Sukses

Setelah Dua Kali Nonton Star Wars: The Force Awakens

Wartawan kami nonton Star Wars: The Force Awakens sekali lagi. Ini catatannya setelah tontonan kedua.

Liputan6.com, Jakarta - PERINGATAN: SPOILER ALERT! Tulisan tentang Star Wars: The Force Awakens ini mengandung bocoran cerita. Sangat dianjurkan hanya untuk yang sudah menonton filmnya; atau Anda yang belum nonton, tapi tidak peduli dengan bocoran cerita.

I.

Apakah nonton sebuah film lebih dari sekali akan memperoleh hasil berbeda? Apa film yang di saat pertama kali kita nonton terlihat bagus, lalu di tontonan berikutnya jadi biasa? Bagaimana bila film tersebut Star Wars: The Force Awakens?

Saya nonton Star Wars: The Force Awakens pertama kali saat gala premiere atau pemutaran perdana pada Selasa (15/12/2015) malam, atau tiga hari lebih dulu ketimbang kebanyakan orang yang menontonnya saat tayang di bioskop reguler.

Kami, para wartawan yang biasa menulis ulasan film, memang punya keistimewaan macam itu: nonton film lebih dulu dari kebanyakan orang. Tapi kami juga punya tugas kenapa nonton duluan: kami wajib menuliskan resensinya, memberi nilai pada film yang kami tonton dan memberi panduan pada Anda, apa filmnya layak Anda tonton atau tidak.

Well, meski begitu menonton Star Wars: The Force Awakens lebih dulu terasa lain dibandingkan nonton film yang lain.

 

Adegan film Star Wars: The Force Awakens. (dok. Lucasfilm/Disney)

 

The Force Awakens membangkitkan harapan baru bagi pencinta Star Wars. Setiap orang yang mencermati film Star Wars tentu paham, trilogi anyar atau kisah prekuel yang dibuat George Lucas (The Phantom Menace, Attack of the Clone dan Revenge of the Sith) tak bisa menyamai kualitas trilogi pertama (A New Hope, Empire Strikes Back dan Return of the Jedi). Jar Jar Binks, Hayden Christensen yang salah casting sebagai Anakin, serta dialog yang klise mengisi sejumlah daftar kesalahan Lucas di kisah prekuel.

Nah, ketika kursi sutradara diserahkan pada JJ Abrams oleh Disney (yang membeli Lucasfilm dari George Lucas pada 2012), harapan tentu membuncah. Bagi kami, penggemar Star Wars, Abrams bak Barack Obama yang diharapkan mampu membawa perubahan, memperbaiki kesalahan yang dibuat pendahulunya.

Alasan di atas ditambah menonton bersama para artis dan anggota komunitas Star Wars menghasilkan rasa menonton berbeda. Suasana bioskop XXI Senayan City, Jakarta malam itu hiruk-pikuk. Selain wartawan, para artis serta undangan lain berseliweran pula penonton dengan kostum karakter-karakter Star Wars.

 Star Wars: The Force Awakens film yang keren. Sangat keren!

Hal itu membuat suasana kebatinan nonton The Force Awakens jadi lain.

Dalam keremangan bioskop, kami tak bisa menonton filmnya dengan diam. Begitu muncul tulisan “A long time ago … in galaxy far far away” serta musik Star Wars yang menggema kami bertepuk tangan. Ya, harapan kami begitu besar pada film ini.

Begitu juga setiap muncul karakter-karakter lawas dari trilogi asli. Kami tepuk tangan saat Han Solo dan Chewbacca muncul. Kami bertempik sorak melihat aksi manuver pesawat Millennium Falcon. Kami merasa senang. Rasanya seperti bertemu kembali kawan lama yang telah menghilang.

Saya teringat omongan seorang teman yang bilang begini, nonton film saat pemutaran perdana bisa menimbulkan apa yang disebutnya 'efek premiere'. Maksudnya, film jadi terasa lebih bagus dari aslinya lantaran ditonton duluan dengan suasana kebatinan yang berbeda bila ditonton saat pertunjukan reguler dengan orang-orang biasa.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Reaksi Kedua

Nah, nonton Star Wars: The Force Awakens lebih dulu membuat saya bilang filmnya “Film Star Wars Terbaik” saat menulis judul ulasannya. Di ujung resensi saya bilang, “…saya berani jamin Star wars: The Force Awakens tontonan yang asyik! Film ini bisa berdampingan sejajar dengan film-film Star Wars terbaik episode IV-VI.”

Oke, yang menjadi pertanyaan apa kesimpulan di atas sebatas 'efek premiere' atau pada kenyataannya memang demikian, bahwa Star Wars: The Force Awakens adalah film terbaik Star Wars?

Tidak ada cara lain kecuali menonton filmnya lagi. Dan hal itu saya lakukan, Senin (21/12/2015) siang kemarin.

Sebetulnya, nonton sebuah film lebih dari sekali untuk keperluan menulis resensinya masih jadi perdebatan serius di kalangan kritikus.

Mendiang Pauline Kael yang kerap ditahbiskan sebagai kritikus terbaik yang pernah dimiliki Amerika paling dikenal pantang nonton film dua kali. “Rasanya lucu saja. Saya merasa sudah dapat pesannya saat pertama nonton,” kata Kael, kritikus film majalah New Yorker mengatakan alasannya.

Kendati begitu, di jagat kritik sinema pula, ada cerita yang kerap diulang bila menyangkut nonton film untuk kedua kalinya. Cerita tersebut tentang Joe Morgenstern, kritikus film majalah Newsweek saat mengulas film Bonnie and Clyde tahun 1967 karya Arthur Penn. Saat menulis ulasan pertama usai nonton, Morgenstern mengatakan film tersebut "Film penuh tembak-tembakan yang vulgar untuk tontonan orang bodoh."

Star Wars: The Force Awakens. (superherohype.com)

Namun kemudian, ia merasa telah terlalu kejam menilai film tersebut. Ia lantas nonton lagi dan meralat ulasannya sendiri. Ia menulis begini, “Saya mohon maaf karena ulasan saya tidak adil dan tidak akurat. Saya menyesal telah menulisnya.”

Kita tahu, Bonnie and Clyde menjadi salah satu tonggak pencapaian terbaik perfilman Amerika. Filmnya kini dianggap klasik, terutama karena gambaran kekerasannya yang realis dan terasa sangat maju di zamannya.

II.

Balik ke niatan awal tulisan ini, apa nonton Star Wars: The Force Awakens menghasilkan kesimpulan berbeda?

Well, suasana kebatinan saat nonton film pertama dan kedua tentu berbeda. Film pertama saya tonton di suasana gala premiere yang riuh, sedang yang kedua saya tonton di bioskop mal Blok M Square pada jam pertunjukan siang hari menjelang sore.

Saya sengaja pilih bioskop tersebut. Di kalangan orang film, Blok M Square dikenal sebagai bioskop yang lebih mengutamakan film nasional. Film nasional lebih banyak diputar di bioskop tersebut dibanding film Hollywood. Kemarin, saat saya nonton, Star Wars: The Force Awakens tayang di dua studio. Meski begitu, ada film nasional juga yang tayang di dua studio berbarengan kemarin, Bulan Terbelah di Langit Amerika. Ini artinya, di bioskop Blok M Square film nasional mampu bersaing dengan film Hollywood.

Penonton Star Wars di bioskop Blok M Square jelas berbeda dengan penonton saat gala premiere. Tidak ada yang mengenakan kostum tokoh Star Wars maupun yang bertempik sorak saat tokoh-tokoh dari trilogi asli muncul di layar.

Hm, saya berpikir, sekarang saya menonton filmnya dengan fair alias adil.

Menonton kedua kali tentu saja telah membuat unsur kejutannya hilang. Saya kaget luar biasa ketika nonton pertama kali, mendapati Kylo Ren adalah putra Han Solo dan Leia. Makin kaget pula ketika Kylo tega membunuh Han Solo, ayahnya sendiri. Itulah kejutan terbesar The Force Awakens yang diwanti-wanti untuk jangan dibocorkan sebelum filmnya rilis di bioskop.

Harrison Ford sebagai Han Solo dan Peter Mayhew sebagai Chewbacca di Star Wars: The Force Awakens.

Menonton tanpa unsur kejutannya lagi menyisakan saya untuk fokus pada hal lain. Saya menjadi lebih fokus menonton saat Iko Uwais dkk muncul di layar. Saya jadi tahu di mana posisi Cecep Rahman berdiri (di belakang, di antara Iko dan Yayan).

Yang paling bersinar di The Force Awakens adalah Daisy Ridley, pemeran Rey. Ia alasan kita jatuh cinta pada The Force Awakens. Karakter Rey seperti versi “upgrade” dari Luke Skywalker di hikayat trilogi asli Star Wars. Ia membuat kita bersimpati padanya. Ketika kita melihatnya bertemu Luke di ujung film perasaan yang timbul masih sama: saya ingin segera nonton kisah lanjutannya di Episode VIII.

Yang paling terasa saat nonton kedua kalinya adalah filmnya tak seistimewa saat ditonton pertama. Tampak betul, saat nonton kedua,  betapa JJ Abrams telah memanfaatkan kita, penggemar Star Wars, untuk jatuh cinta pada filmnya.

Di The Force Awakens, Abrams tak ubahnya sedang memperdaya kita dengan jurus “Jedi mind trick”-nya. Kita, penonton, seperti prajurit Stormtrooper yang begitu mudah jadi patuh oleh Rey. (Omong-omong, sudah tahu, kan kalau pemeran prajurit Stormtrooper itu Daniel Craig si James Bond?)

Yang pertama dilakukannya adalah menganulir semua yang dilakukan George Lucas, si pencipta Star Wars, di kisah prekuel Episode I-III. Sebagai penggemar sejati Star Wars, ia tahu betul apa yang membuat Star Wars asyik ditonton.

Persoalan blokade dagang dan sengketa pajak ia pangkas di kisah prekuel yang berpotensi bikin filmnya jadi banyak obrol, menyisakan aksi kejar-kejaran pesawat dan adu tembak senjata laser yang seru.

Abrams juga paham, trilogi asli Star Wars begitu menancap di benak penggemarnya lantaran konflik keluarga yang menyelubunginya. Di trilogi pertama kita mendapati kisah dilematis yang harus dilalui Luke Skywalker, yang mendapati kalau ayahnya ternyata Darth Vader. Di The Force Awakens, konflik keluarganya lebih pelik lagi. Kita mendapati sang penjahat utama, Kylo Ren, ternyata anak Han Solo dan Leia. Abrams berhasil menghentak kita dengan aksi Kylo menghabisi nyawa ayahnya sendiri.

3 dari 3 halaman

Jedi

Yang penting untuk dicatat pula, Abrams membuat The Force Awakens selayaknya sebuah tribute atau penghormatan pada film yang ia cintai. Pada satu titik ia bahkan meng-plagiasi trilogi asli, terutama film pertama Star Wars: Episode IV—A New Hope.

Pecinta Star Wars pasti hapal struktur dan plot The Force Awakens mirip betul A New Hope, dari mulai data yang disimpan di droid di awal film hingga kematian Han Solo yang seperti mengulang adegan kematian Obi-wan Kenobi di A New Hope. O iya, adegan Han Solo dan Kylo Ren di jembatan besi juga mengingatkan kita pada perjumpaan Luke dengan Darth Vader di ujung Empire Strikes Back.

Oleh karena semua alasan itu, Abrams sejatinya sedang memainkan jurus olah pikiran Jedi, Jedi mind trick. Ia tahu apa yang kita sukai dari Star Wars dan itu yang ia suguhkan pada kita.

Namun di sini juga mungkin, yang bikin menonton Star Wars: The Force Awakens untuk kedua kali tak senikmat saat menonton pertama kali. Saat pertama nonton, kita senang semua ekspektasi kita akan sebuah film Star Wars baru tercapai. Nonton Star Wars pertama kali ibarat masuk kotak suara, lalu memilih presiden pilihan kita, dan kemudian sang presiden yang memberi harapan besar itu terbukti menang pemilu.

Daisy Ridley di film Star Wars: The Force Awakens. (Disney / LucasFilm)

Namun, pada tontonan berikutnya kita tak berharap lagi filmnya bagus, tapi bertanya dengan kritis: benarkah sebagus itu?

Saya mengobrol dengan teman yang juga sudah lebih dari sekali nonton The Force Awakens. Menurutnya, pada tontonan kedua, The Force Awakens tak memberi nuansa seperti saat ia menonton film-film trilogi Batman-nya Christopher Nolan (The Dark Knight Trilogy: Batman Begins, The Dark Knight dan The Dark Knight Rises). “Saat nonton The Dark Knight kedua kali masih terasa ‘wah!’, yang Star Wars ini jadi biasa saja pas ditonton kedua kali.”

Saya setuju. Trilogi The Dark Knight memang tetap asyik disimak meski berkali-kali ditonton. Pun begitu dengan trilogi The Lord of the Ring-nya Peter Jackson. Kedua trilogi itu memang layak disebut klasik, tak lekang dimakan zaman dan tetap nikmat berkali-kali pun ditonton.

Dari sini saya ingin menyamakan The Force Awakens dengan film Abrams yang lain, Super 8 (2011).

Yang sudah nonton Super 8 pasti paham, film itu pun sejatinya sebuah tribute bagi film-film ABG akhir 1970-an dan awal 1980-an macam E.T.: The Extra Terrestrial, Stand By Me hingga The Goonies.

Abrams menduplikasi berbagai unsur-unsur film-film tersebut dan meramunya jadi film baru. Yang hendak ia jual adalah nuansa nostalgic dan keasyikan dari film-film ABG era tersebut.

Rumus yang sama tampaknya ia gunakan lagi untuk Star Wars: The Force Awakens. Formula yang terbukti jitu. The Force Awakens disukai penduduk sedunia, menguasai bioskop sejagat, mencatat rekor box office.

Poster Star Wars: The Force Awakens. (starwars.com)

III.

Ada esai panjang yang ditulis Ignatius Haryanto di lembaran budaya Bentara harian Kompas pada 2002 silam. Ia mengingatkan kita pada wujud Leviathan baru, yakni “Leviathan yang Menghibur”. Leviathan atau Lewiatan adalah monster yang disebut dalam Perjanjian Lama.

Dalam esainya, Haryanto mengetengahkan bagaimana jadinya bila Leviathan di abad kapitalisme global ini muncul tidak dalam wujudnya seperti monster yang menyeramkan, bertaring, berekor dan bertanduk sebagaimana digambarkan di Injil, melainkan sosok yang berwajah cantik, berparas tampan, dengan gaun yang modis, berbau wangi, dan bertutur kata sopan? (Kompas, 2 Agustus 2002.)

Atau dalam kasus Star Wars: The Force Awakens ini, bagaimana bila langkah Disney dengan menugaskan JJ Abrams membuat Star Wars baru yang menafikan George Lucas tak lain sebuah siasat pasar, trik olah-pikiran Jedi ala kapitalisme mutakhir dengan satu tujuan: kita langsung jatuh cinta pada filmnya dan menyerahkan uang kita demi pundi-pundi Disney kian gemuk.

Ah, saya jadi kangen George Lucas. Eh, bohong, ding. Saya tetap lebih suka The Force Awakens ketimbang cerita prekuel Star Wars: Episode I-III.*** (Ade/Fei)*

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.