Sukses

Pakar: Internet Starlink Jangan Sampai Dipakai untuk Sektor Pertahanan dan Keamanan Nasional

Pakar keamanan siber Pratama Persadha menyarankan agar internet Starlink tidak dimanfaatkan untuk mendukung pertahanan dan keamanan, misalnya pos perbatasan. Selain itu ia juga menyebut Starlink perlu mengikuti regulasi di Indonesia terkait pemberantasan konten negatif hingga terorisme.

Liputan6.com, Jakarta - Internet berbasis satelit milik Elon Musk, Starlink, sudah resmi masuk ke Indonesia pada 19 Mei lalu. Kehadirannya disambut karena menjadi angin segar untuk bisa menutup kesenjangan akses di wilayah-wilayah yang selama ini belum terkover internet seperti wilayah 3T.

Meski begitu, Starlink tetaplah sebuah layanan internet dari perusahaan asing. Selain kehadirannya disambut, pemerintah dinilai perlu mengantisipasi terhadap ancaman kedaulatan digital yang mungkin ditimbulkan oleh Starlink.

Diungkapkan Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha, salah satu polemik dari kehadiran layanan internet milik Elon Musk ini karena NOC Starlink belum dilakukan dari Indonesia, namun masih di-support dari NOC yang berada di luar negeri.

Pratama mengungkap, sebenarnya NOC tidak berkaitan dengan kedaulatan digital atau keamanan siber Indonesia, karena fungsi NOC adalah melakukan pengawasan infrastruktur yang dimiliki internet Starlink, supaya memastikan layanan tidak terganggu.

"Hanya saja, jika ada NOC Starlink yang berlokasi di Indonesia, pemerintah akan lebih mudah berkolaborasi dengan Starlink jika perlu melakukan tindakan bersama, misalnya pemberantasan judi online atau pornografi," kata Pratama, dalam keterangan yang diterima, Kamis (23/5/2024).

Pratama menyebut, meskipun saat ini NOC Starlink belum didirikan di Indonesia, Starlink sudah bekerjasama dengan NAP (Network Access Provider) lokal untuk layanan backbone internetnya supaya bisa mendapatkan ijin ISP (Internet Service Provider).

Dengan begitu, jika memang perlu tindakan untuk meningkatkan pertahanan dan keamanan negara pada saat krisis, misalnya penyadapan atau penyensoran, bisa dilakukan melalui perusahaan NAP yang menjual layanan backbone internetnya ke Starlink.

Pratama menganggap hal ini cukup baik. Pasalnya, sebelumnya perusahaan satelit internet Starlink tak mau bekerja sama dengan NAP lokal dan justru akan menggunakan laser link yang menghubungkan tiap satelit sebagai backbone untuk layanan di Indonesia.

"Jika hal tersebut terjadi, pemerintah tidak akan dapat melakukan apa pun karena semua infrastruktur yang dipergunakan tidak ada yang bisa mematuhi peraturan dan hukum yang ada di Indonesia," katanya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tak Dipakai untuk Sektor Kritikal Demi Kedaulatan Digital

Pratama menyebutkan, hal yang perlu diperhatikan Starlink adalah perusahaan asing. Ia menyarankan, untuk bisa 100 persen menjaga kedaulatan digital, sebisa mungkin Starlink tidak dipakai untuk pos pertahanan dan keamanan nasional, seperti pos penjagaan di perbatasan negara atau infrastruktur kritis lainnya.

"Jika memang karena kondisi yang hanya bisa dijangkau oleh layanan internet melalui satelit, bisa menggunakan layanan VSAT yang juga banyak dimiliki oleh ISP lokal di tanah air," tutur dia.

Pratama menyebutkan beberapa potensi ancaman yang dapat timbul dengan pemanfaatan layanan dari Starlink.

Salah satunya ketergantungan yang signifikan pada layanan internet satelit yang dioperasikan oleh perusahaan asing dapat menyebabkan negara menjadi kurang memiliki kontrol langsung atas infrastruktur tersebut.

Itu artinya, negara kemungkinan tidak bisa mengambil tindakan yang diperlukan saat situasi darurat atau terjadinya konflik.

