Impor Gula Naik Tajam pada Februari 2019

Pada Februari 2019, impor gula tercatat sebesar 384 ribu ton dengan nilai USD 128 juta.

oleh Septian Deny diperbarui 15 Mar 2019, 13:17 WIB
Ilustrasi Foto Gula Pasir (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor gula dan kembang gula mengalami kenaikan yang signifikan pada Februari 2019, jika dibandingkan bulan sebelumnya.

Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan, di antara komoditas nonmigas lain, impor gula dan kembang gula meningkat paling besar pada Februari 2018, yaitu 216,99 persen atau senilai USD 100,9 juta.

Pada Januari 2019, impor gula dan kembang gula sebesar 59 ribu ton dengan nilai USD 19 juta. Sedangkan Februari 2019, impor gula tercatat sebesar 384 ribu ton dengan nilai USD 128 juta.

"Golongan gula dan kembang gula mengalami peningkatan terbesar," ujar dia di Kantor BPS, Jakarta, Jumat (15/3/2019).

Berdasarkan data BPS, sejak 2008, impor gula memang cenderung mengalami kenaikan. Pada 2008, impor gula Indonesia sebesar 1,01 juta ton dengan nilai USD 366 juta, pada 2009 sebanyak 1,37 juta ton dengan nilai USD 568 juta, pada 2010 sebanyak 1,78 juta ton dengan nilai USD 1,11 miliar, 

Kemudian pada 2011 sebanyak 2,5 juta ton dengan nilai USD 1,73 miliar, pada 2012 sebanyak 2,76 juta ton dengan nilai USD 1,63 miliar, pada 2013 sebanyak 3,34 juta ton dengan nilai USD 1,73 miliar, pada 2014 sebanyak 2,96 juta ton dengan nilai USD 1,32 miliar, pada 2015 sebanyak 3,37 juta ton dengan nilai USD 1,25 miliar.

Pada 2016 sebanyak 4,76 juta ton dengan nilai USD 2,09 miliar, pada 2017 sebanyak 4,48 juta ton dengan nilai USD 2,07 miliar, pada 2018 sebanyak 5,02 juta ton dengan nilai USD 1,79 miliar dan pada 2019 hingga Februari sebanyak 444 ribu ton dengan nilai USD 147 juta.

 

2 dari 2 halaman

Sejahterakan Petani Tebu, Pemerintah Kaji Kenaikan Harga Gula

Aktivitas petani tebu di Desa Betet, Pesantren, Kediri, Jatim pada akhir September lalu. Petani tebu menuntut pemerintah segera menghentikan impor gula karena menyebabkan gula lokal tidak laku sehingga merugikan mereka. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sebelumnya, Pemerintah bersama Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani tebu Rakyat (DPP APTRI) sepakat akan mengkaji usulan kenaikan Harga Pembelian Pokok (HPP) gula dengan Tim Independen.

Diharapkan, dalam waktu dekat akan ada keputusan mengenai HPP yang bisa diterima masyarakat tetapi di sisi lain tidak merugikan petani tebu.

"Kami membahas langkah-langkah ke depan bagaimana petani bisa untung tapi konsumen juga tersenyum. Kami melihat nanti HPP-nya seperti apa, kami akan bahas bersama dengan tim yang independen," kata Amran dikutip dari laman Setkab, Rabu 6 Maret 2019.

Intinya, lanjut Amran, bagaimana pemerintah membuat petani untung tapi konsumennya juga merasa terlindungi dan tidak terbebani. Saat ditanya mengenai deadline keputusan soal HPP itu, Amran menegaskan, dalam beberapa hari.

Saat ini HPP Gula sebesar Rp 9.700 per kilogram(kg) dinilai terlalu rendah di pasaran. Untuk mengimbangi biaya pokok produksi, DPP APTRI meminta agar harga ini ditinjau kembali.

Sementara itu Ketua Dewan Pembina APTRI, Arum Sabil, mengemukakan bahwa pertanian tebu khususnya industri gula di dalam negeri yang berbasis tebu dari rakyat itu tidak mengalami kenaikan yang siginifikan, karena pertanian tebu hampir tidak punya nilai ekonomi.

“Kenapa tidak mempunyai nilai ekonomi, karena rata-rata harga gula petani kadang-kadang hampir menyentuh di bawah biaya produksi, bahkan sudah di bawah biaya produksi,” kata Arum.

Untuk itu, agar semangat menanam tebu dan industri gula di dalam negeri ini bisa tumbuh dan berkembang, harus memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu, APTRI mengusulkan agar pemerintah segera menetapkan kebijakan pembelian gula petani.

“Tata niaga gula ini seperti apa. H-3 bulan sebelum petani panen atau pabrik gula giling, itu harus sudah ditetapkan karena kita butuh kepastian dan perencanaan,” ujar Arum.

Saat ini HPP Gula sebesar Rp 9.700 per kilogram(kg) dinilai terlalu rendah di pasaran. Untuk mengimbangi biaya pokok produksi, DPP APTRI meminta agar harga ini ditinjau kembali.

Sementara itu Ketua Dewan Pembina APTRI, Arum Sabil, mengemukakan bahwa pertanian tebu khususnya industri gula di dalam negeri yang berbasis tebu dari rakyat itu tidak mengalami kenaikan yang siginifikan, karena pertanian tebu hampir tidak punya nilai ekonomi.

“Kenapa tidak mempunyai nilai ekonomi, karena rata-rata harga gula petani kadang-kadang hampir menyentuh di bawah biaya produksi, bahkan sudah di bawah biaya produksi,” kata Arum.

Untuk itu, agar semangat menanam tebu dan industri gula di dalam negeri ini bisa tumbuh dan berkembang, harus memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu, APTRI mengusulkan agar pemerintah segera menetapkan kebijakan pembelian gula petani.

“Tata niaga gula ini seperti apa. H-3 bulan sebelum petani panen atau pabrik gula giling, itu harus sudah ditetapkan karena kita butuh kepastian dan perencanaan,” ujar Arum.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya