Pemerintah Terkesan Enggan Bayar Pembebasan Satinah, Kenapa?

Menurut Direktur Perlindungan TKI dan Badan Hukum Indonesia Tatang Razak ada sesuatu yang prinsipil.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 25 Mar 2014, 07:40 WIB
Dukungan terhadap TKI Satinah, kali ini datang dari Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) Yogyakarta.

Liputan6.com, Jakarta - Satinah binti Jumadi Amad, tenaga kerja Indonesia (TKI) yang divonis mati oleh Pengadilan Buraidah, Arab Saudi, kini harus menanggung dana sebesar 7 juta riyal atau sekitar Rp 21 miliar agar terbebas dari ancaman hukuman pancung. Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri terus berupaya membebaskan Satinah dari eksekusi hukuman mati tersebut.

"Kita membantu keluarga Satinah sebagai pelaku, bagaimana pemerintah menunjukkan keberpihakan. Tapi jangan dijadikan pemerintah yang harus bayar, ini yang harus diperhatikan," kata Direktur Perlindungan TKI dan Badan Hukum Indonesia Tatang Razak di Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat, Senin (24/3/2014).

Awalnya, Sakinah telah divonis mati mutlak, hingga akhirnya mendapat qishas. Dengan penggantian uang darah (riyat), awalnya diminta 15 juta riyal hingga kini turun menjadi 7 juta riyal. Namun, kini uang untuk qishas Satinah baru terkumpul 4 juta riyal atau senilai Rp 12 miliar.

"Banyak timbul pertanyaan, apakah APBN tidak mampu. APBD saja mampu kok, persoalannya ada sesuatu yang prinsipil," tukas Tatang.

Ia pun mengingatkan bahwa pemerintah sebelumnya sudah mengupayakan 5 kali penundaan hukuman mati sejak Juli 2011, Oktober 2011, Desember 2012, Juni 2013 hingga Februari 2014.

Hingga saat ini upaya penggalangan dana dari masyarakat untuk Satinah, masih berlangsung. Pemerintah melalu anggaran Kemenlu memberi sebesar Rp 12 miliar, sumbangan dari dermawan Arab Saudi sebesar 500 ribu riyal.

Baca juga:

Pemerintah Terus Upayakan Pembebasan TKI Satinah
Rieke PDIP: Pemerintah Harus Segera Bayar Uang Diyath Satinah
Pesan TKI Satinah yang Divonis Mati kepada Anaknya

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya