkit listrik. Dalam riset lanjutan, pelet digunakan sebagai bahan baku co-firing 1--5 persen, yakni campuran batu bara pada PLTU, seperti diterapkan di PLTU Jeranjang, Lombok, dan PLTU Lontar, Tangerang, yang bekerja sama dengan PT Indonesia Power.

"Satu tantangan utama penyebarluasan ini, ke mana pelet akan disalurkan atau dijual? Alhamdulillah, PT Indonesia Power mau menampung," imbuh Supriadi.

Infografis Indonesia Sumbang Sampah Plastik Terbesar Kedua Sejagat. (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya