Bos Garuda Indonesia Beberkan Penyebab Rugi Rp 4,8 Triliun

PT Garuda Indonesia Tbk mencatatkan rapor merah pada laporan keuangan periode 2014.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Mar 2015, 12:39 WIB
Ilustrasi (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) mencatatkan rapor merah pada laporan keuangan periode 2014. Maskapai penerbangan pelat merah ini membukukan rugi bersih tahun berjalan US$ 371,97 juta atau setara Rp 4,8 triliun (kurs: Rp 13.115 per US$). Kinerja tersebut membalikkan perolehan keuntungan setahun sebelumnya senilai US$ 13,65 juta.

Usai menggelar Analyst Meeting di kantor Garuda Indonesia, Jakarta, Jumat (20/3/2015), Direktur Utama Garuda Indonesia, Arif Wibowo mengungkapkan penyebab kerugian tersebut, diantaranya akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).  

"Pertama, faktor eksternal yang kuat sekali dan kedua, karena investasi jor-joran yang dilakukan Garuda untuk menjadi pemain global," kata dia.

Lebih jauh dijelaskannya, Garuda Indonesia telah mendatangkan 34 pesawat sepanjang tahun lalu. Termasuk untuk anak usaha emiten berkode GIAA itu, Citilink.

Pasalnya induk dan sayap usaha Badan Usaha Milik Negara tersebut sedang tumbuh dan mempersiapkan diri untuk menjadi pemain di kancah domestik, regional dan internasional sehingga investasi menjadi hal mutlak.

 
Penyebab lain, tambah Direktur Keuangan Garuda Indonesia Ari Askara, kinerja keuangan dipengaruhi adanya impairment loss yang dialami perusahaan sebesar US$ 113,5 juta.

"Angka itu dari proses early termination, reevaluasi aset serta investasi yang dilakukan perusahaan penerbangan Merpati Nusantara Airline dan Gapura Angkasa," jelasnya.

Guncangan hebat, sambung dia, berasal dari turbulensi di industri penerbangan akibat anjloknya kurs rupiah terhadap dolar AS serta harga bahan bakar yang sebelumnya sempat mencapai harga tertinggi. Kedua hal ini memberi tekanan luar biasa pada kinerja perusahaan penerbangan internasional, termasuk Garuda Indonesia.

"Setiap pelemahan rupiah Rp 100 per dolar AS, maka impeknya kepada biaya operasional perusahaan US$ 10 juta. Jadi impeknya sekira 15 persen," cetus Ari. (Fik/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya