Gusti Kanjeng Ratu Hemas Ungkap Tantangan Pelestarian Kain Tradisional

Di samping, Gusti Kanjeng Ratu Hemas menjabarkan apa saja komponen tak kalah penting dalam mendukung para pengrajin kain tradisional.

oleh Asnida Riani diperbarui 10 Nov 2019, 07:00 WIB
Pembukaan Simposium Kain Tradisional ASEAN 2019 di Royal Ambarrukmo, Yogyakarta, 5 November 2019. (Liputan6.com/Asnida Riani). (Liputan6.com/Asnida Riani)

Liputan6.com, Yogyakarta - Dinamika zaman, tak dapat dipungkiri, memberi sedikit-banyak dampak pada eksistensi kain tradisional dari segala penjuru Indonesia. Tantangan pelestarian ini sempat diceritakan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas.

Ia menilai, ketersediaan bahan baku menjelma jadi urgensi dalam upaya perpanjangan usia wastra dalam negeri. "Perubahan (bahan baku) secara signifikan terjadi. Jadi, mau-tidak mau memang harus dikembangkan," tuturnya di Yogyakarta, Selasa, 5 November 2019.

Karenanya, peran pemerintah dalam memastikan pengadaan bahan baku kain tradisional dinilai penting. Di samping, beberapa komponen lain juga tak boleh luput dari radar untuk mendukung para pengrajin lokal.

"Misal, malam untuk pembuatan baik, ada terusnya pewarna alami, semua harus diperhatikan," sambung GKR Hemas.

Tersedianya berbagai kebutuhan yang diperlukan, kata Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, nantinya akan mendukung pengrajin dalam meningkatkan kualitas kain tradisional asal Indonesia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Merangkul Perubahan, Menghormati Tradisi

Pengrajin tengah membatik di Wastra Expo Simposium Kain Tradisional ASEAN 2019 di Royal Ambarrukmo, Yogyakarta, 5 November 2019. (Liputan6.com/Asnida Riani)

Masih dalam semangat mempertahankan eksistensi kain tradisional Indonesia, Gusti Putri Paku Alam mengatakan, misi tersebut selaras dengan tema Simposium Kain Tradisional ASEAN 2019, yakni Merangkul Perubahan, Menghormati Tradisi.

"Karena kenyataannya kita memang tak bisa menyetop perubahan." katanya di kesempatan yang sama. Maka itu, bagaimana akhirnya wastra bisa lebih dicintai sehingga otomatis tertuang di tengah lusinan perubahan.

"Triknya menurut saya di corak. Harus punya napas kekinian supaya anak muda bisa pakai dan tidak merasa jadul. Batik, tenun, dan lurik saya pikir sudah mulai mengikuti zaman," paparnya.

"Soal batik print, saya pikir tidak bisa disetop begitu saja. Upaya terbaiknya adalah mengedukasi pasar. Batik itu apa, nilai apa yang dibawa, dampak panjangnya bagaimana," sambung Gusti Putri Paku Alam.

Di samping, beliau optimis, dengan pendapatan sekarang makin banyak anak muda mampu membeli batik, baik cap maupun tulis. "Di Yogyakarta sendiri, batik cap kan Rp40 ribu--Rp50 ribu, saya pikir, anak sekarang sudah mampu (beli)," tandasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya