Pekan Depan, Matahari Bakal Lebih Terik di Indonesia

Dampak dari Hari Tanpa Bayangan, kabarnya Matahari bakal lebih terik di Indonesia. Apa benar?

oleh Jeko I. R. diperbarui 18 Mar 2018, 20:00 WIB
Pengunjung mengangkat tangan mereka untuk menerima energi matahari saat equinox musim semi di situs arkeologi Teotihuacan, Meksiko (21/3). Ritual ini dipercaya bisa mengalirkan energi positif serta mengusir roh jahat. (AP Photo/Rebecca Blackwell)

Liputan6.com, Jakarta - Hari Tanpa Bayangan yang bakal terjadi pada Rabu, 21 Maret 2018, akan memiliki dampak terhadap perubahan cuaca di Indonesia.

Menurut keterangan Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dampak yang dimaksud adalah saat Matahari berada tepat di atas garis ekuator (khatulistiwa), akan memberikan suhu yang lebih panas di siang hari.

"Nanti Matahari pasti akan melintas di atas kepala. Dampaknya akan memberikan Solstice (titik balik Matahari). Matahari pasti akan lebih terik pada periode tersebut," Pusat Sains Antariksa LAPAN Rhorom Priyatikanto kepada Tekno Liputan6.com, Minggu (18/3/2018).

Untuk informasi, Solstice adalah titik balik Matahari ketika Matahari berada di titik paling utara atau paling selatan.

Solstice, dengan demikian, juga bisa dibilang sebagai penadna puncak musim dingin atau panas. Dalam hal ini, Hari Tanpa Bayangan menandakan perubahan musim di Indonesia.

2 dari 3 halaman

Apa Itu Hari Tanpa Bayangan?

Pengunjung mengangkat tangan mereka yang membentuk segitiga saat merayakan equinox musim semi di situs arkeologi Teotihuacan, Meksiko (21/3). Tradisi Equinox ditandai dengan posisi matahari yang bersinar vertikal. (AP Photo/Rebecca Blackwell)

Perlu dicatat, tidak semua wilayah di Indonesia akan kehilangan bayangan pada 21 Maret nanti. Pasalnya, Matahari akan ada di garis khatulistiwa dan tentu cuma beberapa tempat di Indonesia yang dilewati garis tersebut.

"Peristiwa ini disebut hari nir bayangan atau Hari Tanpa Bayangan. Kejadiannya bisa dua kali setahun. Kalau tahun ini 21 Maret dan 23 September 2018," ujar Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jasyanto, dalam keterangan tertulis yang Tekno Liputan6.com kutip pada Jumat (16/3/2018).

Jasyanto menjelaskan, peristiwa tersebut bisa terjadi lantaran Bumi mengitari Matahari pada jarak 150 juta kilometer dalam periode 365 hari. Garis edar Bumi yang berbentuk lonjong, membuatnya bergerak lebih cepat dan kadang bisa bergerak lebih lambat.

Sementara, bidang edar dari Bumi disebut sebagai bidang ekliptika. Bidangnya miring 23,4 derajat ke bidang ekuator.

Dengan demikian, Matahari akan tampak di atas belahan Bumi selatan selama sekitar setengah tahun, dan akan berada di atas belahan Bumi selatan dalam setengah tahun sisanya.

"Perubahan posisi tampak Matahari ini menyebabkan perubahan musim, misalnya empat musim di wilayah subtropis dan musim kering-basah di Indonesia," paparnya.

3 dari 3 halaman

Vernal Equinox

Tak hanya equinox, fenomena alam kulminasi matahari yang menyebabkan bayangan menghilang juga terjadi di Tugu Khatulistiwa. (Liputan6.com/Raden AMP)

LAPAN sendiri mengungkap kalau pada 20 Maret 2018 nanti, tepatnya pukul 23.15, Matahari akan berada di atas ekuator.

Secara ilmiah, peristiwa tersebut disebut dengan julukan Vernal Equinox (vernus yang artinya musim semi, equus yang artiya sama, dan noct yang artinya malam). Pasalnya, pada hari itu, durasi siang dan malam di seluruh dunia akan berjalan sama, yakni 12 jam.

Wilayah ekuator Indonesia misalnya di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Matahari nanti akan berada di atas kepala di siang hari, sehingga tugu tegak akan jelas terlihat tanpa bayangan.

Dan pada 21 Maret 2018, Matahari akan mencapai titik puncak pada pukul 11.50 WIB. Titik tersebut dinamai titik kulminasi.

Setelahnya, Matahari akan turun hingga terbenam di titik berat pada enam jam kemudian. Jasyanto meyakini, peristiwa ini akan kembali terjadi pada Autumnal Equinox pada 23 September 2018.

(Jek/Ysl)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya