Jokowi Kaget, 85% Pejabat Pemerintah Tak Bisa Jamin Anti Korupsi

Jokowi berpesan kepada BPKP untuk dapat memperkecil angka aparat pengawas yang tidak dapat menjamin GCG dalam 3 tahun.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 13 Mei 2015, 15:39 WIB
Presiden Joko Widodo saat berjabat tangan dengan Ardan Adiperdana, yang telah dilantik sebagai Kepala BPKP, di Istana Negara, Jumat (13/3/2015). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkejut ketika mendapat laporan dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengenai hasil audit mengenai pengawasan intern aparat pemerintahan. Dalam hasil audit tersebut, 85 persen aparat pengawasan intern di level I tidak dapat menjamin tata kelola pemerintahan yang lebih baik.

"‎Saya kaget sekali dapat laporan ini, artinya aparat pengawasan intern belum dapat memberikan jaminan tata kelola pemerintahan yang baik dalam hal pencegahan korupsi," kata Jokowi di kantor BPKP, Jakarta, Rabu (13/5/2015). Sementara untuk level II dilaporkan hasilnya mencatatkan angka 14 persen, sedangkan untuk aparat intern di level III tercatat sebesar 1 persen.

‎"Itu dimana? Itu ada di Kementerian, pemerintah daerah, inspektorat daerah serta para jajarannya, kalau angka ini benar memang kita harus kerja keras," tegas Jokowi. Dihadapan para Gubernur, Wakil Gubernur dan b‎eberapa pejabat pemerintah pusat, Jokowi berpesan kepada BPKP untuk dapat memperkecil angka tersebut dalam waktu 3 tahun ke depan.

Adapaun cara yang dapat dilakukan oleh seluruh pemerintahan baik pusat ataupun daerah dengan menerapkan sistem e-budgeting, e-katalog dan e-purchasing. Sistem tersebut dipandang bisa mengurangi praktik korupsi karena lebih transparan.

Sebelumnya, dalam penelusuran yang dilakukan oleh BPKP yang bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menemukan adanya intransparansi di 33 provinsi Indonesia. Persoalan-persoalan intransparansi tersebut hampir ada di semua sektor seperti sektor ketahanan energi, pangan, pajak, dan infrastruktur.

Hasil analisis menyatakan bahwa ternyata proses perencanaan di sektor-sektor tersebut tidak berbasis riset tentang jenis-jenis masalah rakyat. ‎Kedua, kampus-kampus, organisasi masyarakat agama di daerah juga tidak diperankan dan memerankan diri secara sistemik dalam proses penyusunan APBD. Makanya, APBD dan kebijakan-kebijakan daerah hanya ditentukan oleh kepala daerah dan DPRD.

Oleh sebab itu, wajar jika di kemudian hari banyak terjadi korupsi yang masif di daerah. Di tahun 2015 BPKP dan KPK akan meminta peran serta semua unsur-unsur masyarakat sipil untuk mengawasi proses-proses penyusunan APBD yang berbasis pada jenis-jenis kebutuhan masyarakat. (Yas/Gdn)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya