Belajar Semangat dari Pemulung di NTT, Tetap Mengais Rezeki di Tengah Pandemi

Meski khawatir terpapar virus corona, mau tidak mau para pemulung tetap keluar rumah mengais rezeki, atau mereka tidak makan.

oleh Ola KedaDionisius Wilibardus diperbarui 10 Jun 2020, 02:00 WIB
Foto : Wisrance (36), pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Wairii, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (Liputan6.com/Dion)

Liputan6.com, Kupang - Virus corona (covid-19), melumpuhkan segala sektor kehidupan. Semua aktivitas lumpuh total. Tetapi, hal ini tidak berlaku bagi sejumlah pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Wairii, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Para pemulung ini mengaku tetap beraktivitas sama seperti biasa.

Bahkan, tak sedikit dari mereka mangaku khawatir dengan adanya Covid-19 dari sampah yang dipungut dari berbagai tempat. Namun, mereka harus tetap melakukannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dengan menggunakan pakaian dan masker yang lusuh. Meskipun tidak layak untuk kesehatan, namun setidaknya mampu menahan debu dan mengikuti protokoler kesehatan

Wisrance (36) ini sudah menjadi pemulung selama 18 tahun. Menurutnya menjadi pemulung bukanlah impian masa kecil tapi keadaan yang memaksa.

Hanya berpendidikan Sekolah Dasar dirinya tidak bisa mencari pekerjaan lain, menjadi pemulung yang penting bisa memenuhi kebutuhan hidup dan membiayai pendidikan anak.

"Mau kerja apa, saya tidak berpendidikan. Dulu kecil ingin sekolah tetapi tidak bisa, ya terpaksa jadi pemulung sampah. Intinya halal," ungkap Wisrance kepada Liputan6.com, Senin (8/6/2020).

Warga Watuwoga, Desa Persiapan Waturia, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka ini sudah sejak tahun 2002 bersandar hidup dari gundukan sampah di TPA Wairii.

Ibu dua anak ini mengaku sampah menjadi teman akrab. Mulai dari yang bau busuk yang menusuk hidung, dan barang bekas sejenis sampah lainnya, menjadi tempat untuk bisa bertahan hidup.

"Sudah biasa hidup seperti ini, sampah menjadi tempat kami untuk mengais rejeki," sebutnya.

Di TPA Wairii, ada puluhan orang yang menggantungkan hidup dengan memilih sampah bekas botol plastik, besi, aluminium dan tembaga untuk dikumpul dan dijual kembali ke pengepul.

Menjadi pemulung memang sangat sulit di tengah gempuran Covid-19. Dampak ekonomi dari pandemi Covid-19, baginya sangat terasa. Ia mengakui sebelum pandemi, penghasilan tiap hari walau pas-pasan namun tidak separah saat ini.

"Betul-betul parah. Yang saya peroleh tiap hari selama wabah ini cuman Rp20 ribu hingga Rp.50 ribu dalam seminggu dari hasil timbangan sampah yang kami kumpul seminggu. Uang itu langsung digunakan untuk beli beras. Kadang juga pulang dengan tangan hampa," ujarnya.

Hal ini terjadi karena aktivitas kapal laut tidak beroperasi, membuat para pengepul belum mau membeli barang-barang rongsokan.

"Kami pemulung hanya memilah dari tumpukan sampah dan hanya sebatas masukan di karung dan menyimpannya di gubuk. Tapi kapan pengepul datang beli kami pun belum tahu. Sementara tuntutan hidup tiap hari, mau bagaimana," ketusnya.

Hingga saat ini, ia mengaku belum pernah menerima bantuan dari pemerintah.

"Kami memang warga kurang mampu dan terdata di desa tapi sampai saat ini kami belum pernah terima bantuan. Pernah juga dipanggil pihak desa, tetapi saat ini belum terima bantuan," pungkasnya.

Simak juga video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya