4 Teknologi Bangunan Antigempa yang Diciptakan oleh Ilmuwan Dunia

Di luar negeri, untuk mengantisipasi gempa, pemerintah menerapkan sejumlah prinsip dalam prosedur membangun bangunan.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 01 Okt 2018, 20:40 WIB
Petugas membersihkan puing-puing dari hotel Roa Roa yang runtuh di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10). Jumlah korban tewas akibat gempa dan tsunami yang melanda Palu dan Donggala diperkirakan akan meningkat. (JEWEL SAMAD/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Gempa Donggala dan tsunami di Palu telah menyisakan luka perih bagi warga setempat dan juga suluruh Indonesia. Sebab, belum lama setelah gempa menerpa Lombok, kini bencana kembali datang di Pulau Sulawesi.

Ribuan warga jadi sasaran. Mulai dari yang meninggal dunia hingga luka-luka. Sebagai negara kepulauan, Indonesia termasuk sebagai kawasan rawan bencana.

Oleh karenanya, edukasi soal antisipasi bencana seperti gempa dan tsunami perlu dimiliki oleh masing-masing individu. Selain itu, pemerintah harus semakin tegas dalam peraturan pembangunan sebuah bangunan.

Sebab, hal ini sangatlah penting mengingat banyak kawasan di Nusantara yang selalu mengalami gempa. Di luar negeri, untuk mengantisipasi gempa, pemerintah menerapkan sejumlah prinsip dalam prosedur membangun bangunan.

Seperti dikutip dari laman Science.howstuffworks.com, Senin (1/10/2018), berikut 4 prinsip fondasi anti gempa:

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

2 dari 5 halaman

1. The Levitating Foundation

Kondisi pantai di dekat Swiss Bel Hotel Silae usai Gempa Palu (foto: Imron Hasbullah)

Sejumlah insinyur dan seismolog telah memilih isolasi dasar selama bertahun-tahun sebagai sarana untuk melindungi bangunan saat gempa bumi terjadi.

Seperti namanya, konsep levitating foundation (pondasi yang melayang) bergantung pada pemisahan substruktur bangunan dari suprastrukturnya.

Salah satu prinsipnya adalah bangunan melayang di atas fondasi dan bantalan karet timbal, yang mengandung inti timah padat yang dibungkus dalam lapisan karet dan baja.

Pelat baja kemudian menempelkan bantalan ke bangunan dan fondasinya. Kemudian, ketika terjadi gempa bumi, pondasinya bergerak tanpa memindahkan struktur di atasnya.

3 dari 5 halaman

2. Shock Absorbers

Pandangan udara memperlihatkan sejumlah bangunan rusak usai dilanda gempa dan tsunami Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10). Gempa berkekuatan 7,4 Magnitudo disusul tsunami melanda Palu dan Donggala pada 28 September 2018. (JEWEL SAMAD/AFP)

Teknologi lain soal bangun antigempa terinspirasi dari industri otomotif. Shock Absorbers atau peredam kejut yang ada apa kendaraan bermotor dapat mengontrol genjotan akibat permukaan tanah yang tidak datar.

Peran peredam kejut inilah yang diadaptasi dengan maksud ketika gempa bumi terjadi bangunan bisa tetap tahan meski harus bergoyang.

Peredam kejut memperlambat dan mengurangi besarnya gerakan getaran dengan memutar energi kinetik dari suspensi memantul Anda menjadi energi panas yang dapat didisipasikan melalui cairan hidrolik.

Dalam fisika, ini dikenal sebagai redaman, itulah sebabnya mengapa beberapa orang menyebut peredam kejut sebagai peredam.

Peredam dapat berguna saat mendesain bangunan tahan gempa. Insinyur umumnya menempatkan peredam di setiap tingkat bangunan, dengan satu ujung melekat pada kolom dan ujung lainnya melekat pada balok.

4 dari 5 halaman

3. Pendulum Power

Pandangan udara memperlihatkan sebuah jembatan runtuh usai dilanda gempa dan tsunami Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10). Jumlah korban tewas akibat gempa dan tsunami Palu dan Donggala menjadi 832. (JEWEL SAMAD/AFP)

Solusi lain yang bisa digunakan pada sebuah bangunan, terutama pencakar langit agar tahan gempa, adalah dengan menerapkan prinsip kekuatan pendulum (Pendulum Power).

Prinsip ini akan menggunakan kabel baja yang mendukung massa serta cairan peredam di antara massa dan bangunan.

Apabila gempa bumi terjadi, pendulum akan bergerak ke arah yang berlawanan dan menghamburkan getaran gempa. Teknologi pendulum ini didesain untuk melawan resonansi dan meminimalkan respons dinamis dari struktur bangunan.

5 dari 5 halaman

4. Replaceable Fuses (Sekring)

Pengendara sepeda motor melewati perahu dan rerntuhan bangunan usai gempa dan tsunami melanda Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10). Pihak berwenang tengah menyiapkan kuburan massal untuk memakamkan ratusan korban tewas. (JEWEL SAMAD/AFP)

Siapa menyangka, konsep sekring pada listik juga bisa diadaptasi untuk menahan gempa pada sebuah bangunan.

Peneliti dari Stanford University dan University of Illinois melakukan sebuah eksperimen soal prinsip sekring tersebut.

Mereka menggunakan kabel vertikal yang mampu menjangkau bagian atas setiap gedung dan membatasi goyangan gempa.

Bukan itu saja, kabel vertikal itu memiliki kemampuan untuk menarik kembali struktur bangunan hingga tegak ketika goncangan sudah mulai berhenti.

Besi dari sekring tersebut rupanya mampu menyerap energi seismik sebagai batuan bangunan dan dapat diganti relatif cepat.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya