Indonesia Paling Sering Dituduh Gunakan Trade Remedies di Perdagangan Internasional

Terdapat 10 besar negara yang sering menuduh Indonesia melakukan instrumen trade remedi, antara lain India 54 kasus dan Amerika Serikat 37 kasus.

oleh Tira Santia diperbarui 08 Jun 2020, 13:10 WIB
Tumpukan peti barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Ekspor dan impor masing-masing anjlok 18,82 persen dan ‎27,26 persen pada momen puasa dan Lebaran pada bulan keenam ini dibanding Mei 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Menurut data global penggunaan instrumen anti dumping dari tahun 2014-2019 atau lima tahun terakhir, terdapat peningkatan sebesar 36 persen dalam pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMPT), dan Bea Masuk Imbalan (BMI) secara global.

“Di mana dari 182 kasus  di tahun 2013 menjadi 244 kasus di tahun 2018-2019. Tindakan trade remedi yang dilakukan Indonesia sejak tahun 1995-2019 tercatat sebanyak 84 kasus atau kurang 2 persen dari pengenaan trade remedi secara global,”  kata Plt. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Srie Agustina, dalam web seminar (webinar) “Trade Remedi di Masa Pandemi: Peluang dan Tantangan”, Senin (8/6/2020).

Lebih lanjut Srie, mengatakan terdapat sepuluh besar negara yang sering menuduh Indonesia melakukan instrumen trade remedi, yakni India 54 kasus, Amerika Serikat 37 kasus, Uni Eropa 37 kasus, Australia 28 kasus, Turki 23 kasusu, Malaysia 19 kasus, Filipina 15 kasus, Afrika selatan 14 kasus, Brazil 11 kasus, dan lainnya 90 kasus.

Untuk produk ekspor Indonesia yang rentan mengalami tuduhan selama ini adalah produk baja 63 kasus, tekstil 55 kasus, produk kimia 50 kasus, produk mineral 37 kasus, dan produk kayu 52 kasus.

“Untuk anti dumping sejak berdirinya WTO sampai dengan 2019 Indonesia tercatat berada di peringkat ke-8 negara yang paling sering menjadi target dalam penyelidikan dan penerapan anti dumping measure di dunia,” katanya.

Menurutnya, dari 212 jumlah inisiasi penyelidikan anti dumping sejumlah 140 kasus atau sekitar 66 persen dari inisiasi berkahir pada pengenaan BMAD, dengan kata lain tuduhan anti dumping tersebut yang berhasil dipaparkan di tengah jalan dalam proses penyelidikannya adalah 34 persen.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Tuduhan Terhadap Indonesia

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (25/10). Kebijakan ISRM diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelayanan dan efektifitas pengawasan dalam proses ekspor-impor. (Liputan6.com/Immaniel Antonius)

Selain itu, Srie menyebutkan negara-negara di dunia yang sering menjadi target pengenaan BMAD China 1008 kasus, Korea 283 kasus, Taipe 210 kasus, Amerika Serikat 189 kasus, Jepang 164 kasus, Thailand 161 kasus, India 144 kasus, dan Indonesia 140 kasus.

“Melihat ini kita mengambil sisi positifnya saja, karena Indonesia juga dipandang sebagai kekuatan setara dengan negara-negara industri  dunia tersebut, karena Indonesia sendiri emnduduki peringkat ke-8,” ujarnya.

Sementara itu, untuk tuduhan anti subsidi Indonesia menduduki peringkat ke-4 sebagai negara yang paling sering menjadi objek tuduhan anti subsidi, dan negara ke-7 terbesar dunia  yang paling sering digunakan BMI setelah China, India, Korea, Uni Eropa, Brazil dan Italia.

“Kita perlu waspada karena tuduhan subsidi melibatkan pemerintah yang dianggap memberikan subsidi secara tidak sah  kepada pelaku ekspor, sehingga produk ekspor yang dihasilkan bersaing dengan pasar dunia dengan harga murah  yang tidak wajar , dan mendistorsi harga  pasar,” ujarnya.

Namun ternyata tidak semua penyelidikan anti subsidi berakhir pada pengenaan atau ahnya 58 persen saja yang berakhir pada pengenaan Bea Masuk Imbalan, sisanya bisa ditangkal. Tentunya setelah kita melakukan pembelaan bersama secara efektif dan terkoordinasi.   

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya