Faisal Basri Ramal Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2020 hanya 0,5 Persen

Faisal Basri memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia paling parah hingga sentuh negatif 2,5 persen di 2020

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 24 Apr 2020, 15:30 WIB
Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Faisal Basri saat konferensi pers di Jakarta, Minggu (21/12/2014). (Liputan6.com/herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom senior Faisal Basri memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini bisa mencapai -2,5 persen. Prediksi itu sejalan dengan perkiraan bank dunia, dimana pertumbuhan ekonomi global diramal berada pada kisaran -0,3 persen akibat perang melawan virus corona (Covid-19).

Sementara dalam skenario optimis, ia menyebutkan, pertumbuhan ekonomi tertinggi yang bisa diperoleh hanya 0,5 persen.

"Saya menduga ekonomi Indonesia kemungkinan akan tumbuh hanya 0,5 persen paling optimis. Pesimisnya ya -2 sampai -2,5 persen," ujar dia dalam sesi bincang online bersama Katadata, Jumat (24/4/2020).

Prediksi tersebut dilontarkan dengan memakai berbagai indikator. Seperti lambatnya langkah pemerintah dalam penanganan pandemi virus corona.

"Sebetulnya kita amat sulit memprediksi Indonesia, karena penanganan covid-19 nya enggak karu-karuan," sambung dia.

 

2 dari 2 halaman

Tak Banyak Modal

Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi, Faisal Basri, menjelaskan status Pertamina Trading Energy Limited (Petral) saat berkunjung ke Liputan6.com, Jakarta, Selasa (6/1/2015). (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Faisal sangat menyayangkan kondisi seperti ini terjadi, sebab Indonesia disebutnya tak punya banyak modal untuk menopang ekonomi pada masa pasca krisis ini.

"Kita tidak punya kemampuan untuk mem-back up ekonomi kita supaya tidak turun terlalu tajam. Karena kita tidak punya kemewahan seperti yang dimiliki Amerika, menggelontorkan dana untuk insentif kemarin USD 484 miliar. Total stimulus USD 2,3 triliun, belum USD triliun digelontorkan The Fed untuk meningkatkan stimulus likuiditas," tuturnya.

Hal berikut yang ia kritik yakni terkait paket stimulus melawan corona sebesar Rp 405,1 triliun. Berdasarkan data perubahan APBN 2020, anggaran belanja negara naik Rp 73,4 triliun.

"Jangan dilihat defisit APBN pemerintah yang naik 5,8 itu sebagai suatu stimulus. Bukan. Defisit 5,8 itu lebih disebabkan karena penerimaannya anjlok. Jadi peningkatan belanja itu cuman Rp 73,4 triliun. Penerimaan negaranya anjlok Rp 472 triliun. Jadi praktis tidak ada stimulus sebetulnya kalau dilihat dari magnitude tambahan dari APBN itu," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya