Sukses

Haid saat Berhaji, Apakah Tetap Melaksanakan Wukuf?

Suci dari hadas kecil maupun besar termasuk adab dan keutamaan saat wukuf. Lantas, bagaimana hukum wukuf bagi seorang wanita yang sedang haid?

Liputan6.com, Jakarta - Wukuf merupakan puncak dari pelaksanaan ibadah haji. Ritual wukuf dilakukan dengan berdiam (hadir) di Padang Arafah mulai dari tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah atau satu hari jelang Idul Adha

Wukuf di Arafah termasuk rukun haji berdasarkan riwayat Abdurrahman al-Daili:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْحَجُّ عَرَفَاتٌ فَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ قَبْلَ أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ  

Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Haji itu adalah wukuf di Arafah, maka barang siapa yang telah melakukan wukuf di Arafah sebelum terbit fajar, maka ia sungguh telah menjalankan haji" (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan lainnya, hadis sahih).  

Sebelum melaksanakan wukuf, disunnahkan untuk mandi terlebih dahulu. Lantas bagaimanakah dengan jamaah haji perempuan yang sedang haid atau menstruasi, apakah sah dan boleh melaksanakan wukuf?

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 3 halaman

Hukum Wukuf dalam Keadaan Haid

Mengutip dari laman NU Online, ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Idlah bahwa salah satu adab wukuf adalah dilakukan dalam keadaan suci. 

Dengan demikian, wukuf yang dilakukan jamaah haji yang tengah menstruasi adalah sah, meski ia kehilangan keutamaan wukuf dalam keadaan suci. Al-Nawawi berkata:  

 اَلسَّابِعَةُ الْأَفْضَلُ أَنْ يَكُوْنَ مُسْتَقْبِلًا لِلْقِبْلَةِ مُتَطَهِّرًا سَاتِرًا عَوْرَتَهُ فَلَوْ وَقَفَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ عَلَيْهِ نَجَاسَةٌ أَوْ مَكْشُوْفَ الْعَوْرَةِ صَحَّ وُقُوْفُهُ وَفَاتَتْهُ الْفَضِيْلَةُ

Artinya: “Kesunnahan dan adab wukuf yang ketujuh. Yang lebih utama adalah menghadap kiblat, suci dari hadats dan menutupi aurat. Sehingga bila seseorang wukuf dalam keadaan berhadats, junub, haid, terkena najis atau terbuka auratnya, maka sah wukufnya dan ia kehilangan keutamaan”.

 

3 dari 3 halaman

Kondisi Haid Tidak Mencegah Keabsahan Wukuf

Berdasarkan referensi tersebut dapat dipahami bahwa kondisi menstruasi tidak mencegah keabsahan wukuf, sebab hanya berkaitan dengan keutamaan, bukan kewajiban.   

Bila memungkinkan, jamaah haji yang tengah haid tentu lebih baik menunggu sucinya selama durasi waktu wukuf masih tersedia untuk memperoleh keutamaan wukuf dalam keadaan suci.

Namun bila tidak memungkinkan, semisal dengan menunggu suci berakibat ketinggalan rombongan sehingga dapat mengancam keselamatannya, maka hendaknya ia tetap mengikuti alur pemberangkatan rombongan, meski berwukuf dalam keadaan haid, sebab menjaga keselamatan diri merupakan kewajiban, sementara wukuf dalam keadaan suci adalah kesunnahan/keutamaan.   

Kaidah fiqih menegaskan, “al-Wâjibu lâ yutraku illâ li wâjibin” (kewajiban tidak dapat ditinggalkan kecuali karena kewajiban lainnya), sebagian ulama meredaksikan dengan bunyi kaidah “al-wâjibu lâ yutraku li sunnatin” (kewajiban tidak boleh ditinggalkan karena kesunnahan).