"Ketergantungan yang berlebihan pada layanan internet satelit yang dioperasikan oleh perusahaan asing dapat membuat negara menjadi lebih rentan terhadap campur tangan asing dalam operasional infrastruktur komunikasinya," ia menuturkan.

Menurut Pratama, jika akses ke layanan tersebut dihentikan oleh negara asing atau entitas jahat, hal ini bisa mengganggu kemampuan negara untuk berkoordinasi dan mengambil tindakan yang efektif dalam situasi darurat atau konflik.

"Gangguan atau penghentian akses ke layanan ini oleh negara asing dapat mengganggu fungsi-fungsi penting yang melibatkan keamanan nasional, seperti koordinasi dalam respons bencana alam, tindakan militer, atau penegakan hukum," tutur dia.

3 dari 4 halaman

Bukan Tanpa Bukti

Pratama menjelaskan, ketergantungan layanan ini bukanlah sebuah perkiraan semata, karena Starlink sudah pernah memanfaatkan ketergantungan suatu negara untuk memberikan keuntungan bagi perusahaan tersebut.

Ia mengatakan, pada 28 Februari 2022, Starlink memberikan akses internet gratis kepada pemerintah Ukrania. Setelah cukup lama Pemerintah Ukraina menggunakan layanan ini dan sudah menjadi suatu ketergantungan, pada tanggal 30 September 2022 Starlink menghentikan layanannya.

Saat itu di tengah perang dengan Rusia, penghentian layanan Starlink sangat mengancam nyawa prajurit Ukraina. Pasalnya, Starlink dipakai Ukraina sebagai media komunikasi yang bertugas di medan pertempuran.

Mata-Mata Asing

Potensi ancaman kedaulatan siber lainnya, kata Pratama, adalah adanya akses yang tidak diinginkan. Dalam hal ini, negara-negara asing atau entitas jahat dapat mencoba mengakses infrastruktur satelit untuk tujuan yang merugikan, seperti mata-mata atau serangan siber.

"Ancaman siber terhadap infrastruktur satelit dapat menjadi masalah serius. Serangan siber yang berhasil dapat mempengaruhi operasional satelit, merusak atau mematikan satelit, mencuri informasi penting, atau mengganggu komunikasi," tulisnya.

4 dari 4 halaman

Potensi Serangan Fisik

Polemik lain yang timbul adalah kemungkinan pemanfaatan satelit untuk melakukan serangan fisik. Misalnya untuk melakukan serangan ke IKN dengan cara mengubah orbit satelit dan dijatuhkan ke infrastruktur kritis yang melayani IKN.

Misalnya, dijatuhkan ke gardu induk PLN atau kilang Pertamina, termasuk menjatuhkan satelit ke pusat pemerintahan yang bisa menimbulkan banyak korban jiwa bahkan bisa mengancam nyawa presiden serta jajaran menteri.

Meskipun tidak memiliki hulu ledak seperti senjata roket jarak jauh, namun dampak yang ditimbulkan dengan jatuhnya satelit tetap akan menimbulkan kerusakan berarti. Hal ini, karena satelit hanya berada di Low Earth Orbit (LEO) sehingga masih akan ada sisa fisik satelit meskipun sebagian akan terbakar di atmosfer.

Hal ini bukan tidak mungkin terjadi karena pada tahun 2006 salah satu hacker terkenal yaitu Jim Geovedi berhasil melakukan peretasan dan merubah orbit satelit milik Tiongkok dan Indonesia.

Persaingan Bisnis

Sisi bisnis internet di Indonesia juga menjadi polemik, meskipun saat ini biaya untuk menggunakan internet melalui Starlink masih membutuhkan biaya yang tidak sediki.

Namun Starlink memiliki rencana bahwa dalam dua atau tiga tahun kedepan biaya berlangganan Starlink akan di bawah Rp 100 ribu, bahkan ditambah dengan biaya pembelian perangkat yang murah atau bahkan gratis, tentu hal ini akan mematikan bisnis ISP (Internet Service Provider) yang ada di Indonesia karena kalah bersaing dari segi harga serta layanan yang diberikan.

"Oleh karena itu, yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana memastikan Starlink akan mengikuti persyaratan-persyaratan yang diberikan sebelumnya sehingga kita masih memiliki kedaulatan digital meskipun ada Starlink di Indonesia," kata Pratama.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.