KOLOM BAHASA: Esa dan Eka, Apa Bedanya?

“Esa” dan “eka” jamak digunakan dan dipahami luas oleh penutur bahasa Indonesia dalam beragam konteks situasi.

oleh Hotnida Novita Sary diperbarui 01 Apr 2017, 09:00 WIB
Kolom Bahasa Liputan6.com (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - “Esa” dan “eka” ada dan tampaknya tidak ada masalah dalam dua kata ini. Keduanya jamak digunakan dan dipahami luas oleh penutur bahasa Indonesia. Keduanya menyatakan ‘satu, tunggal’ (Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 5 versi daring). Namun, keduanya berbeda ketika dilihat dalam aspek morfologisnya.

“Eka“ seperti yang kita tahu adalah bentuk terikat alias tidak dapat berdiri mandiri sebagai satu kata dan ditulis serangkai dengan kata yang mengukutinya. Misalnya, ekabahasa (‘hanya memahami dan menggunakan satu bahasa; bersifat monolingual’) dan ekakarsa (‘satu kehendak; satu niat’).

Uniknya, “esa” bukanlah bentuk terikat. Dalam KBBI edisi 5 versi daring, "esa" dikategorikan dalam kelas kata numeralia (bilangan). Sebagai numeralia, “esa” pun dapat dibubuhi afiksasi. Misalnya, keesaan (‘sifat yang satu’) dan mengesakan (‘menjadikan (menganggap) satu’).
Lalu, benarkah “esa” dan “eka” sama-sama bermakna satu? Mari kita lihat etimologinya.

Bahasa Indonesia menyerap “eka” dari bahasa Sansekerta. Dalam Sanskrit Loan Words in Indonesian (1997) karya JG de Casparis, "eka" bermakna ‘satu’. Dalam sumber yang lain, kamus klasik Sanskrit-English Disctionary (M Monier-Williams, 1909), “eka” bermakna ‘satu, sendiri, tersendiri, single, dan terjadi sekali'.

Sama seperti "eka", “esa” berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam Sanskrit Loan Words in Indonesian (1997) karya JG de Casparis, "esa" bermakna 'satu, hanya satu (one, only)'. Mengacu pada Sanskrit-English Disctionary (yang dikutip de Casparis), “esa” juga mengacu pada ‘Tuhan' (lord). Di sumber lain, Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Purwadarminta juga memaknai esa sebagai ‘tunggal, satu’.

Meski sama-sama bermakna ‘satu’, “eka” dan “esa” setidaknya digunakan dalam konteks yang berbeda. “Esa” digunakan untuk segala sesuatu yang menunjuk pada Tuhan. Misalnya, seperti yang tertulis dalam sila pertama Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa, atau dalam frasa keesaan Tuhan. Sejauh ini, sangat jarang ditemukan penggunaan kata “esa” tidak dalam konteks ketuhanan.

Ini berbeda dengan “eka” yang cenderung lebih jamak dan longgar digunakan dalam pelbagai situasi dan konteks. Seperti, ekabahasa, ekawarna, ekafungsi, dan ekasuku. "Eka-" sebagai kata bilangan juga memiliki numeralia sejenis lain, seperti dwi-, tri-, dan sebagainya.

Kalau “eka” terdapat bentuk jamak, “esa” tidak punya bentuk jamak. Mungkin ini terkait dalam konteks “tuhan”, dan tidak ada bentuk jamak untuk itu. "Esa" adalah satu, tunggal. Namun, seperti yang kita tahu, satu tidaklah sama dengan tunggal.

Satu adalah angka, bilangan; sementara tunggal adalah satu-satunya (numeralia), bukan jamak (ajektiva), dan utuh (ajektiva) (KBBI edisi 5 versi daring).

Sepertinya kata “esa” lebih membutuhkan pendekatan konseptual, dibanding pendekatan numerik. Kita ambil contoh, ketika dinyatakan bahwa Tuhan itu satu, bagaimana kita menjelaskan definisi satu tersebut? Apakah satu itu dua minus satu, nol plus satu, empat minus tiga? Namun, akan lebih mudah bila kita menyebut Tuhan itu tunggal (esa). Mengapa?

Karena konsep tunggal yang tidak hanya berupa angka (satu), tapi juga memiliki sifat dan konsep kesatuan yang utuh. Mungkin saja itu sebabnya bahasa Indonesia tidak mengenal istilah untuk sesuatu yang tidak tunggal.

Ini berbeda dengan “eka” (seperti yang diungkapkan sebelumnya) terdapat kata dwi- dan tri-. Mungkin ini dapat menjadi masukan kecil bagi Badan Bahasa, dengan menambahkan keterangan tambahan kelas kata sifat atau ajektiva dalam entri “esa” di KBBI. “Esa” tidak hanya dapat dipahami sebagai sebuah angka atau bilangan, tapi sebuah sifat yang satu, utuh, tidak ada duanya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya