Nelayan Minta Pemerintah Perbaiki Tata Kelola Garam

KNTI menyebut, krisis garam nasional terjadi secara berulang setiap tahunnya yang bermula dari tata kelola yang buruk dari komoditas garam

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 28 Jul 2017, 16:40 WIB
Aksi petani Madura menjual cepat garam produksinya sekaligus untuk mengantisipasi perubahan harga mendadak. (Liputan6.com/Mohamad Fahrul)

Liputan6.com, Jakarta Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta pemerintah untuk segera memperbaiki tata kelola garam nasional dari tingkat hulu hingga hilir. Pasalnya, persoalan krisis garam akibat dampak cuaca ekstrem seharusnya dapat diprediksi dengan cara yang inovatif.

KNTI menyebut, krisis garam nasional terjadi secara berulang setiap tahunnya yang bermula dari tata kelola yang buruk dari komoditas garam. Merujuk data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada lima tahun (2011-2015), luas lahan tambak garam rakyat menunjukkan peningkatan rata-rata 1,98 persen setiap tahunnya. Namun, produktivitas mengalami penurunan dari 89,72 ton per hektare menjadi 84,20 ton per hektare.

"Gejala ini semestinya menjadi perhatian serius dari pemerintah, namun fakta menunjukkan praktik importasi menjadi pilihan pertama, tanpa ada upaya akselerasi kualitas garam dari tambak rakyat. Sehingga, kualitas garam yang diproduksi oleh rakyat tidak pernah akan mampu memenuhi kebutuhan garam untuk industri yang selalu mengalami kekurangan pasokan," kata Wasekjen KNTI Niko Amrullah dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (28/07/2017).

KNTI mengusulkan sekurangnya empat solusi inovatif yang dapat dilakukan. Pertama, penguatan kelembagaan ekonomi petambak garam dengan peningkatan kapasitas pengelolaan. Kelembagaan yang dibentuk pemerintah dalam mengurus garam diminta bersinergi dengan tata kelola lokal masyarakat yang telah ada, dan dapat diperkuat dengan keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).

Kedua, penguatan kapasitas modal dan kapabilitas pengelolaan modal petambak garam rakyat. Untuk hal ini harus ada pendampingan intensif kepada petambak yang disesuaikan dengan standar garam industri.
 
Ketiga, penguatan modal sosial dari masyarakat. Ini terbukti mampu menjaga ritme produksi karena rasa saling memiliki memunculkan etos kerja yang tinggi demi kemakmuran bersama. Budaya lokal ini menjadi pilar penting guna menyukseskan agenda-agenda besar dari pemerintah.

Keempat, penerapan teknologi tepat guna menjadi keharusan agar proses produksi dapat lebih adaptif terhadap perubahan iklim.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya